Oleh: Ummulkhairy M. Dun
Sekretaris Umum Kohati HMI Cabang Ternate
SECARA sederhana, stunting dikenal sebagai kegagalan tumbuh kembang pada bayi yang berusia di bawah lima tahun (balita). Fenomena ini menjadi masalah besar sebab dapat menghambat peningkatan sumber daya manusia. Selain itu, keadaan balita yang gagal tumbuh dan berkembang dalam jumlah banyak dapat mengurangi daya saing manusia baik berskala nasional maupun global.
Per tahun 2018, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia dikejutkan dengan raihan peringkat 2 kasus stunting terbanyak di Asia Tenggara dan peringkat ke 5 dunia. Peringkat teratas yang diterima Indonesia mengafirmasikan bahwa daya saing masyarakat masih jauh dari kata kuat.
Padahal, Indonesia telah digadang-gadang akan mengalami perekonomian terbesar urutan kelima di dunia pada tahun 2030. Perekonomian terbesar yang akan dialami Indonesia dipengaruhi oleh tingginya angka produk domestik bruto. Tingginya angka produk domestik bruto berarti terjadi keseimbangan jumlah antara produksi dengan daya beli masyarakat. Sehingga dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Proyeksi ekonomi tersebut disampaikan oleh Price Waterhouse Cooper (PWC). Menurutnya, proyeksi yang dilaporkan itu diukur berdasarkan paritas daya beli yang mencapai US$ 5,42 triliun pada tahun 2030. Hal ini juga menjadi cita-cita pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yaitu menginginkan produk domestik bruto Indonesia dapat mencapai US$ 7 triliun dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil proyeksi yang diuraikan dan dikontekskan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, maka ini menjadi tugas yang cukup memberatkan sebab untuk menyongsong tahun 2030 (golden year) daya saing masyarakat Indonesia hendak disiapkan mulai sekarang. Tingginya kasus stunting saat ini menggambarkan bahwa Indonesia belum siap menjemput kehidupan yang sejahtera di golden year nanti.
Fenomena bonus demografi terancam tidak berdampak baik jika kasus stunting terbilang masih tinggi di Indonesia. Dampak yang cukup fatal dari kasus stunting adalah kematian. Bisa dibayangkan jika anak-anak yang dicanangkan menjadi generasi penentu kesejahteraan negeri ini harus meninggal dunia, berarti tidak ada lagi angka produk domestik bruto yang diidealkan memberikan kesejahteraan hidup. Selain meninggal dunia, anak-anak yang lemah secara kognitif juga tidak dapat berdampak positif dalam pembangunan bangsa.
Sebagai negara kepulauan, seyogianya Indonesia tidak layak menjadi negara penyumbang kasus stunting terbanyak di dunia. Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki justru harus menjadi negara penyumbang manusia-manusia sehat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia memang memiliki sumber daya alam yang berlimpah tetapi lemah dalam pengelolaannya.
Potensi alam baik di wilayah Indonesia bagian barat, tengah maupun timur menjadi tanggung jawab bersama untuk dikelola. Keberhasilan pengelolaan SDA harus dielaborasikan secara nasional, regional, dan lokal. Itulah kenapa pemerintah dalam pengelolaan SDA dinilai memiliki peranan yang cukup strategis melalui kebijakannya.
Saat ini, wacana stunting memunculkan beberapa pihak termasuk pemerintah mengalami logical fallacy (kesesatan dalam berpikir). Pasalnya, dalam beberapa momen mereka merasa kaget dengan tingginya angka kasus stunting di daerah–daerah bagian timur Indonesia salah satunya adalah Maluku Utara.
Hal tersebut menjadi tidak adil jika mereka berpikir bahwa potensi kelautan yang dimiliki Maluku Utara tidak menjadi solusi atas masalah gizi masyarakat setempat. Sebab tingginya kasus stunting di Maluku Utara juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat.
Sebagai contoh, jika yang dipermasalahkan adalah potensi kelautan lantas bagaimana dengan kebijakan pemerintah pusat yang turut merestui legalitas perusahaan tambang tanpa mempertimbangkan adanya pencemaran laut yang berakibat pada kualitas ikan-ikan yang merupakan makanan andalan masyarakat. Ini berarti, tanpa disadari pemerintah turut berpartisipasi dalam meningkatkan kasus stunting di Maluku Utara dan Indonesia secara umum.
Selain itu, kondisi sosial, ekonomi dan geografis Maluku Utara dinilai sangat seksi. Secara sosial, kehidupan masyarakat kepulauan ini terlihat bahagia dan memenangkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai provinsi paling bahagia di Indonesia. Di sisi lain, Presiden Jokowi dalam sambutannya menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara masuk dalam kategori tertinggi di dunia.
Sedangkan letak geografis Maluku Utara didominasi oleh daerah kepulauan sehingga makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat adalah ikan dan seafood lainnya. Kondisi geografis ini cukup menyulitkan pembangunan infrastruktur dan SDM karena tidak didukung oleh sarana prasarana yang memadai.
Berangkat dari hasil survei dan kondisi geografis itu, Maluku Utara seharusnya dekat dengan kondisi sejahtera. Namun, realitas berkata lain daerah penghasil ikan itu justru memiliki angka kasus stunting yang terbilang tinggi. Prevalensi stunting di daerah dengan julukan marimoi ngone futuru menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 sebesar 27, 5 persen.
Prevalensi 27,5 persen ini melewati standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Itulah sebabnya, Maluku Utara menjadi provinsi yang membentuk satgas untuk menangani serta menurunkan kasus stunting. Dalam upaya penanganan stunting tidak cukup dengan hanya membentuk satgas, dibutuhkan formulasi kolektif kolegial.
