Opini  

Menulis Cabul Jangan Ngibul

Oleh: Isman Baharuddin
Pegiat Pilas

_____

“Mirisnya, ketika dunia memberikan banyak tuntutan kepada perempuan, kriteria yang sama tidak diberikan kepada laki-laki. Katanya, laki-laki memang harus nakal, badung dan mencoba segalanya.” Ester Pandiangan 2021

Pada Jumat siang di bulan Ramadhan, sinar matahari cukup panas dengan suhu 30 derajat celsius. Saya memainkan handphon (Hp) dan menikmati angin sepoi-sepoi di bawah rindang pohon mangga sembari membaca beberapa up date berita di salah satu group whatsup (WA). Tak lama berselang seketika saya terkejut dengan satu judul opini yang ditulis oleh Raihun Anhar, S.Pd dengan judul ‘Cabuli Remaja di Bulan Suci, Nauzubillah’ pada laman nuansamalut.com (29/03).

Pada opini tersebut penulis mencoba untuk mengkritisi sekaligus mengedukasi tertib sosial dalam hal ini supaya tidak terjadi ‘kejahatan seksual’ kepada perempuan-perempuan lain dengan cara menjaga diri sehingga terhindar dari perlakuan keji tersebut. Saya menduga maksud dari tulisan tersebut sangat baik, akan tetapi jika dilihat dengan pandangan kritis, narasi yang dibangun sangat mendiskriminasi para korban (Perempuan) kejahatan seksual. Dari struktur bahasa yang digunakan sangat menyudutkan para korban, seolah-olah yang menjadi pemicu tindakan keji tersebut tidak lain karena korban itu sendiri.

Cara berpakaian dan perilaku Perempuan menjadi alasan sehingga terjadi perlakuan tersebut. Yang perlu dijawab, apakah para korban (yang disebutkan dalam opininya) tersebut semua berpenampilan seksi? Sekalipun demikian apakah dengan berpenampilan seksi diwajarkan jika Dia diperlakukan dengan cara keji tersebut? Padahal perencanaan kejahatan tersebut mungkin saja sudah direncanakan oleh si pelaku jauh sebelum melancarkan misi kejinya, atau mungkin karena waktu dan tempat yang mendukung aksi bejat si pelaku dan mungkin juga karena alasan lain yang diidap pelaku. Hal tersebut mengindikasikan bahwa, tidak menutup kemungkinan perempuan yang berpakaian tertutup sekalipun akan menjadi korban, tidak ada kaitannya dengan penampilan, pergaulan, bahkan perilaku Korban. Di sisi lain, opini tersebut akan menghadirkan ketakutan kepada orang tua yang memilki anak perempuan, akhirnya terjadi pengekangan.

Ada beberapa larangan dari Raihun Anhar S.Pd untuk Perempuan dan dapat saya kelompokkan menjadi dua larangan, yaitu Perempuan dilarang bergaul dengan lawan jenis (membangun relasi) dan Perempuan dibatasi ruang dan waktu geraknya.

  1. Perempuan dilarang bergaul dengan lawan jenis (membangun relasi)

Manusia sebagai mahluk sosial (homo socius) selalu membutuhkan kehadiran manusia lain dalam menjalani hidup, hal demikian agar supaya dapat menghadirkan pengertian satu sama lain dan saling mengisi kekurangan. Sebagaimana Menurut Abdul Syani dalam Saidang dan Suparman (2019), naluri manusia yang selalu ingin hidup bersama. Menurutnya ada dua hasrat pokok manusia sehingga ia terdorong untuk hidup berkelompok. Yaitu pertama, Hasrat untuk bersatu dengan manusia lain di sekitarnya. Kedua, Hasrat untuk bersatu dengan situasi alam sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, hasrat untuk berkumpul dan berinteraksi dengan manusia lain merupakan kebutuhan dasar setiap orang yang tidak bisa dibatasi. Terlebih lagi di era saat ini dengan persaingan yang begitu ketat dan tuntutan pekerjaan yang harus profesiaonal, diharuskan agar setiap orang terus membangun relasi dengan siapa pun dan tidak menutup kemungkinan juga dengan lawan jenis.

  1. Perempuan dibatasi ruang dan waktu geraknya

Kita harusnya peka dan tak seharusnya membatasi orang lain dalam mengekspresikan dirinya, tidak membolehkan Perempuan berada di tempat tertentu atau bahkan di waktu tertentu Perempuan tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah. Secara tidak langsung telah merebut kebebasan dari perempuan-perempuan yang memiliki impian tetapi dibatasi dengan ketakutan ‘Pelabelan Negatif’ sehingga mengubur keinginan mereka.

Untuk itu, narasi yang dibangun Penulis dalam opininya tersebut tanpa disadari sangat merendahkan posisi perempuan. Mungkin kita masih perlu banyak belajar agar tidak seperti yang disebut Van Djik (dalam Eriyanto, 2012) tentang ‘Kognisi Sosial’, dalam artian kita berada di ketidaksadaran karena diliputi pikiran-pikiran rasis, dan tanpa sadar memandang rendah, memandang berbeda kelompok minoritas. Sekian!!! (*)