Oleh: Syafrijal Sibua
______
POLITIK uang atau money politics merujuk pada praktek di mana uang atau kekayaan digunakan untuk memenangkan kontestasi dalam pemilihan. Ini termasuk pembelian suara, penyuapan, dan pengeluaran besar untuk kampanye politik.
Tepat pada 27 November 2024, kontestasi politik pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dilaksanakan, baik itu pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi di seluruh penjuru tanah air.
Pemilihan kepala daerah merupakan awal yang baik untuk merancang perbaikan daerah kita di lima tahun mendatang. Untuk itu, perlu adanya pertimbangan yang matang untuk memilih calon pemimpin yang akan diberikan tanggung jawab mengurus daerah kita ke depannya.
Pemilih yang cerdas adalah yang mampu memberi hak suaranya dengan penuh tanggung jawab, tidak hanya sekadar memilih, tapi perlu mengetahui dampaknya di kemudian hari, termasuk praktek politik uang yang marak dilakukan jelang pilkada.
Mengutip Mujiono dalam Jurnal Administrative Law & Governance, memaparkan bahaya dan ancamannya yang akan terjadi ketika praktek politik uang dilakukan.
Pertama, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan: Politik uang sering kali menjadi pemicu utama korupsi. Ketika calon pemimpin mendapatkan dana kampanye dari pengusaha atau individu tertentu, mereka cenderung merasa berkewajiban untuk mengembalikan “investasi” tersebut setelah terpilih. Hal ini dapat mengarah pada praktek penyalahgunaan kekuasaan, di mana pejabat publik memberikan proyek pemerintah atau kebijakan yang menguntungkan kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan finansial.
Kedua, ketidakadilan dalam proses pemilihan: Praktek money politics menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan. Calon yang memiliki kekuatan finansial dapat mengeluarkan uang untuk membeli suara, menyewa pengaruh, atau bahkan mengintimidasi lawan politik. Ini mengakibatkan suara rakyat yang seharusnya menjadi penentu dalam pemilihan, menjadi tergeser oleh kekuatan finansial. Kandidat yang tidak memiliki sumber daya yang sama akan kesulitan bersaing, sehingga merugikan demokrasi.
Ketiga, kualitas pemimpin yang rendah: Ketika uang menjadi faktor utama dalam pemilihan, kualitas pemimpin yang terpilih bisa menurun. Banyak pemimpin yang hanya mengandalkan kemampuan finansial tanpa memiliki kompetensi, integritas, atau visi yang jelas. Akibatnya, keputusan yang diambil mungkin tidak berpihak pada rakyat, tetapi lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang telah mendanai kampanye mereka.
Keempat, erosi kepercayaan publik: Politik uang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Ketika publik merasa bahwa pemilihan umum tidak adil dan korupsi merajalela, mereka akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan institusi demokrasi. Ini dapat menyebabkan apatisme politik, di mana masyarakat enggan untuk terlibat dalam proses politik karena merasa suaranya tidak berarti.
Kelima, meningkatkan ketegangan dan konflik sosial: Ketidakpuasan masyarakat terhadap praktek dapat menyebabkan ketegangan sosial. Rakyat yang merasa diabaikan dan terpinggirkan bisa berujung pada protes, demonstrasi, atau bahkan kekerasan. Ketidakpuasan ini dapat merusak stabilitas sosial dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk pembangunan.
Keenam, pengabaian kepentingan publik: Ketika kebijakan publik ditentukan oleh kepentingan pihak-pihak yang memiliki uang, kepentingan masyarakat luas sering kali terabaikan. Proyek infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan bisa jadi tidak diutamakan jika tidak memberikan keuntungan finansial bagi para penyumbang. Hal ini memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Ketujuh, keterikatan pada lingkaran setan: Politik uang dapat menciptakan siklus yang sulit dipecahkan. Para pemimpin yang terpilih melalui praktik korupsi mungkin merasa perlu terus mengandalkan uang untuk mempertahankan kekuasaan. Ini menciptakan keterikatan yang berkelanjutan antara kekuasaan politik dan kepentingan bisnis, yang pada gilirannya mengakar dalam budaya politik negara tersebut.
Dengan demikian, di kesempatan yang baik jelang pilkada nanti, mari kita berkolaborasi melawan praktek politik uang, sebab dapat menimbulkan bahaya dan ancaman seperti disebutkan di atas.
Masyarakat sudah harus cerdas untuk menentukan arah pilihannya demi perbaikan daerah di lima tahun mendatang. Jangan tertipu dengan nominal uang atau hal-hal lainnya untuk memenangkan pertarungan dengan cara yang curang.
Selain itu, kepada seluruh penyelenggara dan aparat penegak hukum diharapkan netralitas dan tindakan tegasnya untuk mengawal proses pemilihan dapat berjalan dengan baik dan jujur agar tidak merusak citra demokrasi kita di Indonesia. (*)