Oleh: Naufaldi Hadyan Saleh
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unkhair Ternate
SAAT Jogja begitu istimewa baik secara kultural, bahkan negara melabeli langsung dengan sebutan DIY atau Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini bukan alasan historis semata, tetapi Jogja selalu menunjukkan bahwa keistimewaan itu memang ada.
Kesultanan yang cukup kuat dari dulu hingga sekarang ditambah di kota ini terdapat 40 perguran tinggi menasbihkan Jogja juga dijuluki kota pelajar. Selain Jogja yang memiliki ciri khas atau city branding di Indonesia, Bandung juga salah satu daerah yang memiliki ciri khas tersendiri.
Jika mendengar nama Bandung, maka yang terlintas dipikiran kita adalah kota yang sejuk, dingin, banyak taman bunga, wisata belanja, tempat kuliner, dan tentu saja juga di tempat ini terdapat perguruan tinggi yang terkemuka di Indonesia.
Tidak lengkap rasanya kalau salah satu perguruan tinggi tersebut tidak disebutkan nama Universitas Padjajaran. Namun, tak hanya sampai di situ saja, kota pemilik julukan “Paris Van Java” ini ternyata memiliki berbagai kekhasan yang mungkin tidak dimiliki kota-kota lainnya. Salah satu ciri khas kota sejuk ini adalah dengan adanya ikon Gedung Sate. Keramatamahan masyarakat sunda menjadi pelengkap saat orang menginjakkan kakinya di kota ini.
Bergeser kearah timur jawa, tepatnya di Surabaya gerilya pahlawan dahulu sudah terasa di kota ini dengan adanya patung – patung pahlawan yang berdiri kokoh di sudut kota. Tak heran kalau Surabaya dijuluki Kota pahlawan. Hal yang sama juga terjadi di kota Bali, saat berkeliling baik di mall, plaza, square dan lain-lain, aroma sesajen itu tercium sangat kental.
Di sana memang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Mulai dari mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai sampai jalanan kota Bali memang sangat kental pemandangan sesajen sebagai bentuk peribadatan masyarakat. Wisata alam yang mendunia mengharuskan wisatawan lokal dan mancanegara memilih Bali sebagai destinasi utama berlibur melepaskan kepenatan. Bali memang “The Island of Gods”.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Kota Ternate. Apakah sudah ada ciri khas yang membuat orang terngiang ketika mendengar Ternate. Melihat sejarah, sebenarnya Ternate tidak bisa dipisahkan dari ketiga daerah lainnya, yakni Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Naidah, penulis Hikayat Ternate menyebut kata “Maluku artinya Ternate, Tidore, Bacan dan Halmahera (Jailolo). Ini disebabkan karena menurutnya “Maluku kie raha ma asal rimoi bato, ma-kabasaran se ma-istiadat rimoi bato” yang berarti “Empat gunung Maluku sesungguhnya punya asal-usul, punya kemegahan dan budaya yang sama”.
Melalui sejarah, orang bisa mengenali Ternate dari dua prespektif sudut pandang. Sudut pandang pertama, bisa melalui penyebaran Islam di Indonesia di mulai dari Ternate yang menurut buku sejarah, ada seorang ulama dari bangsa Arab bernama “Imam Noh Bin Jafer Sadek” yang kemudian datang di negeri Gapi (Asal mula nama Maluku) untuk menyebarkan ajaran Islam.
Jafer Sadek pun menikah dengan salah satu dari tujuh puteri yang menurut sejarah hikayat bacan dari kayangan bernama “Nur Sifa”. Pasangan ini pun memiliki empat anak laki-laki dan empat anak perempuan. Empat anak laki-laki ini menurut sejarahnya menjadi cikal bakal terbentuknya 4 kerajaan besar di Maluku (Moloku kie raha).
Prespektif kedua ialah soal Ternate sebagai “kepulauan rempah-rempah”. Secara historis ini juga menunjukkan jika Ternate menjadi tujuan rute perniagaan rempah-rempah dari bangsa eropa. Bagi penulis, dua prespektif sudut pandang ini seharusnya tidak dapat dipisahkan, karena sejarah telah menunjukkan Ternate saat ini tumbuh sebagai daerah yang menjunjung tinggi adat istiadat se atorang (Agama) dan eksistensi pala dan cengkih (Rempah) yang masih menunjukkan kesuburan.
