PT. Tri Usaha Baru Mencemari Lingkungan dan Enggan Ganti Rugi Lahan

Tampak pohon kelapa milik warga mulai mati karena tercemar.

JAILOLO, NUANSA – Beroperasinya PT. Tri Usaha Baru di Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), kelihatannya menimbulkan kecemasan serius di tengah-tengah masyarakat lingkar tambang. Setidaknya ini menjadi perhatian pemerintah daerah dan masyarakat luas. Satu dari sekian dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan pertambangan emas tersebut adalah belum melakukan ganti rugi lahan kepada masyarakat.

Selain itu, tanaman berbagai jenis milik masyarakat tidak bisa dimanfaatkan, karena tercemar limbah tambang. PT. Tri Usaha Baru adalah perusahaan pertambangan emas yang beroperasi sejak tahun 2017, dengan cakupan kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan hutan produksi seluas 240,20 hektare, masa kontrak hingga Juli 2039.

Informasi yang ditemukan menyebutkan, terdapat delapan desa yang terkena dampak dari operasinya PT. Tri Usaha Baru, yakni Desa Jano, Aruku, Bakunpante,Tosomolo, Bilote, Barataku, Gamkahe dan Pumadada ditambah  Roko yang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Galela Barat, Kabupaten Halmahera Utara.

Salah seorang warga mengungkapkan, ia memiliki luas lahan yang ditumbuhi tanaman sekitar 30 sampai 40 hektare yang akan masuk area tambang. “Desember 2021 lalu, kami sudah rapat dengan pihak kecamatan. Saya bilang kurang lebih 4 tahun PT. Tri Usaha Baru berada di wilayah kami ini banyak masyarkat yang lahannya jadi korban. Jadi keputusannya harus segera bayar, tapi nyatanya lahan yang dibayar itu setengah-setengah bahkan ada yang belum dibayar sama sekali,” ungkapnya kepada wartawan, Jumat (31/3).

Sudah begitu, kata dia, model pengolahan emas yang dilakukan PT. Tri Usaha Baru dengan cara redaman. Hal ini menyebabkan banyak tanaman yang mati. “Yang kami tahu, mereka (perusahaan) olah itu dengan cara redaman. Dan limbahnya mereka buang di mana, kami juga tidak tahu. Jadi tanaman mati ini apakah faktor alam atau memang karena tercemar limbah dari perusahaan,” ujarnya.

Sungai yang mengalir ke kebun-kebun warga pun sudah tercemar.

Hal ini dibenarkan warga lainnya. Mereka menyebut saat musim hujan, limbah yang dikeluarkan mengakibatkan banyak tanaman yang mati. “Kalau musim hujan dan air meluap dari kali, maka tanaman pala dan kelapa ribuan pohon mati,” tuturnya.

Dementrius, salah satu warga Desa Roko menambahkan, lahan miliknya yang digunakan perusahaan hingga kini belum diganti rugi. Begitu juga dengan ratusan pohon tanaman kelapa yang mati, padahal sudah siap dipanen.

Sudah sejak tahun 2019, pihak perusahaan hanya berjanji akan melakukan ganti rugi. Namun sampai saat ini hanyalah janji. Perusahaan beralasan tidak ada duit untuk membayar.

“Tanaman kelapa saya mati 120 pohon, pala 68 pohon, pisang 80 pohon, sinkong 80 pohon, durian dua pohon, lemon lima pohon, tambah dengan salak 10 pohon. Tanaman ini mulai mati tahun 2019, karena faktor perusahan. Padahal sejak tahun 2005 saya bikin kebun ini tanaman tidak pernah mati begini, namun sejak perusahaan ini masuk langsung jadi begini,” tuturnya.

Untuk itu, ia berharap perusahaan segera ganti rugi dan tidak lagi membuat janji yang tidak jelas. Manager PT. Tri Usaha Baru, Risto, ditemui di lokasi tambang membantah sistem pengolahan yang disampaikan warga menggunakan redaman. Pihaknya sejauh ini menggunakan model penyiraman. Sementara untuk bahan yang dipakai, Risto tidak mengetahuinya. Karena itu bukan di bawah kewenanganya.

“Kita tidak pakai redaman, pakainya penyiraman. Dan sistimya berbeda, antara fetlix dan hiplits. Soal obat, saya tidak tahu, kerena diluar dari kewenagan saya,” tandasnya.

Untuk persoalan ganti tanam tumbuh serta lahan warga, ia mempersilakan untuk menanyakan langsung ke Kepala Teknik Tambang PT. Tri Usaha Baru, Muhammad Fajar Kemhay. Namun demikian, Fajar saat dihubungi beralasan sibuk dengan pihak Dinas ESDM Malut. (ano/rii)