Opini  

Dominansi Robotik dan Nasib Buruh di Masa Depan

La Ode Zulmin.

Oleh: La Ode Zulmin

Anggota Forum Studi Independensia

KETIKA bunga revolusi industri merekah dan harumnya merebak di seantero Inggris Raya tahun 1776, perubahan signifikan di bidang manufaktur, transportasi, dan industri-industri lainnya pun melaju. Barangkali yang lebih bertanggungjawab di era ini adalah James Watt, si jenius penemu mesin uap pada tahun 1769. Sebab, setelah proses pencapaiannya yang pelik, pun disusul penemuan-penemuan baru, semisal, alat pemintal benang pada tahun 1972 oleh James Hargreave.

Begitu mesin dapat bekerja dengan baik dan memproduksi lebih banyak dan cepat dibanding dengan tenaga manusia, maka buruh-buruh kehilangan pekerjaan yang dilengserkan oleh mesin buah tangan dari manusia super (sebutan dari Noah Harari). Di tahun 1758 Everet mesin pencukur wol yang digerakan oleh tenaga air, membuat 1 juta orang menganggur yang sebelumnya bekerja sebagai penyisir wol. (Lihat, Das Kapital I, hlm. 457). Sebab itu, para buru murka dan membakar mesin.

Hal ini yang mungkin terjadi di masa depan. Transformasi kilat teknologi melonjak begitu cepat. Terobosan-terobosan baru dan pembaharuan teknologi yang semakin pesat mengubah peradaban manusia. Kini, kita menuju ke masa revolusi industri gelombang ke lima atau biasa disebut Society 5.0,  konsep Jepang yang  diperkenalkan tahun 2019. Manusia semakin hari dituntut menjadi pragmatis karena pelayan yang begitu praktis.

Ihwal ini adalah keniscayaan, dan sebagai alarm bagi kita, bahwa beberapa puluh tahun mendatang robot bakal mendominasi. Soal robot memang sudah lazim. Namun, perlu kita ketahui, bahwa kata robot berasal dari bahasa Ceko “robota” yang diperkenalkan oleh Karel Apek dengan arti kuli atau pekerja yang tak kenal lelah. Kita tidak bisa mengelak, robot memiliki banyak manfaat, karena bekerja lebih cepat dan praktis  dan lebih banyak mengahasilkan produksi.

Meskipun kini nyaris semua orang mengenal kata robot, tetapi sedikit yang sadar bahwa dengan kehadiran robot ini maka mempengaruhi semua kehidupan. Kita bisa merasakan manfaat dari perkembangan teknologi yang semakin hari semakin cangih.

Suatu proyek masa depan pekerja robotik sudah diterapkan di Jepang. Tampaknya Jepang benar-benar serius mewujudkan konsep Society 5.0 yang dimotori oleh mereka. Dalam sebuah video berdurasi 12 menit yang ditanyangkan pada 26 Oktober 2022 di kanal YouTube Ruhi Cenet Bahasa Indonesia, seorang perempuan sedang berjalan mengunjungi Henn Na Hotel di Jepang, ia lantas ke meja resepsionis, berdiri satu robot perawakan perempuan. Robot itu layaknya seorang manusia, dibekali memori tatakrama Jepang untuk menyambut dan menyapa pengunjung dengan sedikit membungkukkan badannya. Nyaris semua fasilitas yanga ada di hotel itu digerakan oleh robot: kasir, pintu, almari, dll.

Pencapaian teknologi mutkahir ini melewati proses yang pelik. Sebab itu, pantas juga diberikan sebuah apresiasi untuk kemajuan teknologi. Namun, sekaligus juga sebagai biang dari problem ke depan.

Buruh di Era Robotik

Beberapa hari lalu, berbincang perihal buruh. Ada yang beranggapan bahwa buruh lebih diindentik dengan pekerja di perusahaan atau pekerja kasar lainnya. Jika kita beranggapan demikian, maka patut kita persoalkan lagi bahwa “buruh” bukan hanya memiliki makna sempit semacam itu, tetapi meliputi semua pekerja yang memperoleh upah, karena pada dasarnya ada dua jenis pekerja: buruh kasar dan buruh profesional.

