Opini  

Belajar dari Sang “Lafran”

Oleh: Ariyanto A Gani
Kader HMI Cabang Tidore

_____________________________

PENULIS mencoba merangkum tulisan ini, karena penulis merasa sangat terilhami dan tergugah ketika membaca beberapa buku yang membahas tentang sejarah perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yakni buku Merdeka Sejak Hati karya A Fuadi, Sejarah Perjuangan HMI karya Agussalim Sitompul dan buku Lafran Pane Jejak Pemikiran dan Hikayatnya karya Hariqo Wibawa Satria. Dalam ketiga buku ini penulis seakan terhipnotis dengan sosok yang bernama Lafran Pane, seorang pemuda visioner yang ceritanya patut ditulis dengan tinta emas, semangatnya membara-bara ketika memimpin organisasi, serta memiliki watak revolusioner ketika diperhadapkan dengan penjajah. Tentu dalam tulisan kali ini penulis mencoba mengajak kita semua untuk mempelajari dari sosok yang fenomenal ini agar bisa menjadi contoh dalam berorganisasi dan memimpin.

Pemerkasa Pendirian HMI

Lahir dan besar dari keluarga yang nasionalis dan agamais, tentu menjadi alasan yang berpengaruh besar dalam pola laku dan pola pikir seorang Lafran Pane. Sebagaimana dijelaskan dalam buku “Merdeka Sejak Hati” ayah Lafran Pane, Sutan Pangurabaan adalah seorang yang terdidik dan memiliki spirit perjuangan yang kental. Bahkan diceritakan bahwa ia rela menulis dan mencetak sendiri buku-bukunya agar dapat dibaca oleh khalayak umum. Kedua kakak laki-lakinya, Sanusi Pane dan Armijn Pane merupakan penulis handal dan ulet. Ketika memasuki perguruan tinggi, Lafran bergumul dengan berbagai pemikiran.

Mengikuti gerakan bawah tanah dan rapat-rapat organisasi yang dilakukan oleh para pemuda revolusioner kala itu. Bahkan Lafran merupakan salah seorang pemuda yang tergabung dalam pasukan pemuda yang menculik presiden Soekarno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Ketika berkuliah di Sekolah Tinggi Islam (STI), Lafran bergabung dengan organisasi mahasiswa yang berada di Yogyakarta, tepatnya di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bernama Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY). Namun, Lafran merasa bahwa organisasi ini terlalu jauh dengan agama, karena PMY juga merupakan organisasi mahasiswa sayap kiri Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bahkan membenci agama dan menganggap agama Islam adalah hal yang kuno dan tertinggal.

Lafran memiliki pemikiran yang tak sejalan dengan PMY, ia meyakini bahwa untuk membuat sebuah perubahan, kaum muda harus kembali kepada nilai-nilai spiritual, serta mampu menggunakan semangat keislaman dalam memperjuangkan dan mempertahankan negara Indonesia. Langkah yang Lafran ambil adalah dengan mendirikan sebuah organisasi mahasiswa yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam.

Mendengar Lafran yang ingin mendirikan organisasi Islam, PMY menentang keras. Hal ini dikarenakan para mahasiswa yang tergabung dengan PMY merupakan mahasiswa muslim. Jika HMI berdiri, PMY takut anggota mereka akan bergeser ke HMI . Namun, dengan semangat juang yang tak kenal lelah, mulai dengan mengkampanyekan HMI di masjid-masjid kampus, di tempat diskusi, serta di seluruh teman dekat, akhirnya pada 5 Februari 1947 HMI berhasil didirikan.

Strategi awal yang Lafran gunakan adalah dengan mendiskusikan dengan Kahar Muzakkar, rektor STI kala itu. Setelah disetujui, Lafran pun berdiskusi dengan Husein Yahya, dosen tafsir STI yang kelasnya menjadi tempat pendirian HMI. Peristiwa ini dijelaskan dengan baik dalam buku “Lafran Pane, Jejak Hayat dan Pemikirannya”. Bahwa waktu itu, tepat pukul 16.00, bertempat di sebuah ruangan STI jalan Setiodiningrat, masuklah mahasiswa Lafran Pane di dalam kelas dan berkata:

“Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Islam, karena semua persiapan dan perlengkapan sudah beres. Siapa yang mau menerima berdirinya organisasi Islam ini, itu sajalah yang diajak, yang tidak setuju biarkanlah mereka terus menentang”.

Pada saat itulah organisasi HMI kemudian berdiri dengan ada 14 orang mahasiswa di dalam kelas dan jika ditambahkan Lafran Pane maka semua yang ada dalam pendirian HMI ada 15 orang ditambah dengan Hussein Yahya selaku dosen pengampu mata kuliah kala itu.

