Oleh: Ros Masuku
Ketua Kohati Komisariat Tarbiyah STAI Babussalam Sula
“Jika kau berani menancapkan impian dipuncak menara, maka kau juga harus berani bertanggung jawab atas apa yang telah kau tancapkan”.
SETIAP dari kita tentunya memiliki impian yang berbeda-beda. Apapun bentuk impiannya, tak lepas dari tekad yang kuat untuk mewujudkannya. Bahkan ada beberapa impian, dianggap oleh sebagian orang mustahil untuk diwujudkan. Bukan berarti mereka tak layak. Hanya saja, kapasitas finansial sebagai penopang memang sangat mempengaruhi tekad seseorang.
Seringkali kita temukan orang-orang yang hanya melihat dari kejauhan, impian demi impian mereka terbawa oleh angin sehingga yang tersisa hanyalah bekas dalam angan. Padahal, impian tersebut bisa jadi telah direncanakan secara matang. Namun apalah arti sebuah perencanaan, bila kita enggan untuk merasakan perihnya proses sebelum mencapai puncak kesuksesan.
Salah satu faktor yang menghambat proses, yakni kebiasaan menunda-nunda waktu. Terbiasa menunda waktu menunjukan, bahwa kita adalah orang yang tak memiliki target dalam mengerjakan sesuatu. Waktu luang seringkali dihabiskan untuk menggeser layar ponsel ketimbang membuka halaman buku.
Lebih senang menghabiskan kuota untuk menonton drama, ketimbang mengakses informasi-informasi penting. Alih-alih kita mudah terprovokatif oleh berita hoaks melalui media.
Sebenarnya begitu banyak peluang yang bisa kita manfaatkan untuk meraih impian. Hanya saja kita terlalu meremehkan waktu dan kesempatan. Membiarkan kesempatan berlalu tanpa pesan dan tertutupi oleh waktu tanpa kesan. Biasanya orang yang malas selalu mengharapkan sebuah keajaiban yang datang secara instan dengan alibi nasib keberuntungan.
Jika kita mengulang-ulang kebiasaan di atas, tentunya membawa dampak yang buruk terhadap segala impian.
Pun, ketika ada pekerjaan yang perlu diselesaikan hindari kata “nanti saja.” Sebab, satu pekerjaan yang tertunda akan menjadi beban tersendiri. Akibatnya, kita akan merasa sulit untuk menyelesaikannya bila pekerjaan sudah menumpuk. Olehnya itu, kata “nanti saja” harus diganti dengan “Ayo, kerjakan sekarang.”
Jika bukan kita sendiri, lantas siapa yang akan berkorban untuk menggapai impian yang terlanjur tertancap dipuncak menara?
Bukankah sulit menghentikan impian yang terlanjur bermain-main dalam angan?
Malaikat mana yang rela mengepakkan kedua sayapnya untuk memindahkan kita ke singgasana kesuksesan?
Olehnya itu, Kita harus mampu menaklukan tubuh yang malas dan memanfaatkan otak yang cemerlang untuk menyusun kembali proposal di masa yang akan datang. Kembali mengintrospeksi diri, lebih giat belajar dan mempersiapkan segala hal sejak dini.
“Jika kau berani menancapkan impian di puncak menara, maka kau juga harus berani bertanggung jawab atas apa yang telah kau tancapkan”.
Tentunya, segala upaya yang kita lakukan untuk meraih impian tidak akan berjalan dengan mulus begitu saja. Ada berbagai tantangan dan hambatan. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan beberapa hal, diantaranya:
Pertama, kita harus memiliki mental yang kuat untuk menghadapi segala permasalahan di masa transisi tersebut. Entah itu masalah finansial, masalah keluarga atau masalah-masalah lainnya. Yang pasti, akan menguji konsistensi kita sehingga memerlukan kesabaran ekstra untuk menghadapinya.
Kedua, harus banyak-banyak belajar dari kegagalan. Banyak orang sukses yang pernah gagal sebelumnya. Pun, sebagian orang memiliki bakat tetapi jarang dilirik. Jika saja mereka menyerah pada keadaan, mungkin kesuksesaan tidak akan pernah berpihak kepada mereka. Jadikan kegagalan sebagai pelajaran berharga untuk memperbaiki kekurangan. Jangan pernah merasa pesimis meskipun telah berulangkali gagal dan teruslah mencoba hal-hal yang baru.
Ketiga, jangan pernah berhenti untuk berdoa. Percaya atau tidak, kekuatan doa membawa energi positif atas apa yang sedang kita usahakan. Berdoa akan menumbuhkan sikap optimis. Tanamkan keyakinan bahwa kita tidak berjuang sendirian. Tuhan selalu menemani masa-masa sulit yang kita lewati.
Takdir milik Tuhan, akan tetapi ikhtiar milik kita. (*)
Semangat…!