Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
__________________
“Setiap kota adalah sebuah narasi. Jalan-jalannya adalah kalimat-kalimat panjang yang mengisahkan perjumpaan dan perpisahan; gedung-gedungnya adalah paragraf-paragraf yang menahan sunyi dan gairah kehidupan; dan manusianya—mereka adalah tokoh utama yang terus bergerak, mengubah takdir cerita itu sendiri.”
Dalam dunia perencanaan, acap kali kita terjebak dalam angka dan tabel, dalam matriks dan peta, seolah masa depan hanya dapat dipetakan oleh grafik dan perhitungan statistik.
Namun perencanaan sejati bukanlah semata-mata kerja teknokratik yang kering dan berjarak. Ia adalah kerja budaya, kerja naratif, kerja memintal kata dengan tekun, kerja menyulam cerita bersama. Tanpa cerita, dokumen perencanaan kehilangan nyawanya.
Ia menjadi artefak dingin yang tidak menyentuh harap dan luka masyarakat yang direncanakannya.
Cerita adalah jantung yang memompa kehidupan ke dalam teks perencanaan. Ia menyampaikan kompleksitas masyarakat tidak hanya sebagai data, tetapi sebagai pengalaman yang dirasakan.
Seperti ditulis oleh John Forester dalam Planning in the Face of Power: “Para perencana harus mendengarkan bukan hanya fakta, tetapi juga cerita—karena cerita menunjukkan taruhan, luka, dan aspirasi.” (Forester, 1989 : 72).
Cerita membuka ruang bagi suara yang sering dibungkam oleh kalkulasi dan rumusan strategi. Ia memberikan wajah manusia pada kebijakan publik.
Di banyak daerah, terutama wilayah-wilayah kepulauan dan pinggiran, masyarakat tidak hidup dalam statistik. Mereka hidup dalam mitos, dalam sejarah, dalam percakapan-percakapan sore di bawah pohon kelapa. Ketika perencanaan daerah disusun tanpa mendengar dan mencatat cerita-cerita ini, maka ia kehilangan kemampuan dasarnya: untuk merangkul masyarakat sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Cerita dalam dokumen perencanaan bukan hanya tentang melibatkan masyarakat secara partisipatif, melainkan tentang membangun imajinasi kolektif. Sebagaimana dikatakan Charles Landry dalam The Art of City Making (2006), “Imajinasi bukanlah kemewahan dalam perencanaan kabupaten/kota, melainkan kebutuhan. Dan cerita adalah jembatan menuju imajinasi” (Landry, 2006 : 214).
Ketika sebuah desa/kelurahan menuliskan kisahnya dalam dokumen rencana jangka menengah, ia sedang menyatakan dirinya: ini kami, ini yang kami inginkan, ini luka kami, dan ini mimpi kami.
Bayangkan sebuah rencana pembangunan desa/kelurahan yang diawali dengan kutipan dari tokoh adat, disambung kisah tentang krisis air, krisis ekologis yang dihadapi warga selama musim kemarau, dan diakhiri dengan harapan anak-anak muda tentang internet cepat dan peluang kerja. Rencana itu bukan sekadar dokumen, tapi manifesto peradaban.
Cerita juga berfungsi sebagai alat distribusi keadilan. Dalam Storytelling for Social Justice, Lee Anne Bell menunjukkan bagaimana narasi memungkinkan kelompok terpinggirkan menyampaikan ketidakadilan yang tidak terjangkau oleh bahasa formal dan teknokratik (Bell, 2010 : 31-32). Dalam konteks ini, dokumen perencanaan yang menyematkan cerita-cerita dari perempuan, nelayan kecil, petani lahan kering, atau penyintas konflik sosial, bukan hanya sedang mendengar suara-suara itu, tapi sedang memberi mereka tempat dalam sistem.
Perencanaan tanpa cerita rawan menjadi instrumen dominasi. Ia bisa menyingkirkan yang tak terdengar dan menampilkan hanya yang bisa menjelaskan dirinya dengan bahasa kekuasaan.
Cerita adalah koreksi terhadap ketimpangan epistemik itu. Ia memungkinkan “peta” yang disusun perencana bertemu dengan “jejak langkah” warga yang sesungguhnya.
Sudah saatnya perencanaan belajar dari sastra, dari cerita. Dari cara sastra dan cerita memelihara emosi, membangun alur, menyisipkan konteks, dan mencipta dunia. Kita bisa membayangkan RPJMD yang dibuka dengan prolog naratif, yang menggambarkan sejarah singkat kota, perasaan warga atas perubahan yang berlangsung, dan mimpi kolektif yang hendak digapai.
Narasi ini tidak menghapus bagian teknokratik, tetapi memberinya konteks dan makna.
Sebagaimana sebuah pernyataan, “Daerah dan kota tidak hanya terdiri dari rumah-rumah dan jalan-jalan, tetapi juga dari relasi yang tak terucapkan, dari ingatan dan harapan, dari kata-kata yang saling menyilang dalam diam” (Calvino, 1972 : 86).
Maka dokumen perencanaan yang baik adalah yang mampu menangkap keheningan itu, menjadikannya kata, dan menenunnya dalam tindakan.
Jika perencanaan adalah seni memimpikan masa depan secara sistematis, maka cerita adalah bahan bakar imajinasi yang menggerakkannya.
Di tengah krisis ekologis, sosial, dan identitas yang melanda banyak daerah, hanya cerita yang bisa mengikat kembali serpihan-serpihan masyarakat dalam satu kesadaran bersama.
Dokumen perencanaan yang bercerita bukan dokumen yang lemah secara teknis, tetapi justru kuat secara etis dan politis.
Karena masa depan bukan hanya soal target output dan indikator kinerja utama, tapi soal manusia—dengan segala kegembiraan dan penderitaannya.
Dan manusia, seperti yang kita tahu, tidak hidup dari data saja, tetapi dari cerita yang mereka percayai. Mari mulai bercerita tentang daerah/kota kita. (*)