Tidak Rakus Jabatan

Lafran Pane juga dikenal sebagai pribadi yang tidak rakus atau tidak berkelahi karena jabatan. Hal ini bisa dilihat dalam buku “Merdeka Sejak Hati” karya A Fuadi yang dalam sebuah bab bertajuk “Sedekah Jabatan” .

Dalam bab ini diceritakan bahwa ketika Belanda kembali menyerang Indonesia pasca 1945, banyak rakyat yang sengsara. Bahkan hal ini juga berpengaruh bagi HMI. Lafran Pane yang saat itu menjabat sebagai ketua HMI, berpikir bahwa HMI harus tetap menggalang kekuatan non senjata untuk tetap mempertahankan dan menyebarluaskan HMI. Lafran berpikir bahwa jika dia yang tetap menjadi ketua HMI maka HMI akan sulit untuk berkembang. Hal ini dikarenakan yang menjadi pengurus dan anggota HMI, semua dari STI.

Lafran berkeinginan bahwa harus ada mahasiswa di luar HMI yang memimpin organisasi ini. Lafran kemudian menemui Mintaredja, seorang mahasiswa UGM yang memiliki jiwa nasionalisme serta semangat juang yang tinggi. Mintaredja dan Lafran berkenalan ketika berada di dalam kereta untuk menuju di sebuah kongres mahasiswa. Akhirnya, Mintaredja setuju dan menjadi ketua HMI menggantikan Lafran Pane. Ketika Mintaredja memimpin HMI, organisasi ini berkembang pesat dan membuka banyak cabang di luar Yogyakarta dan menjadi organisasi mahasiswa Islam yang progres dan militan.

Sederhana dan Bersahaja

Lafran Pane juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan bersahaja. Hal ini bisa dilihat ketika beliau telah menjadi alumni. Kala itu para alumni dari Yogyakarta pernah menawari Lafran Pane sebuah rumah mewah dan mobil, karena dedikasi Lafran Pane untuk HMI, serta memang pada waktu itu Lafran belum memiliki rumah dan kendaraan. Saya yakin, jika Lafran orang yang materialis dan gila harta, pastilah sudah beliau ambil. Namun berbeda, Lafran malah menolak secara terang-terangan terhadap pemberian tersebut. Peristiwa ini di potret dengan jelas dalam buku “Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya”, dalam menghadapi peristiwa ini lafran mengatakan:

“Jangan menghina saya ya, saya tidak butuh semua itu. Walaupun pola hidup saya seperti ini, bukan berarti saya tidak sanggup membuat rumah, membeli mobil dan lain-lain. Berikan saja itu kepada orang yang membutuhkan. Saya ucapkan terima kasih untuk semua itu”.

Selain peristiwa itu, sosok Lafran yang bersahaja juga terlihat ketika beliau di undang pada kegiatan PB HMI yang ada di Jakarta. Sekembalinya dari kegiatan, Lafran Pane selalu diberikan uang transportasi dari PB HMI. Lafran hanya memakai uang itu untuk membayar transportasi, sisanya selalu dikembalikan kepada PB HMI. Walaupun mereka tidak mau menerima uang itu, Lafran selalu bersikeras dan tidak mau mengambil uang sisa tersebut.

Independen

Lafran Pane pernah ditawari untuk duduk sebagai pimpinan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal yang sama pernah ditawarkan Golkar, baik sebagai pengurus maupun mewakili Golkar pada legislatif. Tawaran yang sama juga pernah disampaikan pengurus besar Al Jamiatul Wasliah wilayah Yogyakarta, akan tetapi semua jabatan itu ditolak Lafran Pane, karena menurut beliau, jika dia masuk dalam salah satu partai atau organisasi, maka HMI akan dianggap tidak independen lagi, karena dia merupakan pemerkasa pendirian HMI.

Pelajaran Untuk Kader Saat Ini

Melihat sosok pendiri HMI seperti Lafran Pane, tentu kader HMI perlu sadar diri. Karena menurut hemat penulis, kader HMI saat ini sudah tidak lagi belajar dari sosok sang Lafran. Kader HMI harus memiliki nilai juang yang tak kenal lelah, sebagaimana Lafran Pane ketika mendirikan HMI banyak ditentang, baik dari PMY dengan komunisnya maupun dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Kader HMI juga perlu menanamkan kesederhanaan dan tidak mata duitan, sebagaimana Laftan yang menolak berbagai harta benda yang diberikan kepadanya. Karena ada orang lain yang lebih membutuhkan. Serta yang paling penting dijaga oleh kader HMI pada saat ini dalah sifat independen sebagaimana anjuran konstitusi, yakni independensi etis dan independensi organisatoris. Bukan malah meleburkan dirinya dalam politik praktis yang dapat merusak marwah dan derajat organisasi HMI itu sendiri. (*)