Oleh: Basri Amin
Sekitar 80 persen dari teks Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945
berisi wawasan internasional, tentang dunia yang bergerak dan bercita-cita besar.
Soekarno tidak langsung membahas Pancasila.
Bung Karno bicara konteks perubahan dunia.
Setelah menjelaskan geopolitik Indonesia dan “persatuan orang dan tempat”, Soekarno kemudian mengurai kesatuan “pulau-pulau”.
“..Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Sunda Kecil, Maluku…adalah satu kesatuan,” demikian tandas Soekarno.
Dalam hitungan saya, Ambon disebut satu kali, Maluku disebut dua kali. Di ujungnya sangat jelas, beliau menggetarkan konsep kesatuan Indonesia sebagai Nationale Staat: kesatuan Bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai Irian. Adapun soal etnisitas-bangsa, Soekarno hanya merujuk empat entitas sebagai ilustrasi: Jawa, Pasundan/Sunda, Minangkabau, dan Bugis.
Soekarno menyebut “Halmahera”, dalam hemat saya, bukanlah dari otak kosong yang spekulatif. Bukankah dengan menyebut Maluku sudah cukup?. Atau, jika (hanya) hendak merujuk pertumbuhan kota (‘kolonial’) di Maluku, menyebut Ambon juga sudah cukup.
Karakter rasionalitas Soekarno tidak utuh argumentatif, melainkan inspiratif. Itu sebabnya, kerajaan-kerajaan besar tidak dirujuk Soekarno seperti Aceh, Gowa, dst. Hanya kerajaan yang berkarakter “ekspansif” saja yang dirujuk beliau: Mataram, Majapaphit, Banten, dan Bugis.
Di tingkat ini, saya membaca posisi “Halmahera” dalam pidato Soekarno tersebut sebagai Rasionalitas yang imajinatif ala Soekarno. Ada dasar “pemahaman” yang melatari dan ada sejumlah “pesan-pesan” lanjutan yang (mestinya) mampu kita baca lebih jauh. Bahkan hingga hari ini.
Melihat bacaan Soekarno yang luas, besar kemungkinan Soekarno beroleh imajinasi kepulauan yang hebat karena membaca The Malay Archipelago-nya Alfred Wallace dan dari sanalah ia menemukan kedudukan strategis “Halmahera” dalam visi keindonesiaan, atau dalam arti luas kedudukan Maluku Utara secara geopolitik!.
Tapi, melalui rujukan apa pun itu, indikasi sangat kuat bahwa Soekarno “menemukan” dan “belajar” sesuatu dari Maluku Utara, sebagaimana tampak pada sikapnya kelak menempatkan (kedudukan) Soa-Sio (Tidore) sebagai Ibukota Irian Barat (1956) dan Sultan Tidore Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur (SK Presiden RI No. 142/ Tahun 1956).
Dengan demikian, Pancasila sudah seharusnya dimengerti dalam beragam aspirasi dan argumentasi; yang menyambungkan banyak kilauan mutiara kebangsaan kita. Bentangan lokalitas yang melingkari keindonesiaan kita, imajinasi kepulauan dan mentalitas samudera yang tak bertepi. Semuanya adalah pertaruhan bersama di tengah-tengah perubahan dunia dari abad ke abad.
Nah, inilah tuntutan sekarang, Indonesia harus tampilkan kapasitasnya dalam menyikapi recovery Covid-19. Indonesia harus berpikir besar dan menunjukkan solusi-solusi hebatnya kepada dunia: sebuah sikap “Pancasilais” yang mendunia!.
Kita juga harus menyerap ide-ide besar dari bangsa-bangsa lain. Indonesia harus berinteraksi gagasan, leadership dan bertransaksi sains dan teknologi dengan bangsa-bangsa lainnya.
Kita tidak mungkin menyegarkan dan mengamalkan (keluhuran) Pancasila tanpa membaca dan menghayatinya dengan utuh dan mendalam. Pancasila bukanlah idiologi biasa. Ia bukan sekadar dasar negara, pegangan kebangsaan dan pedoman bertata negara yang retorik dan heroik untuk Indonesia.
Pancasila lahir dari pendalaman pengalaman sejarah yang panjang dan konstruk pemikiran yang tinggi. Dalam proses perumusannya, kita menemukan perjumpaan harapan bersama yang amat jernih dasar moralnya. Selanjutnya, perumusan Pancasila diramu melalui percakapan-percakapan politik kenegaraan yang mendalam. Setiap pemahaman kelompok, gelombang sejarah banga-bangsa lain di dunia serta dasar-dasar teorinya, dibentangkan dalam setiap debat para pendiri Indonesia. Hal lain yang tak kalah pentingnya, para pendiri bangsa merumuskan dasar negara dan konstitusi dengan penuh ikhlas, terbuka, dan nalar yang tajam.
Pada tanggal 28 April 1945 pemerintah (pendudukan) Jepang membentuk Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Indonesia Merdeka. Selanjutnya, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jumlah mereka 62 orang yang tergabung dalam BPUPKI. Ketuanya adalah seorang dokter, bernama dr. Radjiman, mantan ketua Budi Oetomo.
Mereka mulai bersidang sejak 29 Mei 1945. Pada permulaan sidang tersebut, dr. Radjiman Wedioningrat sebagai ketua mengajukan pertanyaan besar: “apakah dasar negara yang akan kita bentuk itu?” Dengan pertanyaan inilah perdebatan dan pembahasan berlangsung hebat dan hangat.
