Opini  

Catatan 100 Hari Kerja Gubernur dan Wakil Gubernur

Oleh: Alfajri A. Rahman
Ketum IMM Malut periode 2019-2022

____________

SETELAH dilantik 20 Februari oleh presiden RI ke 8, sebagai gubernur dan wakil gubernur Malut. Tentunya masyarakat Malut dengan jumlah jiwa begitu banyak mengharapkan ada perubahan di wajah pemimpin baru di Malut, dengan berbagai macam dinamika politik pasca dilantiknya secara otomatis masyarakat akan menerima. Bahkan, janji-janji politik Serly-Sarbin bisa diuji coba dengan kebijakan 100 hari kerja walaupun bukan menjadi ukuran sebuah keberhasilan pemerintah Serly-Sarbin lima tahun.

Terobosan utama dan pidato perdana dihadapan sejumlah 45 anggota DPRD serta hadirin yang hadir di gedung DPRD, melihat wanita berdiri tegak dan wajah penuh air mata karena kemenangan sebagai gubernur dirasakan hanya  seorang diri. Ketika naik di depan podium dengan tatapan mata tertuju ke gubernur, sudah pasti jutaan harapan dipikul bersama wakil gubernur. Istri dari mendiang Benny Laos secara tegas menyampaikan 100 hari kerja memprioritas pendidikan gratis bagi SMA dan SMK berstatus negeri. Namun masih banyak yang   harus diselesaikan dalam 100 hari kerja misalkan pelayanan dasar di birokrasi, status ibu kota provinsi juga masih kecamatan sehingga pembangunan antar provinsi dan Kota Tidore terlihat masih tumpang tindih atau saling menyalahkan.

Lebih lagi perhatian status kerja bagi ASN di Pemprov, semestinya gubernur secara tegas menyampaikan, yang namanya ASN harus tinggal di Sofifi, karena akses kedisiplinan kinerja masing-masing OPD bertangungjawab, serta rapat-rapat OPD juga di Sofifi, masih banyak gedung yang kosong bisa dijadikan tempat rapat. Bukan di Sahid Bela Hotel, menjadi kebijakan rapat seluruh OPD dan gubernur sekalipun mereka menggunakan fasiltas hotel namun dibayar menggunakan ABPD yang bersumber dari pajak daerah dan lain-lainya. Itu semua bisa dilakukan jika hak-hak para ASN bisa dijawab, apalagi saat ini gaji ASN Pemprov juga masih belum dibayarkan.

Lewat catatan singkat penulis ingin menyampaikan, rasa kegelisahan dan rasa cinta terhadap Maluku Utara, tidak hanya lewat kritikan selebaran tulisan di media. Namun ini menjadi masukan kepada gubernur agar selalu  melihat Malut lebih baik. Kebijakan yang lain belum terlihat, salah satunya instansi vertikal yang di berada Ternate seharusnya mereka beraktivitas di Sofifi sebagai ibu kota provinsi. Pada sisi lainnya, peran lembaga DPRD juga sejak dilantik, belum terlihat pengawalan berkaitan kebijakan gubernur. Yang terlihat hanya perjalanan dinas ke luar daerah dan dalam daerah. Bahkan terbaru lagi mereka saling berbalas pantun antara gubernur dan pimpinan DPRD yakni masalah pokir DPRD kalau bisa jangan dihapus kata 45 anggota DPRD.

Ini wacana dan contoh kecil, dari mantan bupati Benny Laos pernah dilakukan di Pulau Morotai, banyak sekali ASN serta OPD dan DPRD menjerit dengan kebijkan namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab siapa yang berkuasa tentunya menghalalkan segala cara. Cara ini juga akan diadopsi oleh gubernur Sherly Laos. Aturan di kabupaten dibawa ke Gosale Puncak, pejabat dinilai memiliki rekam jejak tidak baik juga tetap dipakai oleh gubernur. Itu pun SK pengangkatan juga sudah dibuat Karo Hukum, ini birokrasi bukan arisan keluarga yang seenaknya dibuat, ini bukan kita main domino kalau kalah bisa diatur kembali untuk  bermain lagi. Ini pemerintahan, butuh fondasi dan nilai dasar yang kuat dalam menata birokrasi.

Pakar Birokrasi yang baik menurut Max Weber, seorang sosiolog Jerman, menjelaskan birokrasi yang rasional, efisien, dan hierarkis didasarkan pada aturan, bukan hubungan kekeluargaan atau pertemanan. Weber menggambarkan ciri-ciri birokrasi  meliputi, pembagian tugas yang jelas, struktur kewenangan yang jelas dan hierarkis, hubungan antar anggota yang impersonal, pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan teknis, pemisahan urusan dinas dan pribadi, kepatuhan kepada aturan, bukan kepada orang, prinsip netral (tidak memihak). Oleh sebab itu, pranata organisasi perlu ditinjau kembali karena berkaitan pelayanan serta tata kelola pemerintah. Namun, yang kita melihat saat ini belum tergambarkan birokrasi.

Masih banyak lagi, janji kampanye gubernur dan wakil gubernur sehurnya butuh konsolidasi baik internal dan eksternal. Sementara internal seluruh OPD yang bekerja tidak fokus akibat dari korban politik karena tidak mendukung calon gubernur. Untuk eksternal lebih utama koordinasi antara kabupaten/kota dan provinsi butuh kolaborasi agar pemerataan pembagunan dan RPJMD bisa terfokus. Kalau ini tidak diatur secara baik, maka visi dan misi gubernur dan wakil gubernur ibaratkan kita membuang garam di dasar laut tidak ada yang membekas.

Agar mencapai pelayanan dasar, ASN juga bekerja fokus dan nyaman, semua elemen masyarakat tersentuh dengan baik oleh pemangku kepentingan, tentunya akan terciptanya Malut bangkit, kuat dan mandiri. Belum lagi titipan para kontraktor, partai politik, relawan dan tim sukses posisi kepala OPD, bidang dan lain-lain.

Dalam konteks terjadinya good governance yang efektif, semestinya pemilihan orang-orang yang duduk dalam birokrasi juga penuh dedikasi dan berjiwa besar dalam mengelola pemerintah, bukan ditakutkan oleh Max Weber. Masih banyak lagi gubernur dan wakil harus terbuka dan berbesar hati menerima kritikan, jangan hanya tulisan atau opini berkembang kita sebagai rakyat jelata juga turut menjadi tumbal akibat kebijakan suka atau tidak suka. ***