Opini  

Legu Kampus: Musik, Narasi, Birokrasi

Laily Ramadhany Can.

Oleh: Laily Ramadhany Can

Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UMMU

UNTUK ketiga kalinya, Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara (HMPS-IAN) FISIP UMMU dapat menggelar Legu Kampus, yang sebelumnya sempat tertahan selama dua tahun karena terkendala Covid-19. Agenda HMPS-IAN ini mengambil tema unik : Musik, Narasi, Birokrasi.

Sengaja kata birokrasi dilekatkan pada musik dan narasi, selain birokrasi menjadi bagian penting dalam kajian Ilmu Administrasi, fenomena birokrasi, baik nasional maupun lokal belakangan ini menjadi sesuatu yang seksi dan menarik untuk dikaji.

Sejarah birokrasi Indonesia (termasuk Maluku Utara), selalu diwarnai persinggungan politik. Berharap kinerja pemerintahan yang lebih baik, seakan jauh panggang dari api. Berharap hadirnya aparat birokrasi potensial dan andal untuk bekerja maksimal demi masyarakat, selalu tertutupi dengan pergantian, mutasi, atau penempatan orang-orang yang kapasitas, kompetensi, dan kredibilitas diragukan. Kita kemudian menyaksikan kinerja birokrasi diurus oleh orang yang nota bene didominasi mereka yang dekat pada elit pemegang kekuasaan, bukan mempertimbangkan berdasarkan sistem merit (merit system), yang hanya merugikan wajah birokrasi dan tentu rasa kepercayaan publik kepada pemerintah menjadi makin tereduksi dan makin menipis. Hal yang paling memiriskan, adalah pelayanan publik yang selama ini kurang maksimal.

Wajah birokrasi bertumpu pada pergantian tampuk pemerintahan, persoalan sirkulasi elit di tubuh birokrasi, terutama di tingkat OPD tidak pernah berjalan normal. Selalu saja terganggu oleh politik balas dendam. Kasak kusuk penggusuran dan pergeseran posisi dalam tubuh birokrasi begitu riuh di mana-mana. Mereka yang menempati posisi penting dan telah menunjukkan kinerjanya dengan baik, terkadang harus rela digantikan mereka yang mungkin saja belum mampu bekerja dan memiliki pengalaman. Di sinilah kemudian, program-program yang diharapkan dapat mencapai target pada akhirnya tidak maksimal berjalan. Mereka yang terpinggirkan secara tidak langsung harus mencari lingkungan yang lebih bisa menerimanya.

Dalam perkembangan birokrasi di Maluku Utara, masyarakat tidak pernah tahu berapa persentase capaian yang sudah dilakukan dalam melayani kepentingan publik, dan berapa persentase kegagalan program itu. Karena selama ini, data tentang capaian dan kegagalan itu tak pernah terlihat. Ini juga dikarenakan setiap OPD tidak pernah memiliki progress report yang harus disampaikan ke publik. “Keberhasilan” setiap program hanya disampaikan secara tertutup melalui para elit. Publik hanyalah obyek dari kebijakan yang dilakukan secara sepihak, bukan menjadi subyek yang merasakan manfaat kebijakan yang ada.

Karena itu, menurut para ahli, birokrasi itu ibarat mesin (machine), yang mengolah segala sumberdaya dan memiliki bagian-bagian untuk menghasilkan produk dan jasa, tapi ternyata kurang dirasakan publik; Birokrasi ibarat organisme (organism), seperti tumbuhan atau hewan, birokrasi lahir, tumbuh, berfungsi, dan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan lalu pada akhirnya ia mati. Birokrasi juga ibarat otak (brain), di mana ia memproses informasi, memiliki intelegensi, mengkonseptualisasi dan membuat perencanaan. Birokrasi pun ibarat budaya (culture) karena ia mencipta pengertian, memiliki nilai dan norma, dan diperkuat dengan cerita-cerita dan ritual-ritual bersama. Birokrasi juga seperti sebuah sistem politik (political system), di mana kekuasaan dibagi, pengaruh dijalankan, dan keputusan-keputusan dibuat. Birokrasi juga sebagai penjara supranatural (psychic prisons) karena ia dapat membentuk dan membatasi kehidupan anggota-anggotanya. Birokrasi juga sebagai perubahan dan transformasi (flux and transformation), karena ia menyesuaikan diri, berubah, tumbuh atas dasar informasi, umpan balik, dan kekuatan logika. Dan akhirnya, birokrasi sebagai instrumen dominasi (instrument of domination) karena ia mengandung kepentingan-kepentingan yang bersaing, yang beberapa di antaranya mendominasi yang lain.

Legu Kampus tidak sekadar menampilkan kegiatan yang serba seremoni semata. Tema musik dan narasi yang digandengkan dengan birokrasi, adalah untuk menunjukkan bahwa dalam birokrasi, kita memerlukan jeda atau ruang untuk menikmati suasana dan bisikan hati yang dihantam oleh rutinitas, dipenjara oleh aturan yang serba kaku, dibatasi oleh interaksi yang serba prosedural. Karena itu, musik menjadi bagian penting dalam menyelami suasana hati itu. Hal ini sebagaimana ungkapan Kenton O’ Hara dan Barry Brown (2006) ketika menjadi editor buku berjudul : Mengkonsumsi Musik Bersama, menyebutkan : “Musik mampu membuat kita merasa bahagia atau sedih, santai atau energik, mampu membangkitkan kenangan berharga…Cara kita mengkonsumsi musik tidak sesederhana sekadar mendengarkannya, namun juga terintegrasi ke dalam pribadi dan kehidupan sosial kita.”

Melalui agen kultural inilah, musik melakukan upaya untuk mempertemukan antara “agen struktur” dan “agen kultur” dalam menyampaikan pesan dan narasi. Seandainya, musik berorientasi pada struktur, tentu tidak akan dapat diterima oleh masyarakat, dan pesan serta narasi tak mungkin terserap secara baik. Musik memasuki wilayah kultur agar dapat diterima semua kalangan. Musik merupakan bahasa universal kemanusiaan, yang mampu melintasi sekat-sekat apapun, termasuk ideologi. Karena itu, musik sebagai “agen kultural” lebih mudah diterima masyarakat, di mana musik jauh dari kepentingan apapun.

Karena itu, birokrasi yang ideal, yang diharapkan bagi masyarakat, ibarat memainkan peran sebagaimana lazimnya musik, yang enak didengar dan memberi spirit, juga mampu memberi narasi yang mencerdaskan dan mencerahkan.

Tautan antara musik, narasi, birokrasi dalam agenda Legu Kampus tahun 2023 ini kiranya dapat memberikan atmosfir baru bagi pemahaman mahasiswa dan civitas akademika UMMU dalam mendorong Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) serta untuk lebih meningkatkan kemampuan dialektika antara konsep, teori, dan realitas sehari-hari, sebagaimana alunan musik dan narasi. (*)