Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
MENJADI tokoh publik bermakna menjadi teladan. Keteladanan dalam hal ini, adalah menyangkut kepribadian yang otentik. Sebuah performa yang teruji dalam waktu dan kokoh dalam guncangan. Bukan kefiguran formal yang periodik, bukan pula karena rupa-rupa legitimasi tradisional (lama) yang feodalistik.
Ketokohan, kalau kita merujuk generasi awal-tercerahkan di negeri ini, serta di masa-masa setelahnya –untuk menyebut beberapa etape— adalah ketokohan yang berbasis pada ke-benar-an, bukan yang bersandar pada ke-tenar-an. Justru ketika publisitas membesar dan formalisme jabatan, titel, dan status sosial diperebutkan, seorang tokoh haruslah menegaskan dan memerankan “karakter” aslinya.
PADA Jumat 14 Maret 1980, tokoh besar bangsa ini, Bung Hatta, meninggalkan negeri yang amat dicintainya. Ia adalah “tokoh abadi” Indonesia sepanjang sejarah. Bung Hatta adalah figur yang kokoh perannya dan dirujuk keteladanannya sepanjang masa karena tiga aspek: otaknya, wataknya, dan ahlaknya.
Sejak awal, urusan diri-pribadi, keluarga dan semua interes kelompok sudah ia buang jauh-jauh. Bahkan, beberapa tahun sebelum Hatta wafat, ia sudah berwasiat: “apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia merdeka. Saya tidak ingin dikuburkan di makam pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya”.
Amatlah terang bahwa ketokohan di negeri ini punya rujukan. Kita bersyukur bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang sejak awal telah menorehkan kampion-kampion (manusia) hebat yang terbukti kukuh menyatukan “kata dan perbuatan”. Mereka, terutama generasi Bung Hatta, generasi awal pejuang-pemikir bagi Indonesia, telah memberikan kita lukisan nyata bagaimana semestinya dalam bertindak, berbicara, dan berkiprah di tengah-tengah masyarakat.
Di tingkat regional, saya punya kisah sederhana. Beberapa tahun yang lalu, secara kebetulan, saya ketemu di bandara Jalaluddin di Isimu – Gorontalo dengan mantan walikota Manado, Lucky Korah. Rupanya beliau adalah staf ahli Menteri dan sedang punya acara di Gorontalo. Saya heran, meski saya lebih dulu menegur beliau di seberang sebuah cafe, tapi beliau langsung berdiri, mendekati, memanggil nama saya, dan wajahnya pun amat antusias. Tak ada yang berubah dari gayanya! Saya heran, tak menyangka Pak Lucky punya “daya ingat” hebat. Lagi pula, siapalah saya ini: hanya mantan mahasiswa kere yang bersentuhan dengan beliau –-sebagai Walikota Manado– menjelang Orde Baru tumbang (1997-1998).
Kita butuh pribadi yang otentik! Dengan itulah, dalam hemat saya, ketokohan dibangun dan terjaga. Ketokohan bukan soal popularitas, bukan pula soal jabatan dan kemewahan hidup. Ketokohan juga bukan “periode kekuasaan”. Ketokohan adalah juga bukan soal titel kesarjanaan.
Di permukaan, ketokohan adalah soal pengakuan dan jejak hidup. Masalahnya, apakah sebuah pengakuan akan berlangsung abadi? Apakah pula dengan jejak hidup akan melanggengkan ketokohan seseorang? Jejak hidup yang seperti apa? Pengakuan dari kelompok masyarakat yang mana? Bukankah setiap tokoh punya pengikut, penjilat dan lingkaran sendiri?
Tokoh bisa pula muncul dengan tiba-tiba. Begitu banyak orang yang tak pernah berbuat apa-apa dalam lima atau sepuluh tahun lalu, tapi tiba-tiba saja muncul di permukaan dengan balutan publisitas dan pencitraan. Di mana-mana harus tampil. Harus selalu ada “Saya!”. Ia “menumpangi” dengan cerdik berbagai momen di suatu wilayah.
Agen-agen public relations-nya dan ekspose di media sosial membentuk ketokohannya. Dia kemudian terterima, citranya terus meluas, menggoda, meyakinkan, dan akhirnya “terpilih” menjadi tokoh. Padahal, jejak digitalnya membuktikan bahwa ia tak punya “gagasan besar” yang membumi-teruji, memihak, dan itu semua konsisten di kerjakan. Jika toh ada (?), maka “uang negara”lah yang menopangnya.
