Opini  

Sofisme Vs Sufisme dalam Arena Pilkada 2024

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego

Akademisi IAIN Ternate

___________

SYAHDAN, sekitar pertengahan abad ke-5 SM di Athena Yunani terdapat sekelompok guru atau akademisi yang dijuluki sebagai kaum Sofis. Kaum Sofis merupakan para cendekiawan, ahli retorika, dan logika yang pandai berdebat. Tidak sedikit lawan debatnya terhipnotis dan tak berkutik melalui permainan kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka masuk dari gang ke gang menjadi guru untuk mengajarkan ilmu, tetapi ilmu yang diajarkan sudah dimanipulasi kebenarannya.

Para kaum Sofis ini tidak mengajarkan kebenaran tetapi justru sebaliknya mengajarkan subjektifitas dan relativitas kepada masyarakat. Tokoh masyhur kaum Sofis seperti Gorgias dan Protagoras menyampaikan berbagai pemikiran yang sangat bertentangan dengan kaidah kebenaran. Mereka kemudian mengubah pengetahuan dari akarnya, memperjualbelikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan subjektifitas sebagai tolok ukur kebenaran. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran manipulatif kaum Sofis ini kemudian ditantang keras oleh filsuf Yunani bernama Sokrates.

Sejarah singkat kaum Sofis di atas menjadi dalil nyata bahwa Yunani yang terkenal sebagai negara yang berperadaban tinggi kala itu yang telah melahirkan banyak filsuf dan ilmuwan ternyata ditemukan orang-orang seperti kaum Sofis yang memberikan data dan informasi palsu (hoaks). Dalam konteks modern, kaum Sofis telah menjelma menjadi buzzer-buzzer politik yang berperan memberikan data dan informasi menyesatkan untuk membangun opini agar publik mengikuti pandangan dan pendapat mereka.

Lebih daripada itu, para kandidat atau calon pemimpin juga hari ini tidak sedikit berwajah kaum Sofis, kerap kali kita temukan mereka menipu rakyat dengan membuat janji-janji politik dengan dalil kesejahteraan rakyat di luar batas kemampuannya. Walhasil, setelah terpilih banyak dari janji-janji politiknya tidak terealisasi. Ini sebuah indikasi bahwa kaum Sofis juga mewujud dalam kepemimpinan dan pemerintahan.

Fenomena munculnya Sofisme politik di Indonesia dalam setiap momentum politik banyak dijumpai di berbagai platform media sosial. Mereka membuat narasi-narasi politik bernuansa hoaks dan ujaran kebencian bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Seperti temuan dari Monash University, Indonesia dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Terkait meningkatnya ujaran kebencian dan hoaks di media sosial Facebook, Instagram, dan Twitter. Hoaks berkaitan pemilu meningkat dari 35, 79% untuk rentang 1 Februari-13 Februari dan menjadi 45% untuk rentang 14 Februari-24 Februari 2024. Selain itu menjelang pemilu juga menguat isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) (Tempo.co, Edisi 9 Maret 2024).

Data di atas sejalan dengan ujaran kebencian yang terjadi di pilkada Maluku Utara. Dikutip dari rri.co.id (2024), berdasarkan data Patroli Syber, telah ditemukan ujaran kebencian atau hate speech di media sosial tentang pilkada baik pada level calon gubernur maupun calon bupati dan wali kota. Lebih jauh lagi, dapat kita temukan berbagai ujaran kebencian dari para pendukung calon kepala daerah di Maluku Utara berseliweran di media sosial terutama di grup Facebook dan grup WhatsApp.

Kehadiran Sofisme politik selain menghancurkan sendi-sendi demokrasi juga dapat mereduksi nilai persatuan bangsa Indonesia. Apalagi Maluku Utara sebagai daerah yang menganut nilai-nilai Adat Seatorang dengan Motto Marimoi Ngone Futuru yang memiliki arti Bersatu Kita Teguh. Sehingga perlu dicari alternatif untuk melawan ekspansi Sofisme politik dalam arena pilkada Maluku Utara. Salah satu solusi konkret adalah Sufisme Politik.

Sufisme dalam ajaran Islam merupakan ekspresi batiniah yang berdimensi esoteris mengandung hubungan vertikal antar manusia dengan Tuhan. Menurut catatan sejarah, penyebaran Islam ke nusantara juga melalui jalur tasawuf. Nilai-nilai Sufisme ini harus dibawa ke dalam panggung politik agar politik dapat memiliki nilai moralitas dan berkeadaban.

Dalam tradisi sufisme, syarat seseorang agar dekat dengan Tuhan harus terlebih dahulu menghilangkan akhlak tercelah (mazmumah) dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji (mahmudah). Selanjutnya, seorang sufi juga harus memiliki rasa malu, takut dan cinta kepada Tuhan. Sama halnya dengan pemimpin dalam suatu negara harus memiliki akhlak terpuji, memiliki rasa malu dan takut ketika berbuat kesalahan, mencintai rakyatnya dan memiliki sifat seperti Nabi Saw, yaitu berkata benar (siddiq), dapat dipercaya (amanah), cerdas (fathonah) dan dapat menyampaikan kebenaran (tabliq). Tipe pemimpin seperti inilah yang diharapkan terdapat dalam diri seorang kepala daerah di Maluku Utara.

Pada titik inilah, kata Hamka dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern bahwa orang bisa menjadi sufi di era modern dengan tetap bekerja sesuai dengan profesinya tetapi tidak meninggalkan etika dan ajaran Islam. Selanjutnya, menurut Aristoteles bahwa muara dari politik adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sehingga, terang dan jelas bahwa tasawuf politik menuntun orang menjadi beretika dan beradab ketika menjadi seorang pemimpin. Segala hal yang berkaitan dengan kebijakannya selalu mengedepankan aspek kebaikan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.

“Pemimpin sejati adalah mereka yang menuntun orang lain dengan teladan bukan dengan kata-kata” (Sayyed Hossein Nasr). (*)