Oleh: Arthuur Jeverson Maya, S.Sos., M.A
Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia/Caleg DPRD Halbar dari Partai Demokrat
SEJARAH tidak menunjukkan sebuah penyingkapan bertahap atas makna dan kebenaran. Sebaliknya, sejarah merupakan cerminan sebuah ‘pengulangan dominasi tanpa akhir.’ Sejarah terjadi karena adanya pengetahuan dominan yang secara terus-menerus memiliki makna yang stabil dan dibungkus oleh kekuasaan, sehingga pengulangan dominasi adalah semata-mata hadir dari relasi kekuasaan dan pengetahuan.
Tidak adanya sejarah besar tunggal, melainkan banyak jalinan sejarah yang bervariasi dalam relasi pengetahuan dan kekuasaan. Sejarah bukanlah kejadian masa lalu, tetapi sejarah adalah masa kini. Dengan kata lain, sejarah adalah rezim kebenaran masa kini.
Sejarah Pancasila merupakan sejarah kekuasaan. Reproduksi nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila melekat dan mengakar pada rakyat Indonesia. Sayangnya, kemajuan teknologi dan informasi yang digambarkan sebagai era penghapusan ruang dan waktu telah menghadirkan berbagai perspektif “barat” yang beroperasi dalam arena pertarungan “nilai” dan berimplikasi pada penaklukan karakteristik bangsa Indonesia menjadi ke-barat-barat-an.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus melakukan “penyegaran pengetahuan” tentang pentingnya internalisasi Pancasila pada setiap bangsa Indonesia. Sehingga kemajuan dapat dipandang positif dalam menjaga hasrat kekuasaan Pancasila dalam diri bangsa Indonesia. Arus globalisasi bukanlah suatu ancaman bagi eksistensi Pancasila, tetapi sebagai instrumen penguasaan yang harus ditunjukkan melalui karakteristik bernilai Pancasila.
Budaya Indonesia adalah budaya Pancasila, di mana setiap perilaku bangsa ter-skema-kan dalam pemikiran Pancasila. Inilah yang kita sebut sebagai kekuasaan Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila adalah skema pemikiran bangsa Indonesia yang menyejarah. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah perebutan “tahta suci” untuk mendudukan Pancasila sebagai bentuk kekuasaan bangsa. Kelima sila menjelaskan nilai-nilai yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Simbol-simbol makna yang terdapat pada setiap sila harus menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia dan harus dijunjung tinggi.
Misalnya, sila keempat yang disimbolkan “kepala banteng” sebagai simbol kekuasaan bangsa. Butir-butir yang terkandung di dalam sila keempat menyatakan bahwa kekuasaan dalam negara harus dilakukan oleh rakyat dengan bijaksana melalui musyawarah dan perwakilan. Terdapat 10 butir yang perlu dipahami dan dimplementasi oleh rakyat Indonesia (baca: butir-butir Pancasila).
Praktek demokrasi yang mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan menjadi sikap bangsa Indonesia. Hukum tertinggi bangsa kita adalah mufakat atau kesepakatan. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi ditekankan bahwa “suara rakyat adalah suara tuhan.” Hal tersebut memberikan makna bahwa salah satu relasi kuasa Pancasila adalah kesepakatan yang datang secara langsung dan terbuka dari rakyat.
Pasca reformasi, sejak 2004 Indonesia telah menjalankan praktek musyawarah dan pengambilan keputusan berbasis rakyat melalui sistem pemilu secara langsung. Ini adalah awal dalam mempraktekan sila keempat dengan cara demokratis. Oleh karena itu, sebagai bentuk apresiasi terhadap pencapaian tersebut, maka bangsa Indonesia berkewajiban menjaga demokrasi yang sudah tercipta – jangan mau dirusak oleh segelintir elitis yang berupaya menghidupkan sistem oligarki. Demokrasi harus tetap hidup, dan oligarki harus tetap terkubur dalam kematian sejarahnya. Demokrasi bukan proses yang linear.
Sebagaimana pengalaman banyak negara, masih banyak tugas demokratisasi yang harus dituntaskan setelah menjatuhkan diktator. Pada kenyataannya, sejarah harus dipahami sebagai arena pertarungan berbagai kekuasaan dan Pancasila harus memenangkan tahta suci tersebut.
Sejarah Indonesia mengungkap dan mencatat signifikansi hubungan antara kekuasaan dan Pancasila. Hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah relasi kuasa. Pancasila kita dapat bertahan, jika memiliki relasi kuasa yang berkelanjutan. Demikian sebaliknya, suatu kekuasaan dapat bertahan di Indonesia, jika memiliki relasi terhadap ideologi Pancasila.
Tahun 2023 adalah tahun “sensitif politik.” Namun, bukan berarti sensitivitas politik memecahkan persatuan bangsa. Perlu diingat bahwa kita memiliki ideologi pemersatu dalam perbedaan, yaitu Pancasila. (*)