Opini  

Melanjutkan Perjuangan!

Oleh: Isman Baharuddin

Pegiat Pilas Institute

____________

PADA tulisan sederhana ini kiranya saya ingin berbagi sedikit pemikiran dari kurangnya pengetahuan saya.

Jika hidup hanya dimaknai secara sempit, hidup bertalian dengan sesuatu yang masih bergerak, berpindah, berubah, menyala, juga hidup-mati merupakan oposisi-biner pada mahluk bernyawa. Seseorang yang diingat/dikenang juga merupakan bagian dari hidupnya. Sebagaimana Soekarno, lama sudah meninggalkan bumi tapi buah pikirannya selalu dipegang dan tentu saja hidup dalam ingatan masyarakat Indonesia. Tak terkecuali orang terkasih yang selalu hidup dalam kepala sekalipun hilang sudah jasadnya.

Babak baru beriringan datang pasca kematian, dalam pepatah melayu ‘patah tumbuh hilang berganti’ mengisyaratkan segala bentuk perpisahan berkawan dengan perjumpaan (hal baru). Tidak bermaksud menyalahkan, kesedihan yang berlarut tidak membikin waktu berhenti, waktu tetap bergerak maju.

Langkah tepat yang diambil Sherly Tjoanda menggantikan mendiang suaminya sesaat setelah sepeninggalan suaminya karena kecelakaan dengan speadboat di tengah melakukan kampanye. Sherly mempraktekkan pepatah melayu di atas, berusaha bangkit dari keterpurukan yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Di tengah kondisi politik tunggang berantai tak karuan, Sherly memberanikan diri maju bertarung melawan orang-orang yang jelas memiliki pengalaman lebih di atas dalam dunia politik. Keputusan itu, menjadikan dia (Sherly) satu-satunya keterwakilan perempuan sekaligus mencetuskan namanya dalam sejarah sebagai perempuan pertama bertarung pada perhelatan pemilihan gubernur Maluku Utara saat ini, keberanian yang patut diacungi jempol.

Jika ditilik dalam sejarah Indonesia, peristiwa semacam ini bukan kali pertama. Peristiwa istri melanjutkan perjuangan suami demi kemaslahatan ummat sudah terjadi sebelumnya. Di dataran Aceh, Cut Nyak Dhien (1848-1908) memimpin perang menggantikan suaminya yang mati saat melawan sekutu Belanda. Perempuan yang dua kali menjanda karena melawan Belanda itu tidak mudah menyerah, lawan dan terus melawan membuat musuh hampir kewalahan.

Cut Nyak Dhien salah satu perempuan yang ditakuti Belanda saat ingin menguasai Aceh. Sekalipun masa perjuangannya disusupi penghianatan orang pribumi yang berakhir pada penangkapan dirinya dan mengakhiri hidup di tempat pengasingan. Tapi berkat keberanian dan kegigihannya, Cut Nyak Dhien dianugerahi gelar Pahlawan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1964 (Wikipedia, 2024).

Masih di daratan yang sama (Aceh), seorang pejuang perempuan bernama Malahayati Flower (1550-1615) juga melanjutkan perjuangan suaminya yang gugur saat di medan juang (Museum, 2022). Peristiwa yang tak jauh berbeda dengan yang dialami Cut Nyak Dhien, Malahayati menjadi pemimpin untuk 2.000 orang berisikan para Janda Pahlawan yang tewas melawan sekutu (Inong Bale). Berkat Malahayati dan pasukannya, mereka berhasil membunuh Cournelis de Houtman sekaligus menawan Fedrick de Houtman di kerajaan Aceh pada tahun 1599. Malahayati pun telah dinobatkan sebagai Pahlawan Indonesia pada tahun 2017 lalu.

Jika dilihat dari latar belakang dua pemimpin perang perempuan Aceh di atas, kesuksesan memimpin pasukan berangkat dari pengalaman dan juga pengetahuan mereka tentang perang. Malahayati lulusan akademisi militer Ma’had Baitul Maqdis, jelas memiliki pengetahuan kemiliteran. Begitu pun Cut Nyak Dhien punya pengalaman tentang perang sejak bersuamikan Teuku Ibrahim Lamnga, setelah kematian suaminya dia tampil menggantikan posisi yang ditinggal suaminya melawan sekutu. Dan menjadi semakin matang dalam peperangan saat bersuamikan Teuku Umar.

Hal demikian menandakan bahwa suksesnya dua perempuan dalam memimpin di atas tidak lahir dari ruang kosong, tetapi bertalian dengan pengetahuan serta pengalaman yang dialami. Pertanyaannya bagaimana dengan Sherly?

Harus diakui perbedaan zaman dan lawan menjadi tantangan tersendiri, tetapi manusia tetaplah manusia, yang modern hanyalah mesin. Dua perempuan Aceh melawan penjajah yang ingin menguasai tanah leluhurnya, berbeda dengan Sherly harus menghadapi orang pribumi yang haus akan kemewahan, dan harus memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.

Mampu dan tidaknya Sherly belum bisa dinilai karena bahan pengujiannya belum didapat. Mungkin kita sepakat dengan kalimat Deng Xiong Ping (dalam Arge, 2002) ‘Bukan hitam atau putih bulu kucing, tetapi apakah si kucing bisa menangkap tikus?’

Sekian!!!