Oleh: Muhammad Sagir Rajak
Mahasiswa Ilmu Politik UMMU
“Perempuan akan selalu di bawah laki-laki kalau yang diurusi hanya baju dan kecantikan’’ (Soe Hok Gie).
RIA Manurung dalam bukunya, kekerasan perempuan dalam masyarakat multietnik menyebutkan, “Patriarki adalah sistem sosial hubungan gender yang di dalamnya terdapat ketidaksetaraan gender. Laki-laki memonopoli akan seluruh peran sosial.” Kramarae dan Paula (1985) dalam bukunya A Feminist Dictionary menjelaskan bahwa patriarki merupakan term yang penting yang digunakan sebagai cara untuk mengelaborasi tertindasnya perempuan berdasarkan struktur dan susunan masyarakat.
Feminisme muncul sebagai antitesa dari argumen naif tentang justifikasi perempuan agar selalu berada di ranah privat. Setelah revolusi Prancis, terbukalah pandangan-pandangan masyarakat umum pada saat itu. Masyarakat Eropa mulai mengarahkan pandanganya pada persamaan hak dan keadilan termasuk hak politik dan sipil. Seorang tokoh feminisme liberal, yakni Mary Wollstonecraft (1759-1799) adalah seorang penulis feminisme liberal dalam karyanya A Vindication of the Rights of Woman mengatakan, bahwa sudah selayaknya perempuan dan laki-laki ditempatkan sama.
Dari defenisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa salah satu faktor penghambat bagi laju percepatan keterlibatan perempuan dalam politik ialah masih adanya pemahaman dan budaya patriarki yang masih menggerogoti kehidupan masyarakat.
Pemahaman dan kebijakan yang bias gender serta cenderung mendiskriminasi kaum perempuan mestinya harus dihilangkan dari kehidupan masyarakat Indonesia dan Maluku Utara khususnya. Maka kesetaraan gender menjadi konsep utama dalam menempatkan posisi perempuan dan laki-laki memiliki hak yang setara walaupun tetap memiliki bagiannya masing-masing. Peran politik perempuan dapat diartikan sebagai suatu kondisi keterlibatan perempuan dalam politik praktis maupun non praktis baik secara langsung atau tidak langsung.
Secara hukum, UUD 1945 pasal 28 H ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. UU nomor 10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan.
Dalam sila kelima pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini secara tegas memberikan ruang bagi siapapun warga masyarakat Indonesia untuk tidak didiskriminasi berdasarkan ras, agama dan suku. Setiap warga negara memiliki hak yang sama baik dalam politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 telah mewajibkan partai politik peserta pemilu untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap Anggota DPRD pada pemilihan legislatif dengan harapan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam keanggotaan DPRD agar jumlah perempuan yang berperan dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan meningkat.
Dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Padahal UU nomor 7 tahun 2017 telah mengatur pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Namun keterwakilan perempuan di parlemen masih cukup rendah. Hl ini berdasarkan data dari world bank tahun 2019, di mana negara Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara. Data hasil pemilihan umum tahun 2019 menunjukkan keterwakilan perempuan di parlemen (DPR RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Otomatis amanat Undang-undang tersebut belum terpenuhi secara baik.
Membaca kondisi Maluku Utara sendiri hampir sejauh ini keterwakilan perempuan di lembaga legislatif daerah (DPRD) belum menyentuh angka 30 persen. Bahkan tidak pernah. Jumlah anggota DPRD Maluku Utara tahun 2019 dari jumlah total 45 anggota DPRD, keterwakilan perempuan hanya 12 orang terdiri dari 1 orang dari Partai NasDem, 4 orang dari Golkar, 4 orang dari PDI-P, 1 orang dari Partai Gerindra, 1 orang dari Partai Garuda, 1 orang dari Partai Demokrat.
Keadaan ini tidak bisa dibiarkan, justru akan menjadi virus mematikan bagi langkah pergerakan dan perjuangan kaum perempuan untuk keluar dari kungkungan patriarki dan diskriminasi. Kaum perempuan harus diberikan kepercayaan untuk bisa dan duduk di legislatif agar tercipta suatu kondisi yang seimbang.