Tapi apakah ketokohan akan otomatis langgeng sepanjang waktu? Tidak! Sangat nyata beberapa tahun terakhir ini; telah berjejer wajah (tokoh) koruptor di negeri ini. Mereka adalah para tokoh yang sekian tahun disanjung. Banyak Bupati yang korupsi, beberapa Gubernur dan Menteri juga begitu. Politisi di DPR/DPRD juga tak jauh beda. Belum lagi ratusan tokoh lainnya di berbagai bidang: pendidikan, birokrasi, penegak hukum, pekerja sosial, lembaga agama, dst. Sebagian bahkan mengoleksi pangkat-pangkat, gelar-gelar akademis, dan lambang-lambang ‘kehormatan’.
Negeri ini mengoleksi “tokoh-tokoh yang tragis hidupnya”. Mereka, dalam jabatannya di tingkat desa, daerah sampai di tingkat nasional, semuanya adalah orang-orang terpandang pada mulanya. Dengan lelah mereka membangun karier, tapi entah kenapa, ketokohan mereka terus mengalami retak demi retak kemudian hancur lebur karena godaan materi dan gaya hidup. Di antaranya disebabkan karena keterlibatan “teman sekelompok”, “kepentingan keluarga”, “egoisme kuasa”, serta faktor lain yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Tokoh adalah jenis “manusia yang sudah tuntas dengan dirinya sendiri”. Ini sebuah defenisi yang lumayan enak diucapkan tapi amat sulit penampakannya di alam nyata. Di banyak tempat, kini kita menyaksikan begitu banyak “penampakan tokoh” di berbagai sudut dan suasana. Di antara mereka, ada yang menjual “pengalaman”nya, banyak pula yang hendak melariskan jargon dan citranya di mata masyarakat. Sudah terpampang banyak harapan, sudah terlipat banyak trauma dan tragedi, tapi masih terbuka “jalan panjang” pengabdian ke masa depan.
Di sisi lain, jejeran “para mantan” juga masih sangat aktif menawarkan pengabdiannya kepada publik. Ternyata, di medan kekuasaan, tak berlaku konsep “pensiun”. Semua pihak masih tergoda dengan kekuasaan dan tak kenal lelah menggoda perhatian orang banyak. Lalu di manakah sesungguhnya makna ketokohan sebagai “manusia yang sudah tuntas dengan dirinya sendiri” itu?.
Setiap tokoh sepertinya hendak membawa cita-cita dan kawanannya sendiri. Mereka tak lelah memelihara legitimasinya di masyarakat. Mereka rela bertengkar dan berkonflik setiap saat dengan tokoh-tokoh lainnya.
Mereka “berebut pengaruh”. Entah untuk apa dan siapa. Mereka meniti pergolakan batin yang tak pernah usai. Setiap kali ada momen, mereka “bertaruh” berebut citra dan perluasan pengaruh. Suara publik demikian mudah ditumpangi.
Tokoh adalah figur manusia yang tak mengenal kata lelah dan kalah. Mereka tak menerima kata istirahat. Panggilan untuk berperan dari berbagai kalangan sebanyak undangan acara yang mereka terima. Di tingkat praktis, ketokohan bisa diukur dari jumlah “kesibukan” yang dijalani setiap harinya. Intinya, tokoh adalah “orang sibuk”. Masyarakatlah yang melahirkan tokoh-tokoh. Dan di dalam masyarakat pulalah setiap tokoh bisa bangkit dan jatuh.
Kini yang banyak kita saksikan adalah ketokohan di panggung kekuasaan. Yang kurang adalah ketokohan yang “hidup abadi” di hati dan pikiran masyarakat. Ketokohan seperti ini tak mengenal periode kuasa. Ia pengabdi-abadi karena “sikap hidupnya” yang konsisten. Ia berani berkata benar dalam kondisi apa pun.
Ia bekerja dengan prinsip “satunya kata dan perbuatan”. Kepada para tokoh, camkanlah nasehat Bung Hatta: “Abad ini sudah melahirkan zaman besar bagi Indonesia. Tetapi saat yang besar ini jangan hendaknya menjumpai manusia yang picik hati”.
Ketokohan akan jatuh berulang ketika nasehat mulai dicampakkan. (*)
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com