LABUHA, NUANSA – Bupati Halmahera Selatan, Usman Sidik, dinilai telah melakukan pelanggaran maladministrasi dalam hasil pilkades Halsel tahun 2023. Karena itu, DPRD Halsel didesak untuk menggunakan fungsi pengawasan dengan menginterpelasi atau melakukan hak angket terhadap Bupati. Desakan itu juga datang dari kalangan akademisi yakni, Abdul Kadir Bubu.
Menurutnya, pelanggaran maladministrasi yang dilakukan Bupati adalah memberhentikan panitia penyelesaian sengketa pilkades tingkat kabupaten di tengah-tengah proses penyelesaian yang sedang berlangsung tanpa melalui mekanisme dan aturan mainnya. Apalagi pemberhentian tersebut hanya melalui pemberitaan media massa.
Aspek yang paling penting diperhatikan dalam tata kelola pemerintahan adalah aspek administratif. Di mana, administratif yang dimaksudkan adalah segala bentuk dari perintah Bupati atau pejabat negara apapun, dapat dilihat dari bentuk suratnya, yaitu salah satunya surat keputusan (SK). Karena panitia penyelesaian sengketa pilkades diangkat melalui keputusan, maka diberhentikan juga melalui surat keputusan.
“Adapun SK mulut melalui media, tidak dapat berlaku karena itu hanya kata-kata. Itu mesti dituangkan dalam surat keputusan, bukan hanya sekadar diumumkan di media lalu kemudian dianggap diberhentikan, itu salah,” ujar Abdul Kadir kepada Nuansa Media Grup (NMG).
“Di sinilah letaknya Bupati melakukan maladministrasi sekaligus melakukan pelanggaran hukum. Karena itu, DPRD dapat menggunakan haknya untuk melakukan evaluasi terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Bupati dalam soal ini. Ini perbuatan sewenang-wenang dan saya kira di luar dari norma hukum yang ditetapkan dalam UU nomor 6 tentang desa dan berikut turunan aturannya terkait dengan pilkades. DPRD sudah harus mengavaluasi, karena pengawasannya ada di situ. Mau interpelasi ataupun hak angket DPRD,” sambung dosen Fakultas Hukum Unkhair itu.
Lebih lanjut, ia menyentil pernyataan Bupati dan dua anggota DPRD Halsel dari Fraksi PKB dan Partai Golkar. Di mana, ia menilai hal itu justru salah besar dengan mempersilakan pihak yang kalah harus ke PTUN. Ia lantas mempertanyakan dasar ke PTUN. Kemudian perintah UU demikian, tetapi apakah proses dan mekanismenya sudah sesuai dengan perintah UU.
“Pernyataan Bupati dan dua anggota DPRD ini lebih salah lagi. Apanya yang mau di bawah ke PTUN? sementara proses dan mekanisme penyelesaian juga tidak sesuai dengan perintah UU. Pasal dalam UU Desa serta turunan lainya apakah sudah sesuai dengan eksekusi dan proses yang dibuat? kan aneh,” cetus Dade, sapaan karib Abdul Kadir Bubu.
Selain itu, ia juga menyoroti hasil pilkades yang dianggap inprosedur dan bertentangan dengan perintah UU yang diputuskan oleh Bupati tanpa surat keputusan, atau risalah putusan persidangan yang hanya menggunakan pengumuman.
Dade menerangkan, pemilihan kepala desa yang berhak mengumumkan pemenang kepala desa adalah panitia pemilihan kepala desa, bukan Bupati. Adapun hasil pengumuman dari panitia pemilihan kepala desa yang sudah resmi diumumkan, kemudian telah dilaporkan pemenangnya kepada Bupati melalui panitia kabupaten yang dibentuk oleh Bupati itu hanya dapat dilakukan keberatan melalui panitia penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa yang dibentuk Bupati.
“Karena itulah, jika panitia itu tidak melakukan persidangan sengketa yang diajukan oleh calon kepala desa yang merasa dirugikan, maka dianggap sengketa tidak pernah ada. Dan pengumuman yang telah dilakukan panitia pemilihan kepala desa itu sah sebagai pemenang dari pilkades di tingkat desa,” jelasnya.
“Sehingga, kalaupun ada orang lain mengumumkan, katakan Bupati atau jajarannya mengumumkan tidak berdasarkan pada sengketa pilkades, maka pengumuman itu dianggap tidak pernah ada. Karena wewenang untuk mengumumkan itu bukan ada di Bupati. Bupati itu melakukan pelantikan pemenang kepala desa berdasarkan pada hasil pilkades yang disampaikan oleh panitia pilkades yang ada di desa, yang disampaikan prosesnya melalui BPD. Dan itu dibawah ke panitia pilkades tingkat kabupaten, dan diteruskan kepada Bupati untuk di SK-kan dalam pelantikan. Kalaupun Bupati memberikan pengumuman terhadap hasil pilkades itu wewenangnya dari mana. Masalahnya ada di situ,” tuturnya panjang lebar.
Ditanya terkait pembatalan hasil keputusan panitia pilkades tingkat desa oleh Bupati, kandidat Doktor Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini menilai, justru Bupati tidak tidak pernah membatalkan putusan yang telah diumumkan oleh panitia pilkades melalui panitia sengketa. Artinya yang berlaku adalah yang diputuskan oleh panitia berdasarkan hasil pemilihan.
“Bupati itu hanya meresmikan apa yang ada, diumumkan secara resmi oleh panitia lalu kemudian hasilnya diresmikan Bupati melalui SK. Logika hukumnya begitu. Oleh karena itu, Bupati tidak berhak menetapkan siapa pemenang. Tidak sah Bupati mengumumkan itu. Kenapa tidak sah, karena mekanisme yang diatur sah dan tidaknya itu diuji di dalam panitia penyelesaian sengketa pilkades. Di uji keberatan-keberatan yang diajukan. Setelah diuji selesai, baru kemudian hasilnya di bawah ke Bupati. Dan Bupati tidak serta merta mengambil alih dengan membubarkan semuanya. Memangnya dia siapa,” pungkasnya. (rul/tan)