Oleh: Sukardi Latif
(Ruang Kolektif Mahasiswa Maluku Utara Kota Bandung)
Dalam perjalanan menuju era-era pemetaan peradaban yang terbarukan fase-fase ini kemudian berganti dari persoalan pembangunan sampai pada tatanan sosial masyarakat, Maluku Utara akhir-akhir ini menjadi titik sentralisasi yang digambarkan untuk memenuhi kebutuhan kemajuan pembangunan kota dengan asumsi bahwasanya daerah Maluku Utara adalah sebuah provinsi baru yang sudah semestinya menjadi pelaku dalam pemetaan pembangunan Ibu Kota Provinsi.
Segala aspek yang awalnya bermasalah, sudah selayaknya dapat dioptimalkan kembali guna menjadi alasan agar segala hal dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketetapan yang berlaku. Bagaimana pun ide dan gagasan menjadi tolak ukur sebagai keberlanjutan homogennya manusia untuk menentukan nasib dalam peradaban.
Namun pada realitasnya hampir kekosongan dan kebodohan yang akhir-akhir ini menjadi tontonan bagi seluruh generasi yang ada, untuk itu gagasan ruang-ruang alternatif menjadi tolak ukur sebagai keberlanjutan merawat kewarasan bertindak, menjaga kesehatan berpikir, dan menjadi kerangka penentu dalam sikap hidup kita terhadap peradaban dengan membangun kesadaran sebagai manusia.
Masyarakat Maluku Utara merupakan masyarakat yang sudah melekat dengan kultural maupun adat istiadat setempat dari zaman nenek moyang sampai zaman sekarang. Namun perlu disadari bahwasanya kultural atau pun Kebudayaan bukan hal yang lahir tanpa ada sebab melainkan iya hadir karena dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
Sering kali kita pertanyaan-pertanyaan diatas menjadi faktor utama bagaimana masyarakat Maluku Utara yang di identik sebagai masyarakat yang selalu memegang dan menjaga kelestarian adat istiadat, kini terus-menerus mulai terkikis oleh zaman digitalisasi, kemungkinan lebih parahnya lagi jika budaya dan kultural hanya akan menjadi kisah-kisah selanjutnya untuk generasi lantas apa yang menjadi nilai untuk diteruskan kepada generasi dan ditanamkan kepada generasi selanjutnya, kalau yang terjadi kultur dan budaya tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi zaman, lebih parahnya lagi hilang dari peradaban zaman.
Kemungkinan terbesar era globalisasi yang tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat maupun negara hal ini bagi saya sangatlah wajar, dan apa bila masyarakat Maluku Utara tidak dapat bersaing dalam peradaban maka bagaimana jadinya nasib masyarakat Maluku Utara, untuk itu proses dalam mengantisipasi hal tersebut sudah seharusnya dilakukan oleh masyarakat setempat, pembinaan kepada masyarakat terkait pentingnya untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia, pentingnya melakukan pelatihan khususnya dalam peningkatan UMKM yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam dari rempah-rempah yang dianggap tidak ada nilainya dibandingkan perusahaan Industri Minerba dan lainnya.
Kalau pun yang diutamakan adalah Industri Minerba dan lainnya, bagi saya ini sangatlah keliru pada hal kita sadari bersama bahwasanya sudah berapa negara yang datang ke wilayah kita untuk mengkerut hasil sumber daya alam kita, pala dan cengkeh adalah alasan sejarah yang tidak bisa dilupakan dengan cara yang sangat tidak wajar, penjaja melakukan sebuah tindakan yang sampai saat ini masih menjadi sebuah cerita maupun ilmu sejarah yang kita kenang dengan kematian para pejuang masyarakat Maluku Utara dimasa lampau.
Kita sangatlah sadar berbicara perkembangan zaman tanpa dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sadar akan penting dirinya untuk menciptakan sebuah peradaban khususnya daerah Maluku Utara, hal ini terjadi karena kapasitas dan jumlah sumber daya alam yang sangat melimpah tapi tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah kualitas sumber daya manusianya untuk dapat mengelola hasil alam.