Kedua jenis pekerja tersebut, bakal memilik peluang dan tantangan tersendiri di masa yang didominasi oleh robot. Kehadiran teknologi robotik menjadi peluang bagi yang memiliki soft skill, tapi bagi buruh kasar mungkin lebih sulit mendapatkan pekerjaan kalau tak memiliki ketarampilan yang mumpuni, dan hanya dapat meratapi kemiskinan dan kesengsaraan.

Meski begitu, suatu era baru tentu bakal diiringi dengan pekerjaan baru pula. Namun, di saat kita tak mampu menyesuaikan dengan era yang didominasi oleh robotik, probabilitasnya, kita bakal ditendang oleh para pemodal dan lebih memilih robot yang prakatis dan canggih. Tak pernah memikirkan bagaimana nasib buruh; hanya keuntugan-keuntungan bisnisnya saja yang diperhatikan, setelah itu buruh cari jalan sendiri ketika dipecat. Hal ini sudah mulai terbukti, ketika 50 ribu karyawan bank Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang diakibatkan oleh efisisni dan disrupsi teknologi pada tahun 2016.

Kelemahan pekerja yang di PHK, lantas digantikan oleh sistem kerja teknologi, dapat kita petik dan jadikan pegangan untuk bekal di masa depan, di mana hidup tanpa skill adalah cara sederhana untuk pengakhiran hidup.

Memang, pesatnya pekembangan teknologi menjadi kunci efisiensi, tetapi setiap revolusi menyimpan jebakkan yang begitu dahsyat. Hasil riset McKinsey & Kompany memperkirakan 47 persen pekerjaan akan menghilang di seperempat abad ke depan. Robot buatan manusia bahkan bakal menyingkirkan pekerjaan  800 juta tenaga kerja di seantero dunia pada tahun 2030. (Lihat Majalah Tempo, Edisi 18 November 2018).

Bagaimanapun kita hanya dapat menyesuaikan dan memanfaatkannya teknologi dengan sebaik-baiknyak– tidak melulu dituntut untuk meciptakan robot agar dapat menyesuaikan, melainkan melek teknologi dan cara pengunaanyalah yang mesti kita ketahui agar robot tak sepenuhnya menaklukan semua profesi dan pekerjaan.

Soal menentang zaman rasanya begitu sukar, kalau pun bisa, mungkin kita bakal ketinggalan jauh dengan zaman yang kita hidup saat ini. Karena, selain robot yang mengambil alih pekerjaan manusia, ada pula rekayasa genetik, dan algoritma-algoritma data juga menjadi tolak ukur suatu kebenaran di masa depan, yang tampak mencederai kebijaksaan yang dimiliki manusia. Teknologi sekarang dan mendatang bahkan memungkinkan seseorang untuk menghapus memori tentang masa lalu yang runyam, dan penuh trauma.

Sebab itu, perlu ada kesiapan yang matang, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, terutama “bonus demografi”  agar di masa mendatang dapat berbaur dengan dinamika kehidupan. Mekipun saat ini ada sebagian yang melakukan inovasi dalam dunia perobotan, tetapi itu hanya sebagian kecil saja, bahkan yang tak melek teknologi pun masih banyak. Dalam hal ini, mestinya secara menyeluruh, apalagi soal buruh-buruh kerap menjadi korban PHK.

Rasanya,  yang lebih bertanggungjawab soal ini adalah pemerintah. Mulai sekarang harusnya sudah menggagas konsep untuk masa depan buruh dan seluruh masyarakat untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang mumpuni di masa depan. Demikian pula pihak swasta jangan hanya berfikir bahwa pekerja manusia hanya bikin repot, dan mengabaikan para pekerja. Mestinya, turut bergandeng tangan untuk bangsa ini dan kesejahteraan masyarakat. (*)