Oleh: Aswir Hadi
Dosen FEB Unkhair
________________
KITA semua tentu mengetahui apa itu “Boneka”, tidak lain merupakan sejenis mainan anak-anak, terutama anak-anak perempuan. Boneka ada berbagai macam bentuknya, ada yang bentuk manusia, binatang bahkan tokoh-tokoh fiksi. Boneka sebagai mainan anak perempuan merupakan media untuk menyalurkan emosinya dan imajinasi. Sejak zaman dahulu boneka sudah ada berabad-abad tahun sebelum masehi. Namun boneka zaman dahulu kebanyakan berbentuk patung manusia yang menjadi media spiritual.
Dengan terjadinya perubahan zaman dengan berjalannya waktu, ratusan generasi berganti, boneka tak ikut mati atau hilang dari zaman. Tapi sebaliknya, budaya boneka terus berkembang walau maknanya perlahan menghilang. Boneka bukan lagi sekadar media spiritual ataupun mainan anak perempuan, namun makna boneka sudah mengalami pergeseran makna secara totalitas.
Boneka sebagai mainan anak perempuan memiliki berbagai cara dalam memainkan boneka tersebut. Bahkan lebih canggih boneka sekarang sudah menggunakan remote control, sehingga dengan mudah dipermainkan oleh anak perempuan. Dalam dunia sinetron, boneka diibaratkan seperti aktor yang memainkan peran yang sudah diatur oleh sutradara. Aktor film akan dikendalikan peran panggungnya sepenuhnya oleh sutradara. Istilah boneka seringkali dikaitkan seperti itu. Tapi “boneka” yang satu ini lain, karena ia adalah manusia yang buruk, karena ia disebut budak yang sukses. Tentunya sukses yang ia terima bukan berarti ia tidur nyenyak, dan menerima segala kemewahan itu. Tidak begitu, sebab karena waktu dan keadaan dirinya diatur oleh tuan budak.
Dalam sebuah organisasi pemerintahan atau organisasi publik lainnya, terkadang kita jumpai boneka kekuasaan dan penguasa boneka. Baik boneka kekuasaan maupun penguasa boneka, keduanya menjadi mainan sutradara yang memegang remote control, sehingga organisasi publik maupun pemerintahan tersebut berjalan berdasarkan pada keinginan orang yang memegang kendali (remote control). (*)