TERNATE, NUANSA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Maluku Utara bekerja sama dengan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Wilayah Maluku Utara menggelar kegiatan Psikoedukasi bertajuk “Stop Kekerasan pada Anak dan Perempuan”, di Kelurahan Bastiong Karance, Kota Ternate, Sabtu (19/8).
Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan memberikan edukasi atau pengetahuan kepada masyarakat khususnya orang tua agar memahami dampak dari kekerasan pada anak dan perempuan, cara mengantisipasi agar anak tidak menjadi korban kekerasan serta memahami peran orang tua sebagai support system yang penting apabila anak menjadi korban kekerasan. Dengan begitu, diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Provinsi Maluku Utara khususnya di Kota Ternate.
Adapun hasil yang diharapkan, yakni angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kelurahan Bastiong Karance mengalami penurunan, meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pentingnya pelaporan di saat terjadinya kekerasan di lingkungan Kelurahan Bastiong Karance, memberikan edukasi atau pengetahuan kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memahami hal-hal apa saja yang perlu disiapkan ketika menjadi orang tua, baik secara fisik maupun psikis, dan memberikan training kepada orang tua tentang parenting skill IV.
Sebagaimana diketahui, perempuan dan anak merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia, yaitu sebesar 64,57% dari total penduduk (Sensus Penduduk Tahun 2020). Oleh sebab itu, kualitas perempuan dan anak sangat menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Antara kualitas perempuan dan anak saling terkait, karena di Indonesia peran pengasuhan anak masih dibebankan kepada perempuan (ibu).
Komitmen negara terkait perempuan dan anak sangat tinggi. Hal ini antara lain terlihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Program “Peningkatan Kualitas Perempuan dan Anak” merupakan bagian dari prioritas Nasional ke 3 (tiga) yaitu “Peningkatan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas dan Berdaya Saing”.
Adapun keberhasilan dilihat dari capaian indikator Indeks Pembangunan Gender/IPG, Indeks Pemberdayaan Gender/IGD, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan, prevalensi kekerasan terhadap perempuan, Indeks Perlindungan Anak/IPA, prevalensi anak yang pernah mengalami kekerasan, dan persentase perempuan yang menikah sebelum 18 tahun.
Presiden Joko Widodo memberikan arahan untuk menyelesaikan lima isu prioritas perempuan dan anak selama periode 2020-2024, yaitu peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.
Anak-anak merupakan sebuah keajaiban yang lahir ke dunia. Pada dasarnya anak-anak membutuhkan keluarga dan lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya secara optimal. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang membahas tentang Perlindungan Anak menekankan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara adil, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (dalam Profil Anak Indonesia, 2020) pada tahun 2019, 31,6% penduduk Indonesia adalah anak-anak, yang merupakan aset masa depan bangsa. Oleh sebab itu, keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak dapat menjadi penentu keberhasilan membina sumber daya manusia Indonesia yang unggul ke depannya.
Apabila pembinaan atau pola asuh yang diterapkan berhasil, maka anak-anak dapat tumbuh dan kembang dengan baik sehingga dapat menghasilkan sumber daya yang unggul serta menjadi kekuatan Negara Indonesia untuk menghadapi tantangan di masa depan. Namun sangat disayangkan bahwa banyak anak-anak sering mengalami kekerasan.
Hal ini berdasarkan data penelitian SNPHAR (2018) menyebutkan bahwa kekerasan fisik pada anak umur 13-17 tahun untuk laki-laki sebesar 36,43% atau 1 dari 3 orang anak laki-laki selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik. Sedangkan pada anak perempuan sebesar 19,35% atau 1 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik selama hidupnya (dalam Profil Anak Indonesia, 2020).
Selain itu, berdasarkan data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018 menunjukkan bahwa sejumlah 36,43% anak laki-laki dan 19,35% anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan fisik selama hidupnya. Selanjutnya, persentase kekerasan emosional sebesar 52,34% pada anak laki-laki dan 58,51% pada anak perempuan usia 13-17 tahun.
Selain itu, terdapat anak yang mengalami kekerasan seksual yaitu sebanyak 6,31% anak laki-laki dan 9,96% anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya. World Report on Violence and Health dalam tahun 2015, menyatakan ada empat bentuk kekerasan, yakni fisik; seksual; psikologis; dan penelantaran. Krug et, al (2002) menyebutkan bahwa terdapat beberapa tipe kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis atau emosional, dan penelantaran (neglect) (Ariani & Asih, 2022).
Hasil penelitian ilmiah menunjukkan dampak dari kekerasan seksual terhadap anak dapat mengakibatkan kerusakan saraf di bagian cortex dan frontal cortex, apabila bagian ini rusak maka dampaknya anak akan terbunuh karakternya. (KPAI, 2014) dampak yang paling parah, 70% korban kekerasan seksual rawan menjadi pelaku (Erlinda, 2014).
Dampak yang muncul dari kekerasan seksual kemungkinan adalah depresi, fobia, mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama, membatasi diri dengan lingkungan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Karena itu, untuk mengurangi keresahan dan kekhawatiran karena dampak negatif yang dirasakan oleh anak korban kekerasan, Dinas PPPP dan Himpsi Malut menggelar kegiatan tersebut. (tan)