Opini  

“GAWAT DARURAT” Demokrasi Indonesia

Oleh: Nurcholish Rustam
Ketua Rampai Nusantara Malut

_____

DEMOKRASI Indonesia boleh dibilang dalam keadaan tidak normal atau ‘gawat darurat’, alias perlu tindakan penyelamatan secara serius dan seksama, agar tidak mati. Agaknya penilaian ini tidak terlampau berlebihan, mengingat suasana dan kondisi sosial-politik yang begitu carut-marutnya oleh perbuatan pengaruh kekuasaan secara amat ‘telanjang’, sehingga banyak hal yang sesungguhnya lebih penting dan mendesak, yang bersentuhan dengan nasib rakyat banyak terabaikan. Potret konflik politik di level elite setidaknya secara tegas memberikan pesan yang amat mendalam bagi para siapa saja yang menghendaki tegaknya demokrasi, untuk menyelamatkan demokrasi itu sendiri.

Rasanya, belakangan banyak pihak yang merasa telah paling demokratis. Klaim atas nama demokrasi, lantas banyak dijadikan alasan dan legitimasi politik untuk kepentingan menggusur atau mempertahankan kekuasaan. Tentu saja, kesannya menjadi amat rancu tatkala demokrasi diklaim oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik sebagai pembenaran atas konflik-konflik yang terjadi di antara mereka. Demokrasi memungkinkan terwujudnya konflik, namun aneh jadinya bila atas nama demokrasi, justru orientasi sosial-politik kekuasaanlah yang paling menonjol. Lihat saja dalam beberapa hari terakhir, banyak kampus dan guru besar akhirnya bersuara soal keresahan dan kegelisahan mereka terkait kondisi demokrasi yang terjadi saat ini menjelang Pemilu.

Kondisi gawat darurat demokrasi, yang kini terjadi ironisnya bukan karena ia sengaja dimatikan oleh negara (state), melainkan justru oleh para pemainnya sendiri, baik yang duduk di level elite maupun non-elite. Mereka saling beradu kekuatan satu sama lain, dengan semangat win-lose solutions, atau dengan kata lain harus ada yang kalah atau menang secara total. Kalau dulu, di masa orde baru demokrasi disamarkan alias direduksi sedemikian rupa oleh negara, sebagai semacam gincu semata, maka di era kebebasan berdemokrasi saat ini, ia memahami apa yang diistilahkan oleh ilmuwan politik sebagai ‘superfluitas demokrasi’.

Superfluitas demokrasi mengisyaratkan adanya tingkat kecepatan yang tinggi untuk menerapkan demokrasi, menyusul dibukanya keran politik yang selama ini tertutup. Ia mengucur deras, tapi sayangnya tak diikuti oleh munculnya pemenuhan persyaratan lain, agar superfluitas demokrasi tersebut tak berefek negatif. Demokrasi yang superfluitas tanpa diimbangi dengan mentalitas, struktur dan infrastruktur yang kuat justru menimbulkan gawat darurat demokrasi yang kian mengkhawatirkan. Kondisinya bisa lebih buruk, ketimbang tatkala ia diselipkan oleh rezim semi-diktator.

Yang terjadi saat ini antara lain adalah tak diimbanginya superfluitas demokrasi tersebut dengan kesiapan budaya dan segala aspek teknis penunjangnya yang superfluit pula. Ini persoalan pertama. Yang kedua, perjalanan menuju demokrasi yang menggelinding selama ini (pasca Orde Baru) tidak terdesain atau tertata rapi dan alami. Demokratisasi dijalankan dengan kegugupan-kegugupan sosial-politik. Tidaklah mengherankan bila cendekiawan Nurcholish Madjid menilai bahwa peta politik setiap hasil pemilu akan selalu tidak asli. Dalam setiap momentum Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah dipastikan ada dominasi pikiran negatif, memilih partai atau caleg tertentu tidak sepenuhnya karena kesadaran kecintaannya, tapi lebih kepada kemarahan dan ego pribadi atau kelompok terhadap pihak lain. Akibatnya, kata Cak Nur, hal itu tak bisa dijadikan fondasi pembangunan demokrasi.

Demokrasi yang terkesan tertatih perkembangannya memang tak bisa dilepaskan dari tatanan awal dimana proses sosial-politik bergerak. Memang sejak Orde Baru tumbang, segera dibikin perangkat hukum (konstitusi) yang berupaya merombak aturan main, menjadi lebih “demokratis”. Namun, hal itu tampaknya kurang diimbangi oleh sikap mental para pelakunya. Iklim demokrasi tak segera memperoleh sambutan yang seimbang dari sisi budaya demokrasi. Superfluitas demokrasi tak diimbangi dengan revolusi mentalitas budaya lama yang salah kaprah.

Akhirull-qalam: dalam kondisi carut-marut kondisi sosial-politik sekarang, apa perlu dicari demokrasi alternatif yakni cara berdemokrasi yang tidak seperti sekarang dan di masa lampau? Tentu saja jawabnya adalah perlu. Tanpa ditanyakan hal itu, demokrasi akan terus berproses seiring dengan kreativitas dan kesadaran masyarakat. Demokrasi alternatif yang hendak dicari ialah desain besar sistem berdemokrasi yang lebih menjamin keberlangsungan demokrasi itu sendiri, tanpa ada intervensi atau tekanan dari suatu kekuasaan. Harus ada kesepakatan dan ikatan konstitusi yang tegas mengenai berbagai macam hal yang menjamin pelaksanaan demokrasi. Bila tidak, akan terjadi banyak tafsir konstitusi, yang satu sama lain akan merasa paling benar. Pengalaman sekarang setidaknya membuktikan itu. Semoga Pemilu 2024 berjalan sukses. (*)