Opini  

Kampus Kelola Tambang, Emang Boleh?

Oleh: Khaizuran

____________________

KAMPUS saat ini diusulkan untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Rencana ini tertuang dalam revisi UU Mineral dan Batu Bara yang sudah diinisiatif oleh anggota DPR RI melalui rapat paripurna. Seperti dilansir dari Kompas.com “Badan usaha milik perguruan tinggi menjadi salah satu pihak yang diusulkan mendapatkan wilayah izin usaha tambang. Rencana ini tertuang dalam revisi UU mineral dan batu bara yang ditetapkan sebagai usul inisiatif dari DPR RI melalui rapat paripurna”.

Bahkan Forum Rektor Indonesia mendukung wacana ini karena menilai dapat meningkatkan pendapatan lembaga kampus dan biaya kuliah bisa turun jika perguruan tinggi dapat ikut mengelola tambang. Insiatif ini tidak sedikit juga menuai kontra, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dengan alasan pemberian izin usaha tambang ini justru mengamputasi pemikiran krisis mahasiswa. Begitu pula dengan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid mempertanyakan dasar pemikiran bagi kampus yang mendukung wacana ini. Karena beliau menilai hal ini pula akan menggeser jiwa krisis mahasiswa.

Kekhawatiran ini merupakan suatu hal yang wajar, sebab jika kampus diberikan legalitas untuk menjadi lembaga bisnis maka apa yang bisa diharapkan dari kaum-kaum intelektual ini. Sebab kampus adalah tempat membentuk sumber daya manusia yang cerdas, kritis, dan idealis. Kampus bukanlah korporasi yang mengejar keuntungan bisnis belaka.
Pendidikan yang dikapitalisasi
Wacana kampus mengelola tambang ini tidak bisa lepas dari diberlakukannya otonomi kampus atau sejak badan hukum pendidikan (BHP) disahkan melalui UU No 12 tahun 2012.

Dari sinilah perguruan tinggi dilepaskan secara mandiri dalam pengelolaan keuangan dan akademik yang membuat kampus harus servive mencari pendapatan secara mandiri.
Status kampus sebagai PTN BH inilah yang membuat pendidikan tinggi mudah dikapitalisasi. Alhasil, orientasi kampus tidak lagi berbiaya murah bagi mahasiswanya, tetapi kampus kini berbiaya tinggi dan menjadi lahan subur untuk bisnis.

Jika alasannya untuk menambah peluang agar kampus memiliki penghasilan tambahan, maka ini adalah langkah yang keliru. Sebab keterlibatan mereka dalam mengelola tambang justru akan menghilangkan jiwa sebagai agen perubahan dan agen pengontrol masyarakat. Karena mereka akan tunduk di bawah regulasi para korporasi.

Selain itu, hal ini juga menunjukan terjadinya disfungsi negara yang seharusnya berperan sebagai ra’in dan junnah yang bertanggung jawab atas pemenuhan publik, salah satunya adalah pendidikan malah dilepaskan begitu saja. Padahal harusnya negaralah yang mengelola sumber daya alam yang ada dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.

Lahirnya kebijakan yang melegalisasi pemberian ruang untuk menguasai tambang disebabkan oleh mekanisme pengelolaan tambang menggunakan prinsip kebebasan kepemilikan yang lahir dari ideologi kapitalisme yang orientasinya adalah meraih nilai materi sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan halal dan haram.

Islam mewujudkan pendidikan gratis

Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan mendasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana kesehatan dan keamanan. Negara akan berkonsentrasi penuh untuk memenuhi kualitas pendidikan tebaik bagi rakyatnya.

Orientasi pendidikan dalam Islam tidaklah sama dengan sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi semata. Di dalam Islam orientasi pendidikan berdiri atas dasar akidah Islam, yang mana setiap output generasi harus ber-syaksiyyah Islamiyah atau kepribadian Islam.
Islam menetapkan pembiayaan kampus ditanggung oleh negara dari kas kepemilikan umum, termasuk pertambangan. Pengelolaan ini wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana umum, termasuk layanan pendidikan.

Islam justru mengharamkan pengelolaan pertambangan oleh individu atau swasta sebagaimana yang terjadi hari ini. Tambang adalah milik umum, wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan negara untuk rakyat. Wallahu’alam. (*)