Opini  

Sensasi Orang Berdasi

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

Negeri ini memang unik. Kita adalah negeri tropis, tapi penggunaan jas dan dasi juga sangat akrab di kalangan menengah dan elite kita. Di baliknya terbangun sebuah kesan dan konvensi bahwa dengan itulah sebuah status “resmi”, “wibawa”, “terpandang”, “penghargaan” diabadikan sedemikian rupa. Dengan pakaian, pembeda status hendak ditegaskan. Tapi, dari mana sesungguhnya pandangan dan label seperti itu berasal? Tidak begitu jelas!

Sebuah dress-code adalah sekaligus sebagai kode-kode praktis yang memisah-misahkan kita satu-sama lain. Padahal, tidaklah setiap kelompok di masyarakat yang sungguh-sungguh membutuhkan (kehormatan) melalui simbolisme dan materialisme pakaian. Di baliknya, terbuka ruang di mana mimpi-mimpi terbangun dan dipertaruhkan. Betapa banyak orang yang sekian puluh tahun begitu akrab dengan marwah jabatan dan status tapi kemudian terhempas begitu saja kedudukannya di penjara-penjara negara kerena korupsi. Terhina di ujung kehormatannya!

Di masa (transisi) kolonial, kemunculan orang-orang (pribumi) yang ber-jas dan yang ber-dasi merupakan penanda sebuah status sosial baru. Ia hadir menjadi pembeda dengan status lama, yakni kalangan aristokrat (tradisional) bernama para raja dan keturunannya. Terhadap elite lama lainnya, sebut saja golongan saudagar atau ‘orang kaya’, status keseharian mereka tampaknya tidak terlalu tampak pada pakaian -–walau ini tak sepenuhnya benar karena penggunaan Sutera atau jenis kain berharga yang datang dari luar Nusantara, juga populer di kalangan mereka.

Lain lagi dengan kelompok sosial lainnya, terutama kalangan agamawan dan para pujangga. Mereka tak begitu peduli dengan “persaingan” model pakaian dengan Barat dalam bentuk pakaian. Mereka memelihara tradisi yang sudah lama mereka punyai, terutama dengan gaya Yamani, Mesir, Turki, atau Parsi, atau sebagian mengikuti pola-pola mondial yang bersumber dari masa Ottoman.

Indonesia modern memang tak lepas dari percaturan status-status dan pergeseran kelas-kelas di masyarakat. Sebagiannya berkembang karena ekses dari kolonialitas yang mutlak menghendaki pengelompokan yang tidak seimbang. Bagaimana pun, harus dibentuk sedemikian rupa kelas penguasa dan kelas pekerja/pelayan. Di luar itu, diharapkan pula terbentuk kelompok-kelompok “penyambung” atau “pengaman” yang berfungsi di sektor-sektor keseharian. Di sinilah kelas pedagang, golongan cerdik-pandai dan penguasa “keamanan” sehari-hari” (baca: “preman”) juga sama-sama tumbuh di masa lalu –dan tampaknya pola seperti ini masih berulang di masa-masa berikutnya. Biasanya, kedudukan mereka dominan di pasar-pasar dan di pelabuhan-pelabuhan, atau di acara-acara di mana penguasa hadir dan membangun legitimasinya.

Status sosial tentulah berubah prosesinya setiap waktu. Pencapaian pendidikan dan penumpukan materi adalah jalan-jalan yang terbuka bagi perbaikan status. Atau, di sisi lain, pemanfaatan “aset lama” (tanah warisan, perkebunan, peralatan, jaringan keluarga, garis keturunan, ikatan balas-budi, dst) juga merupakan medium yang mengaktivasi perubahan dan/atau ambisi-ambisi kuasa. Demikian juga pertumbuhan aspirasi baru yang memicu “perpindahan” penduduk berusia muda di kota-kota yang mewadahi talenta-talenta mereka. Kita tahu, bakat-bakat di bidang olah raga, seni, militer, perkapalan, juru masak, ilmu agama, dan keterampilan lainnya seringkali menjadi sebab-sebab (permulaan) yang mengawali narasi sukses seseorang. Di tingkat itu, karakternya menjadi beda. Bagi mereka, “pakaian” bisa menjadi penanda pencapaian, tapi bisa pula tak lebih dari sekadar kebiasaan dan “mainan” keseharian saja. Tergantung peruntukannya.