Selama tiga hari bersidang, jawaban tentang Dasar Negara belum ditemukan suara bulat. Ada sikap terbelah antara memilih dasar Islam atau dasar nasional (sekuler) sebagai dasar tata negara Indonesia. Selama sekian hari itu, Soekarno tampaknya memilih menjadi “pendengar yang aktif”. Beliau menyimak dengan sabar sejumlah pandangan dan pidato. Demikian juga dengan Bung Hatta.
Barulah pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno akhirnya menyampaikan pidato panjang, sekitar 25 halaman dengan ± 6.480 kata–yang dikemudian hari diberi judul Lahirnya Pancasila—. Jalan tengah diformulasi oleh Soekarno bahwa dasar negara Indonesia adalah “bukan negara agama, bukan pula negara sekuler, melainkan Pancasila!”.
Penting diketahui bahwa Soekarno tidak buru-buru menyampaikan Pancasila, tapi ia lebih dahulu secara panjang lebar menjelaskan sejarah ideologi-ideologi dunia, fakta-fakta kebangsaan Indonesia, makna kemerdekaan sebagai “jembatan emas”, lokalitas suku-suku di Nusantara, sejarah Tiongkok, agama-agama, dan perpecahan faksi politik di berbagai negara di dunia, serta teori-teori besar tentang “bangsa”, dst.
Jadi, Soekarno menggali dan “menyarikan” Pancasila melalui pendalaman yang luas tentang keindonesiaan dan kemerdekaan dalam konteks dunia. Dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno juga berulang-ulang menyebut syukur alhamdulillah dan rahmat Allah SWT tentang tanah air Indonesa dan Indonesia sebagai ibu pertiwi dan tanah tumpah darah kita.
Bisa dikatakan, melalui Pidato 1 Juni tersebut, Soekarno benar-benar tampil sebagai “penyambung lidah” cita-cita besar Indonesia mencapai merdeka dan merangkai masa depannya yang bhinneka tunggal ika. Itulah sebabnya, dasar “kebangsaan” (nationale staat) diletakkan sebagai yang pertama. Sambutan hangat dan tepuk tangan-riuh menyertai sela-sela Pidato Soekarno tersebut.
Soekarno merumuskan Pancasila dengan susunan awal: (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme/Perikemanusiaan; (3) Mufakat/Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, oleh sebuah Panitia kecil kemudian menyempurnakan susunannya di kemudian hari, terdiri dari: Soekarno, Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin.
Empat puluh lima tahun lalu, penyegaran Pancasila kali pertama dilakukan pada 1 Juni 1977 setelah Upacara Peringatan Hari Lahirnya Pancasila di gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Ketika itu, sebagai Proklamator, Bung Hatta diminta secara khusus menyampaikan pidato yang menyegarkan “Pengertian Pancasila”. Sejak itu, Bung Hatta sudah menegaskan kecenderungan kita mengamalkan Pancasila “hanya di bibir saja…”. Pancasila, dalam penegasan Hatta, mensyaratkan: pengabdian, ketaatan dan tanggung jawab. Terutama karena dasar moral tertinggi haruslah diletakkan di atas seluruh penyelenggaraan bernegara, yakni melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ingat, kata yang digunakan adalah “Ketuhanan”; sebagai tanda bahwa yang dirujuk adalah “konsep” ketuhanan dan bukan kategori tunggal yang merujuk tentang “Tuhan” (tertentu) yang dianut oleh sekelompok orang saja. Itulah sebabnya, Soekarno menjelaskan pula dalam pidatonya 1 Juni tentang “Ketuhanan yang Berkebudayaan…”. Di sinilah letaknya mengapa “keragaman keagamaan” serta berbagai lapisan budaya ber-agama di Indonesia terlindungi martabat dan hak-haknya secara bulat dalam Konstitusi kita.
Douglas Ramage (1995) menulis buku panjang tentang Pancasila sebagai “ideologi toleransi” dan membuktikan bagaimana gelombang-gelombang politik yang menyertai pertumbuhan Pancasila sebagai ideologi nasional, terutama bagaimana ke-Pancasila-an itu berkembang dalam beragam persepsi, kontraksi, kompetisi, dan kecemasan yang pernah dialami oleh Orde Baru, ABRI dan kekuatan masyarakat sipil di awal 1990an hingga Orde Baru jatuh.
Ada banyak tulisan ilmiah lain yang berhasil dan heroik membuktikan bahwa Pancasila adalah “formula” yang tepat dan otentik untuk Indonesia, antara lain tentang nilai-nilai dasarnya yang berakar dalam budaya Indonesia sendiri, sebagaimana dikaji oleh banyak ahli sejak Pranarka (1985), Eka Darmaputra (1987) hingga Yudi Latif (2011) dan Warsono (2016), dst.
Bayangan bahwa Indonesia setiap saat terancam pecah adalah bayangan yang cukup rasional. Terlebih kalau orang menengok sejarah panjang di berbagai tempat di belahan dunia. Karena itu, untuk mengokohkan keberadaan kita sebagai “Negara Kesatuan”, ide-ide tentang “perpecahan” yang berkembang merupakan tantangan utama yang mestinya disikapi. Seriusnya karena ide tentang perpecahan itu justru muncul dari dalam tubuh Indonesia itu sendiri.
Mengapa ini semua terjadi? Karena kita telah berkembang menjadi satu negara-bangsa yang cenderung menyerahkan sepenuhnya setiap harapan kita kepada negara (baca: pemerintah). Sikap seperti inilah yang membuat iklim kebangsaan kita cenderung terasa “serba pemerintah”. Padahal, pemerintahan modern yang sebenarnya adalah pemerintahan yang “tidak dominan”. Ia seharusnya menjadi penopang bagi tumbuhnya masyarakat yang kaya inisiatif, mandiri dan kosmopolit membangun basis-basis produktivitasnya di abad ini. (*)
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com