Mengutip pendapat Nadezhda Shedova di jurnal internasional IDEA dalam Julie Ballington (terj), mengemukakan kaum perempuan yang ingin masuk dalam dunia politik sering terkendala oleh lingkungan politik, publik, budaya dan sosial yang kadang tidak bersahabat dengan mereka. Kedepan peta perpolitikan Maluku Utara perlu diubah dengan mengarahkan pada peningkatan partisipasi perempuan dalam proses dan kontestasi politik menuju ke arah kesetaraan gender dan keadilan.
Melalui tulisan ini penulis sengaja menyoroti kiprah politik seorang srikandi politik Maluku Utara yakni, Alien Mus. Bagi penulis, ia seorang politisi perempuan yang cukup sukses dalam karir politiknya. Bahkan dapat dikatakan sebuah keajaiban politik kontemporer di Maluku Utara saat ini.
Tampilnya Alien Mus seakan mendobrak tembok kekakuan sosial dan politik yang menempatkan kaum perempuan seolah tak berdaya, tak punya kemampuan politik bahkan bermimpi jadi pemimpin pun tidak dibolehkan. Hanya kaum laki-laki saja yang bisa menjadi pemimpin baik di organisasi politik maupun di lingkungan masyarakat Maluku Utara.
Sekali lagi, Alien Mus punya kans yang cukup besar untuk ukuran seorang perempuan. Dengan sederetan pengalaman politik dan organisasi dan manejerial dalam Partai Golkar sendiri, salah satu partai terbesar di Indonesia dan khususnya Maluku Utara sebagai peraih suara terbanyak kedua anggota DPR RI pada pemilu 2019. Dengan rekapitulasi suara Irene Yusiana Roba 65.258 suara, Alien Mus 45.056 suara dan Ahmad Hatary 40.744 suara.
Secara organisatoris, Alien Mus telah menduduki jabatan penting dalam tubuh Partai Golkar Maluku Utara. Menjabat ketua KPPG Partai Golkar Maluku Utara tahun 2014 – 2015. Tahun 2016 – 2016 sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kota Ternate. Tahun berikutnya 2016 – 2020, terpilih sebagai Ketua DPD Partai Golkar Maluku Utara. Dan terpilih lagi untuk masa 2020–2025 sekarang menjabat Ketua Bidang Konsolidasi Wilayah Maluku DPP Ormas MKGR (2020–2025).
Pada pemilu tahun 2014, ia terplih sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara dan menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara periode 2014-2019 bahkan ketua termuda kala itu. Kini Alien Mus adalah politikus Indonesia yang menjabat sebagai anggota DPR-RI periode 2019–2024. Salah satu politisi yang masuk dalam bursa calon Gubernur Provinsi Maluku Utara. Maka diibaratkan jika Italia memiliki politisi perempuan sekaliber Mara Rosaria Carfagna dan Yunani dengan tampilnya Eva Kaili, maka Indonesia memiliki Alien Mus sebagai politisi perempuan yang menjadi garda terdepan, sebagai trandsetter dan model bagi peran politik perempuan di Maluku Utara. Dikenal sebagai figur inspiratif, egaliter dan punya kemampuan taktikal politik yang cukup telah terbukti membawa Partai Golkar selalu juara dihati masyarakat Maluku Utara.
Penulis meyakini bahwa dengan sifat yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, perempuan mesti diberikan kesempatan dan jabatan strategis di bidang politik sehingga nantinya dapat mengimplementasikan kemampuan, karakter dan kepemimpinan dari perempuan itu sendiri bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Besar harapan dengan tampilnya Alien Mus ke panggung politik, dapat membawa harapan baru bagi terbentuknya kepemimpinan ideal di tengah masyarakat Maluku Utara.
Mengutip kata-kata Bung karno dalam bukunya yang berjudul Sarinah “Kewajiban wanita menjalankan kewajibannya’. Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia dan wanita yang Merdeka. (*)