Pakaian punya tempat, makna-makna, dan rutinitasnya sendiri. Di masa kini, penggunaan jas lengkap, dasi dan sepatu; atau kebaya dan sutera yang khas, mungkin sudah sangat biasa. Ia tak lagi murni berperan sebagai “penanda tunggal” akan sebuah status. Pada jarak tertentu, pun di masa kini, kita makin akrab dengan manipulasi-manipulasi permukaan dan penampakan dari apa-apa yang kita pakai. Apa yang disebut merek, kualitas, dan penampakan, begitu mudah dikalahkan dengan teknologi imitasi. Bagi generasi zaman now, mereka semakin terbiasa dengan tradisi baru itu. Gradasinya pun sudah bersimbol: “KW!”

Di masa kini, apa yang disebut asli dan yang tidak asli tapi mirip asli (KW) menjadi kabur. Antara emas yang murni dan yang hiasan-tiruan pun tak bisa lagi dipastikan. Di zaman di mana penampakan adalah keterhamburan semua urusan dan kebebasan meng-akses dan memiliki apa saja, kita tak lagi butuh bergantung kepada kepastian-kepastian. Kita tak bisa lagi yakin dengan penuh siapa-siapa yang pantas dan otomatis mempunyai sesuatu yang “asli” dan siapa-siapa yang hanya pantas dengan barang “tiruan”. Menerka tentu boleh-boleh saja.

Pakaian dan apa-apa yang berkembang dan yang berperan sebagai “pakaian” di masyarakat adalah ruang menarik untuk dipelajari dan dimaknai. Di baliknya tertimbun banyak motif, nuansa dan kecenderungan yang semuanya rentan termanipulasi. Satu di antara sekian banyak motif yang relevan adalah tentang “kepercayaan diri” dan hak-hak privilege (istimewa). Di baliknya adalah naluri agar dipandang “setara” dan pantas “terakui” sebagai golongan terpandang/terhormat/terpilih. Di baliknya, lengket pula dengan kesan-kesan sebagai golongan terdidik –-pekerja dengan benda-benda halus yang mensyaratkan otak dan teknologi. Inilah warisan feodalisme yang masih kokoh hingga hari ini, sejenis priyayi dalam tradisi Jawa, atau peran orang kaya dalam tradisi Aceh, dan sejenisnya di tempat-tempat lain. Inilah pula yang melandasi praktik “negara pegawai” (beambtenstaat) di republik ini, hal mana ditandai dengan eksisnya peranan “mata-mata” dalam tatakelola kekuasaan (Onghokham, 1983).

Mapan dalam kehidupan material tidak cukup memuaskan bagi mereka yang menikmati derajat “kelompok nyaman” (leisure class). Tapi kesantaian gaya hidup dan penghidupannya yang serba senang dan enak tetaplah memendam ironi-ironinya sendiri. Di banyak perkara, bagi mereka sangat jelas bahwa tidak semua urusan adalah soal “beli-membeli” yang akan berakhir sebagai benda-benda bekas. Tapi, apa pun itu, yang terpenting adalah “penampakan luar” (surfaces) dan kedirian (selves) (Veblen, 1953; Chaney, 1996).

Menjadi (figur) “bekas” adalah perkara traumatis di kelompok-kelompok yang memendam motif besar dalam menikmati kehidupan materialnya. Mereka sesungguhnya sudah panik diam-diam (sejak dini!) setiap kali ruang-ruang pencapaian (baru) mereka ancangkan. Meski demikian, “kelas yang nyaman” seperti ini selalu lihai dan mampu “membeli sensasi” dan “membayar manipulasi”. Kelompok ini makin sering kita saksikan penampakannya di ruang-ruang publik. Gerombolannya banyak. Mereka punya loyalis/pengikut pribadi. Cerdas-cerdas pula! Mereka lihai berbaris dengan kata-kata superfisial yang menggoda. Mereka (terkesima) menampilkan diri-sendiri sebagai “petir” di kegelapan kesadaran. Mereka pandai memfilter kebenaran dengan kata-kata (setengah) benar dan menampilkan judul-judul (separuh) berisi mimpi sendiri. (*)

 

 Penulis adalah

Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)

E-mail: basriamin@gmail.com