Opini  

Pengadilan Rakyat

Oleh: Riyanto Basahona 

__________________________

FENOMENA pengadilan rakyat yang terjadi di masyarakat sering kali memunculkan pandangan yang ambigu. Di satu sisi, tindakan warga yang menangkap pelaku kejahatan, seperti pencurian ayam, dianggap sebagai bentuk solidaritas sosial untuk menjaga keamanan. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah pengadilan rakyat seperti ini efektif dan tepat sasaran, khususnya ketika kita bicara mengenai kejahatan besar seperti korupsi?

Pada suatu malam di kompleks saya, terjadi pencurian ayam yang melibatkan tiga remaja. Salah satu pelaku tertangkap oleh warga dan dihajar hingga babak belur sambil diteriaki sebagai pencuri. Meskipun aksi ini jelas menunjukkan semangat menjaga keamanan bersama, saya merasa ada dua hal yang seharusnya diperhatikan: pertama, dampak fisik yang diterima oleh pelaku yang sudah tertangkap, dan kedua, dampak psikologis berupa rasa malu yang menjadi efek jera. Tetapi, apakah hanya dengan cara seperti ini saja kejahatan bisa dihentikan? Bagaimana jika kita menerapkannya pada jenis kejahatan yang lebih besar, seperti korupsi?

Keputusan yang diambil oleh masyarakat yang tergolong dalam pengadilan rakyat tentu memiliki nilai tersendiri dalam memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kecil. Namun, saya berpikir bahwa ada sebuah ironi besar dalam sistem hukum kita: para pelaku korupsi, yang seharusnya dianggap sebagai musuh utama negara, justru hampir tidak mendapatkan efek jera yang berarti. Alih-alih menyesal, banyak koruptor yang tersenyum bangga mendengar vonis ringan yang dijatuhkan kepada mereka, seakan-akan hukum tak lagi punya kuasa untuk memberi pelajaran.

Korupsi adalah pencurian uang rakyat, dan pelakunya seharusnya mendapat konsekuensi yang lebih berat daripada sekadar hukuman penjara ringan. Ketika seorang pejabat atau pengusaha terbukti bersalah atas tindak pidana korupsi, masyarakat sering kali merasa bahwa vonis tersebut tidak cukup untuk menciptakan efek jera. Sering kali, mereka masih tetap menjalani kehidupan mewah dan aman, bahkan setelah mencuri uang negara. Ini adalah kesenjangan besar antara keadilan yang seharusnya ada dan kenyataan yang terjadi.

Dalam pandangan saya, jika pengadilan rakyat bisa diterapkan pada pelaku pencurian ayam, mengapa tidak untuk pelaku korupsi? Koruptor yang merampok uang rakyat seharusnya dihadapkan pada pengadilan rakyat, di mana mereka bukan hanya dihukum secara fisik, tetapi juga diberikan rasa malu yang nyata di hadapan masyarakat. Efek jera yang datang dari pengadilan rakyat pada pencuri ayam, di mana pelaku dihajar dan diteriaki sebagai pencuri, menjadi cermin bagaimana seharusnya kita menghadapi pelaku kejahatan yang lebih besar. Selain dampak fisik, rasa malu yang diterima oleh pelaku akan memberikan efek yang lebih mendalam dalam mencegah mereka mengulangi tindak kejahatan.

Pengadilan rakyat ini mungkin terdengar kasar dan kontroversial, namun jika kita mencermati dengan seksama, keadilan yang sesungguhnya adalah keadilan yang menciptakan rasa takut terhadap kejahatan. Keberanian untuk melakukan kejahatan seharusnya sebanding dengan keberanian untuk menerima akibat dari perbuatan tersebut. Dalam hal korupsi, hukuman ringan dan tanpa efek jera akan terus membuat para pejabat negara merasa aman untuk mencuri uang rakyat. Seharusnya ada terobosan baru dalam sistem hukum kita yang membuat para koruptor tidak hanya menderita di penjara, tetapi juga malu dan menanggung akibat sosial yang berat.

Jadi, pengadilan rakyat memang memiliki potensi yang besar dalam memberikan efek jera. Namun, jangan biarkan pengadilan rakyat hanya menjadi solusi untuk kejahatan kecil seperti pencurian ayam. Para pelaku korupsi yang merugikan banyak orang juga harus dihadapkan pada pengadilan rakyat, di mana mereka akan merasakan langsung konsekuensi sosial dan psikologis dari kejahatan yang telah mereka lakukan. Keberhasilan sebuah sistem hukum bukan hanya dilihat dari seberapa banyak pelaku kejahatan yang dihukum, tetapi dari seberapa besar efek jera yang ditimbulkan bagi masyarakat. (*)