Oleh: Asrab Muhammad
_____
ERA sekarang ini nampak runyam, dimana kita diperhadapkan dengan situasi politik yang hangat diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi kita baru saja meninggalkan kegiatan Pemilihan Umum sebagai bentuk dari pelaksanaan pilar demokrasi.
Tentunya kata demokrasi menjadi kunci penting dalam memahami kondisi politik negara di Republik Indonesia, seiring dengan itu terdengar ungkapan kata demokrasi yang sangat populer di kalangan masyarakat yang diperoleh dari media mainstream dan sebagainya.
Pada dasarnya demokrasi itu sendiri sudah ada sejak lama, yaitu sekitar pertengahan abad ke-5 sebelum masehi. Awal kemunculan sistem politik demokrasi ini berasal dari Negara Yunani. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sudah banyak negara yang kemudian menggunakan sistem pemerintahan demokrasi.
Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos dan kratos, demos adalah rakyat dan kratos adalah pemerintahan. Jadi dapat dikatakan bahwa demokrasi suatu sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasi demi kemajuan Negara.
Sementara itu, politik lokal secara harfiah adalah bagian dari suatu sistem politik yang dijalankan oleh suatu Negara, konteks lokal dalam hal ini menyisaratkan pada pemaknaan heterogenitas masyrakat lokal (daerah), yang memiliki kesejarahan, situasi batin, dan pisikologi yang berbeda.
Institusi politik lokal adalah suprastruktur dan infrastruktur politik, yang dimaksud dengan suprastrutur politik adalah pemerintah daerah dan DPRD, sedangkan infrastrutur politik adalah partai politik yang kesemuanya menjadi bagian terpenting dalam menjamin kelansungan pemerintahan yang baik demi tercapainya cita-cita bernegara.
Permasalahan yang kerap sekali kita temukan dalam pelaksanaan pemilu ke pemilu adalah praktik money politic atau politik uang yang sudah berlansung lama dan menjadi senjata pamungkas dalam mendulang suara. Pada akhirnya yang terpilih adalah mereka yang memiliki modal uang, sehingga pertarungan politik yang harus menjadi pertarungan gagasan dan program kerja, berubah menjadi pertarungan yang mengandalkan kekuasaan uang.
Dengan begitu, yang terjadi adalah lahir para politisi yang cenderung menggunakan jabatan yang diberikan rakyat terhadapnya menjadi alat transaksional materialistik belaka.
Disamping itu, hal ini karena sistem kaderisasi partai politik yang gagal, akan melahirkan tokoh yang pragmatis, dan tak memiliki nilai ideologis dan istrumen perjuangan yang dapat dipertahankan sebagai upaya untuk menjaga agar keinginan dan aspirasi masyarakat tetap menjadi hal utama dalam membangun peradaban masyarakat ke depan.
Dari permasalahan ini, dapat dikatakan mustahil terwujudnya politik yang mengedepankan etika dan gagasan. Oleh karena itu, kita akan tetap mengalami krisis kepemimpinan yang loyalitas dan kapasitasnya telah teruji kepada rakyat, kalau tolak ukur dalam memilih pemimpin yang dilihat latar belakang ekonomi-nya, bukan sepak terjang dalam menglola pemerintahan.
Hal ini dapat dikatakan jika politik lokal kita benar-benar di altar jual beli demokrasi. Akhirnya, pemilih yang baik akan melahirkan pemimpin yang teknokratik dan empati. Begitu juga sebaliknya, pemilih yang cenderung dibayar akan melahirkan pemimpin yang pragmatis, hanya memperhatikan nasib bisnisnya dalam istilah oligarki dan oligopoli. (*)