Oleh: Sufrin Ridja
Advokat dan Pengacara
____________________________
SENGKETA perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2024 dengan adanya permohonan di Mahkamah Konstitusi (MK), Pemohon adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2, Edi Langkara dan Abdul Rahim Odeyani terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Halmahera Tengah dan pihak terkait pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 3, Ikram Malan Sangaji dan Ahlan Jumadil tentang dugaan pokok permasalahan hasil penetapan KPUD Halteng dan dugaan pelanggaran pemilihan umum kepala daerah bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) oleh pasangan calon nomor urut 3, Ikram Malan Sangaji dan Ahlan Jumadil. Jumlah perolehan suara berdasarkan putusan KPUD Halmahera Tengah Nomor 417 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2024, pasangan ELANG-RAHIM perolehan 12.148 suara dan pasangan IMS-ADIL perolehan 27.514 suara, perkiraan selisih 15.366 suara.
Pada sengketa a quo yang kemudian diajukan oleh ELANG-RAHIM di Mahkamah Konstitusi tercatat pada register Perkara Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (APPP) Nomor 218/PAN.MK/e-AP3/12/2024 Tertanggal 10 Desember 2024 dengan Pokok Permohonan pemohon adalah Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati Halmahera Tengah 2024, dalam pendekatan hukum acara MK tentang legal standing Pemohon yang mengharuskan Pemohon menjelaskan kepada MK bahwa permohonannya memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU 10/2016. Faktanya tidak terjadi perselisihan hasil pemilukada sebagaimana dalam putusan KPUD Halmahera tengah, justru pemohon lebih banyak mempersoalkan pelanggaran yang bersifat TSM dibanding perselisihan hasil suara.
Uraian permasalahan yang disampaikan kuasa hukum pemohon Arteria Dahlan dalam konferensi pers di gedung MK dimuat pada media Detiknews (10/12/2024), bahwa “Untuk meminta Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 2, Ikram M Sangadji dan Ahlan Djumadil sebagai pemenang hasil rekapitulasi KPU di Halmahera Tengah”. Dari penyampaian di atas lebih banyak menguraikan pelanggaran proses administrasi yang bersifat TSM.
Dalam Permohonan perselisihan hasil suara di atas maka Pemohon akan membuktikan dalil-dalil permohonannya dengan mengajukan bukti surat/dan atau tulisan yang diberi tanda bukti P1 dan seterusnya beserta saksi-saksi dan beberapa bukti yang diajukan, termasuk pelanggaran TSM dan juga Surat Keputusan KPU Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 417 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Tengah 2024.
Merujuk pada hasil penetapan KPUD di atas tentu selisih suara yang sangat jauh, secara normatif tidak terpenuhi syarat ambang batas perselisihan hasil pemilukada dalam Pasal 158 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2016. Pemohon mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilukada 2024 diisi legal standing tidak terpenuhi dan juga pokok permohonan TSM tidak juga memiliki legal standing, justru pemohon hanya bisa meyakinkan hakim untuk pemeriksa dan mengadili pelanggaran TSM.
Mengapa MK bisa memeriksa dan mengadili pelanggaran TSM?
MK telah mengubah sikap saat pemberlakuan ketentuan ambang batas sebagai syarat formil permohonan karena putusan MK sebelumnya pernah mengabulkan permohonan pemohon pasangan calon pemilihan Gubernur Jawa Timur sebagaimana dalam putusan perkara No. 41/PHPU.D/IV/2008 dan beberapa putusan lainnya tentang pelanggaran TSM, dari Yurisprudensi tersebut MK tidak hanya mengadili perselisihan hasil pemilukada, akan tetapi MK memperluas tafsiran pemilukada dengan mengadili juga pelanggaran proses administrasi bersifat TSM sepanjang pemohon meyakinkan hakim.
Apakah TSM adalah kewenangan MK?
Sebenarnya MK tidak punya kewenangan untuk mengadili TSM dalam pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Namun, berdasarakan Yurisprudensi di atas bahwa MK mengadili TSM, artinya MK memperluas tafsir dalam sengketa hasil pemilukada terkait TSM tersebut. MK tentu memeriksa dan mengadili pemilukada sepanjang belum diatur dalam peraturan ataupun lembaga lainnya untuk mengadili sengketa pemilukada.
Apakah Pemohon bisa meyakinkan Hakim MK berdasarkan dali-dalil dan bukti yang di ajukan?
Apabila pemohon meyakinkan hakim dengan dalil-dalil dan bukti yang kuat maka bisa saja dikabulkan. Namun di sisi lain persoalan tenggang waktu dalam hukum acara MK, sebagaimana penjelasan Pasal 5 ayat (1) Peraturan MK No 5 Tahun 2008. Bahwa Permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara pemilukada harus di ajukan ke MK paling lambat 3 hari sejak KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menertawakan menetapkan hasil penghitungan suara pemilukada di daerah bersangkutan. Permohonan yang melewati batas waktu tersebut tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) Peraturan MK No. 5 Tahun 2008 bahwa apabila permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka setelah teregistrasi dan mengikuti proses persidangan, Mahkamah wajib memutus perkara tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Dalam buku hukum acara MK terbit 2010, hal. 243, menjelaskan tentang putusan MK tentang hasil pemilukada “Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 akan berbunyi:
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan. (*)