Untuk itu sangat penting jika kita hanya berbicara kemajuan teknologi sebagai tolak ukur majunya sebuah negara atau daerah bagi saya ini sebuah kebodohan dan kebohongan, ketika kita mau berbicara persoalan majunya sebuah daerah kalau hanya di tinjau dari teknologi tetapi sumber daya manusia tidak memenuhi lantas apa yang akan terjadi kedepan hari, sedangkan dalam Ekonomi klasik pun berbicara pada persoalan jika sumber daya alam di suatu daerah yang sangat melimpah namun sumber daya manusia tidak dapat memanfaatkan hal tersebut. Maka yang terjadi adalah ketidak keseimbangan yang akan terjadi.
Sedangkan dari data perkembangan luas areal tanaman perkebunan pada periode tahun 2012- 2014 di Maluku Utara terlihat bahwa luas areal tanam dari tanaman rempah utama mengalami peningkatan luas areal tanam sebesar 149,72% dengan peningkatan terbesar pada tanaman cengkih yang mengalami peningkatan sebesar 153,80%, sedangkan tanaman pala mengalami penurunan luas areal tanam sebesar 6,12%. Perkembangan luas areal Tanaman rempah utama Maluku Utara tahun 2019-2020. hal yang paling miris lagi adalah persoalan pengelolaan hasil yang dilakukan oleh masyarakat Maluku Utara, kita sangat tau betul bawah daun dan tangkai cengkeh bisa diolah dan dijual dalam bentuk minyak. Minyak atsiri, cengkeh adalah bahan obat-obatan, kosmetik, serta dibutuhkan industri makanan dan minuman. Namun, masyarakat setempat masih banyak belum mengetahui cara untuk mengolahnya, berapa modalnya, ke mana menjualnya, dan yang paling krusial adalah kepada siapa harus bertanya.
Kasus lainnya. Makian adalah satu dari lima pulau yang disebut sebagai daerah asal cengkeh (Eugenia aromatica). Para pakar tumbuhan menyatakan, sebelum disebar ke wilayah lain di Nusantara dan dunia, cengkeh hanya tumbuh di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan.
Akan tetapi, seperti halnya permasalahan diatas, petani lain di Makian, petani cengkeh di Ternate, Tidore, dan beberapa kabupaten di Pulau Halmahera hanya memanen bunga cengkeh sebagai komoditas yang dinilai layak jual. Selebihnya, seperti daun, tangkai, dan ranting, dibiarkan jatuh dan mengering di kebun.Untuk itu diperlukan alternatif dan solusi guna mencegah dampak-dampak yang terjadi kedepan harinya.
Kesadaran setiap individu, kesadaran kelompok atau masyarakat akan pentingnya sumber daya alam rempah-rempah yang harus dilestarikan dan dikembangkan kualitas produksinya, kemudian bagaimana pemerintah Maluku Utara seharusnya mampu menjadi peran utama dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman petani untuk mengelola sumber daya alamnya, kemudian bagaimana meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya budidaya sumber daya alam sebagai alternatif kestabilan ekonomi daerah, dengan cara program pemberdayaan sumber daya alam rempah-rempah melalui wadah UMKM, fasilitas tempat, fasilitas produksi atau peralatan untuk produksi hasil rempah-rempah, pelatihan pengembangan pertanian, pelatihan ide dan gagasan untuk pengembangan pengetahuan dalam peningkatan usaha maupun cara-cara melakukan sebuah siklus market yang berskala ekonomi mikro dan makro, pengembangan produksi dari hasil rempah-rempah, dan eksplorasi produksi keluar negeri dengan dengan pemahaman jalur pasar yang diwadahi oleh pemerintah, agar tidak hanya menjadi bahan yang dijadikan sebagai barang biasa saja dengan standar harga yang sangat minim tapi juga memiliki nilai yang mampu bersaing dengan pasar global. (*)