Dari historisnya, membuat saat ini melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, tercatat city branding Ternate sebagai kota rempah. Hasil pengamatan faktual saat ini cenderung Pemkot Ternate belum maksimal dalam penguatan city branding kota.
Mulai dari gerbang pintu masuk bandara dan pelabuhan, nuansa rempah masih jauh bahkan tidak ada sama sekali. Corak rempah belum sepenuhnya tersaji di area terminal ruang tunggu bandara Sultan Babullah, pelabuhan, Ahmad Yani, Bastiong, dan pelabuhan Sultan Mudaffar Sjah II (Dufa-Dufa). Aroma rempah pun masih kalah dengan kebisingan kepentingan orang keluar masuk di kota kecil ini. Sudut hingga dalam kota penguatan city branding “Ternate Kota Rempah”.
Nampaknya akan bertabrakan dengan tagline Pemkot saat ini “Ternate Andalan”. Belum adanya titik nol Ternate kota rempah menjadi sorotan apakah Pemkot serius dalam penguatan city branding Ternate. Yang paling mengganjal adalah terlihat tagline Pemkot “Ternate Andalan” justru lebih kuat bahkan di bak sampah, angkutan roda tiga pengangkut sampah, sampai label “Ternate andalan sampah” menjadi hal yang muncul di permukaan sudut kota.
Balai Kota/Kantor Wali Kota menurut pengamatan faktual di lapangan, hanya berdiri kokoh tiang-tiang penyanggah bangunan tua tersebut yang dilapisi corak rempah dengan baliho. Penyerahan cendera mata Pemkot pun hanya
sebatas kerangka gambar pala dan cengkih dilapisi bingkai. Tidak ada sama sekali produk hasil olahan dari rempah atau rempahnya sendiri yang mungkin lebih pas sebagai oleh-oleh dari Ternate untuk dijadikan cendera mata Pemkot.
Saat ini, kini mulai dibangun pusat kuliner rempah di berbagai tempat di Ternate sebagai upaya penguatan city branding, tetapi kondisi di lapangan masih belum dapat diselesaikan sesuai waktunya dan apakah kuliner yang dijual produk olahan dari rempah? Ini juga menjadi pertanyaan besar. Upaya penguatan fisik city branding Ternate kota rempah bagi penulis, harus juga menyasar kepada petani pala dan cengkih.
Pemberdayaan bagi mereka merupakan hal yang wajib dilakukan guna memperkuat eksistensi rempah di Ternate. Kelurahan yang dinilai sebagai penghasil utama pala dan cengkih harus menjadi prioritas utama sebagai cerminan Ternate yang ditunjukkan bagi wisatawan, sehingga mulai dari gunung hingga pesisir pantai, bandara dan pelabuhan sebagai pintu masuk harus terlebih dahulu menyebarkan aroma rempah yang kuat.
Aroma ini juga harus menjadi penyemangat bekerja dalam menuntaskan program prioritas bagi Ternate yang mandiri dan berkeadilan. Aroma ini juga harus membuat anak-anak riang gembira saat bermain, belajar dan bergurau dengan teman sebaya. Aroma ini harus dijadikan ingatan tentang kejayaan masa lampau dan pembangkit semangat bagi petani untuk selalu hidup-menghidupi keluarganya di bawah pohon pala dan cengkih.
Tentu saja aroma ini harus dijadikan aroma persatuan “Ino fo makati nyinga” (Mari kita bertimbang rasa) “Doka gosora se balawa (Seperti pala dan fulinya) bagi masyarakat Ternate. Jangan sampai aroma sampah lebih kuat dibandingkan aroma rempah. Ternate yang dahulu sebagai rute utama perdagangan rempah internasional harus
menjadi introspeksi semua pihak saat ini guna membangkitkan semangat persatuan menjadikan Ternate layak menyandang city branding kota rempah (The City Of Spice). (*)