Oleh: Dr Muammil Sun’an
Akademisi Universitas Khairun
_____
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) merupakan ajang pertarungan politik lokal yang pastinya melahirkan pemimpin yang akan menakhodai pembangunan daerah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan penumpangnya yakni masyarakat. Nakhoda yang akan dipilih masyarakat secara demokratis melalui pemilihan langsung pastinya adalah para figur-figur terbaik yang diberikan amanah atau tanggung jawab oleh rakyat untuk membawa kapal pembangunan dan nasib penumpang (masyarakat) hingga mencapai tujuan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Kemajuan daerah dan nasib masyarakat lima tahun ke depan bergantung pada nakhoda (kepala daerah) yang dipilih oleh masyarakat. Negara yang sudah demokratis namun mayoritas masyarakat yang masih berada dalam kemiskinan, seringkali dan nyaris tidak bisa dihindari adalah politik transaksional (uang). Hal ini tentunya proses pemilihan kepala daerah lebih mengarah pada ajang pertarungan kekuatan modal ekonomi semata. Olehnya itu, hak asasi masyarakat dalam memilih telah digadaikan kepada calon kepala daerah dengan harga tertinggi.
Perspektif teori ekonomi politik baru, yang populer dengan pilihan rasional dan pilihan publik yang mencoba menelaah perilaku politisi dan masyarakat dalam pasar politik. Masyarakat sebagai pemilih (voters) dan politisi (calon kepala daerah) akan melakukan transaksi dalam pasar politik. Perspektif teori pilihan publik, calon kepala daerah dipandang sebagai supllier yang akan menawarkan berbagai kebijakan dalam bentuk visi misi maupun sejumlah uang kepada masyarakat sebagai voters. Dalam pandangan ini, individu masyarakat sebagai aktor diasumsikan mempunyai serangkaian atau seperangkat preferensi yang bisa memaksimumkan utilitas dan keuntungan untuk dirinya. Dengan demikian, pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk berbagai fenomena ekonomi maupun sosial politik, seperti sikap pemilih (voters) dalam pemilihan kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah yang tidak lama lagi sangat menentukan nasib pembangunan daerah lima tahun ke depan. Masyarakat sebagai pemilih (voters) yang akan melakukan transaksi dalam pasar politik dengan para calon kepala daerah harusnya menyadari bahwa nantinya mereka memilih pemimpin, bukan menjual suara. Dengan demikian, perlu memahami kriteria pemimpin yang layak menakhodai kapal pembangunan daerah hingga para penumpang (masyarakat) bisa tiba dengan selamat hingga tujuannya, yakni kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini kita membutuhkan pemimpin yang amanah, adil, jujur dan bertanggung jawab sebagai abdi rakyat. Namun, dalam realita di setiap kontestasi politik, masyarakat sebagai pemilih (voters) cenderung lebih pada menjual suara dengan standar harga tertentu untuk memaksimumkan utilitas dan kepentingan pribadi ketimbang memilih pemimpin.
Jika yang terjadi dalam pilkada, mayoritas masyarakat lebih cenderung pada menjual suaranya, maka nasib pembangunan daerah lima tahun ke depan tidak bisa disalahkan kepada pemimpin yang nantinya menjadi pemenang dalam pertarungan politik lokal. Kiranya masyarakat dalam melakukan keputusan dalam serangkaian pilihan calon kepala daerah perlu didasarkan pada pilihan rasional untuk kepentingan masyarakat banyak dan utk kemajuan daerah. Jangan gadaikan moral atau harga diri sebagai pemilih (voters) dengan harga tertentu, hanya untuk kepuasan sesaat. Jangan memilih untuk kenyang seminggu dengan mengorbankan kepentingan pembangunan lima tahun ke depan dan penderitaan mayoritas masyarakat. (*)