Masalah stunting adalah masalah bersama. Masyarakat tidak sepenuhnya disalahkan juga dengan pemerintah tidak sepatutnya dimintai pertanggung jawaban secara penuh. Jika ditelaah, terdapat pelbagai faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus ini. Pertama, kondisi kesehatan ibu. Beberapa jurnal penelitian menyebutkan bahwa rata-rata remaja putri di Indonesia termasuk Maluku Utara mengalami anemia dan sedikit dari mereka enggan mengonsumsi suplemen penambah darah. Hal ini berdampak secara kontinu saat mereka menjadi seorang ibu. Dilansir dari laman halodoc, ibu yang mengalami anemia saat mengandung memiliki risiko tinggi melahirkan anak dalam keadaan stunting.
Faktor kedua adalah tingkat pendidikan ibu. Kecerdasan seorang ibu dibutuhkan untuk mengetahui pola asuh yang benar terhadap anak. Walaupun tidak menempuh pendidikan yang tinggi, paling tidak seorang ibu memiliki rasa ingin tahu yang besar dengan memanfaatkan fasilitas internet untuk memperluas pengetahuannya. Minimnya keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan berdampak pada tingginya angka pernikahan dini di Maluku Utara. Sehingga pernikahan dini pun mempengaruhi kesiapan secara fisik dan psikis perempuan untuk mengandung dan melahirkan.
Kemiskinan merupakan faktor yang ketiga. Cukup krusial mengenai faktor kemiskinan, pasalnya hasil survei bahwa Maluku Utara memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dinilai kontradiksi dengan kondisi riil di kehidupan sehari-hari. Pemenuhan gizi yang lamban dikarenakan kondisi keuangan tidak dalam taraf stabil. Banyak anak-anak yang dilahirkan pendek (stunting) berasal dari masyarakat miskin.
Dari ketiga faktor tersebut, terdapat beberapa solusi yang dapat diimplementasikan sebagai upaya destruksi kasus stunting di Maluku Utara. Pertama, para remaja putri di Maluku Utara diharapkan lebih melek kesehatan dengan disiplin menjaga kesehatannya sejak dini. Sebagai calon ibu, remaja putri senantiasa memperhatikan pola makan dan pola hidupnya. Salah satunya, memperhatikan kandungan zat besi dalam tubuhnya agar terhindar dari kondisi anemia.
Kedua, terkait dengan tingkat pendidikan ibu. Untuk mengatasi masalah pernikahan dini sebagai akibat dari perempuan-perempuan yang putus sekolah, penulis teringat dengan salah satu kebijakan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara yaitu penghapusan beasiswa lanjut studi di tahun 2023 menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam meningkatkan kebodohan masyarakatnya termasuk kalangan perempuan. Sangat disayangkan, kebijakan strategis seperti ini dihilangkan.
Selain itu, angka stunting yang tinggi di Kabupaten Taliabu kemudian disusul Halmahera Selatan dan kabupaten lainnya dipengaruhi oleh lemahnya sarana prasarana sehingga pengetahuan para ibu mengenai pemenuhan gizi pun minim. Saat ini, fasilitas yang dapat mendukung pengetahuan para ibu walaupun tidak menempuh pendidikan tinggi adalah internet. Menurut Max Weber dalam teori konstruksi sosialnya, manusia dapat bertindak berdasarkan pemaknaannya terhadap kenyataan sosial. Jika kenyataan sosial para ibu di Maluku Utara tidak berbasis teknologi, maka yakin dan percaya bahwa tindakannya pun tidak melibatkan teknologi tersebut. Sehingga pengetahuannya tentang gizi yang diakses melalui internet pun tidak dilakoni dengan baik.
Adapun kebijakan lain yang menyayat hati adalah program “Ceria Care” yang diluncurkan oleh Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Maluku Utara. “Ceria Care” yang direncanakan sebagai wadah pencegahan pernikahan dini berbasis teknologi informasi dinilai tidak bersifat solutif. Menurut hemat penulis, program ini dapat bermanfaat jika pemerataan jaringan di Maluku Utara telah tuntas. Namun pada kenyataannya, jaringan di Maluku Utara belum teratasi dengan baik. Sehingga ikhtiar baik dalam mencegah pernikahan dini tidak dapat menjangkau sampai ke daerah-daerah dengan kasus stunting yang tinggi. Solusinya, pemerintah harus berani melakukan terobosan baru dengan menghadirkan jaringan seluler maupun internet sampai ke pelosok desa di Maluku Utara.
Solusi ketiga yang dapat ditawarkan adalah tentang upaya memberantas kemiskinan. Perekonomian di Maluku Utara jangan hanya mengandalkan capaian perusahaan tambang. Artinya, masyarakat jangan dimanjakan dengan melibatkan diri sebagai pekerja di sektor tambang. Masyarakat harus memiliki kesadaran mandiri secara ekonomi dengan mengandalkan potensi alam yang ada. Salah satunya menjadi pelaku usaha berbasis potensi yang dimiliki daerah, jangan hanya menjadi penonton.
Untuk mempertegas ketiga solusi yang ditawarkan, penulis berharap pada tahun 2024 masyarakat Maluku Utara dapat memanfaatkan hak pilihnya memilih para pemimpin yang memiliki kapasitas dan kapabilitas serta para calon pemimpin diharapkan mencalonkan diri karena kemampuannya bukan hanya karena finansial. Sebab para legislator dan birokrat di Maluku Utara sangat memenuhi syarat untuk dilakukannya reformasi. (*)