Opini  

May Day: Refleksi Perjuangan Kaum Buruh

Oleh: M Sofyan Z Selang
Sekjend BEM FISIP UMMU

____________________

HARI ini adalah hari kebesaran seluruh manusia pekerja keras di bumi yang bulat ini. Hari dimana terjadi mogok kerja besar-besaran hampir di seluruh negara, demi menyampaikan aspirasi.

Tanggal 1 Mei, menjadi momentum spesial bagi seluruh pekerja (buruh) di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Sebab, pada hari ini para buruh memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day yang sebahagian besar menyebutnya hari kemenangan. Berdasarkan sejarahnya, May Day merupakan peringatan untuk mengenang pejuang buruh pada tahun 1886 di Amerika Serikat dalam meminta waktu kerja dari 12 jam per hari dikurang hingga menjadi 8 jam per hari.

Kita harus mengingat akar perjuangan buruh yang berawal dari zaman Revolusi Industri. Perjuangan mereka untuk hak-hak dasar seperti jam kerja yang manusiawi, perlindungan kesehatan dan keselamatan, serta upah yang layak, memberikan fondasi bagi norma-norma ketenagakerjaan yang dinikmati hari ini.

Sementara itu, sejarah peringatan Hari Buruh di Indonesia sendiri dimulai di era kolonial pada 1 Mei 1920. Saat itu, kaum buruh melakukan aksi untuk menuntut perbaikan hak, termasuk pemberian upah yang layak. Pascakemerdekaan, gagasan peringatan Hari Buruh diutarakan, sehingga melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 diatur bahwa setiap 1 Mei para buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang jam kerja, upah, perlindungan anak, dan hak pekerja perempuan.

Di era Orde Baru, perayaan Hari Buruh sempat dilarang karena adanya benturan isu ideologi. Selanjutnya, di masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie, dilakukan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Hingga pada 1 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur.

Namun, hari buruh bukan hanya hari libur semata, tapi hari buru adalah momentum untuk semua para pekerja untuk merefleksikan perjuangan dan menjadi ajang untuk mengevaluasi kebijakan ketenagakerjaan yang ada. Setiap 1 Mei, seluruh kaum buruh, petani, dan juga mahasiswa melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut perlindungan hukum, upah manusiawi, dan stabilitas kerja, tapi harapan itu terus ditunda oleh penguasa yang tak peduli.

Demonstrasi Hari Buruh hanyalah parade tahunan yang dianggarkan tanpa hasil. Media sosial dipenuhi keluh kesah buruh yang merasa dikhianati oleh negara, suara mereka tenggelam, perjuangan mereka diremehkan. Mereka bukan sekadar angka produksi, tapi manusia yang berhak atas hidup layak. Kebijakan pro buruh bukan permen karet yang bisa ditarik-ulur, melainkan keadilan yang sudah terlambat puluhan tahun.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering“. Hadis ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi juga seruan tegas untuk keadilan ekonomi dan pembayaran upah yang tepat waktu dan layak —sesuatu yang masih tidak dinikmati jutaan pekerja di sektor informal, termasuk di Indonesia. Bahkan, Al-Qur’an mengecam praktik penipuan dan eksploitasi dalam perdagangan dan pekerjaan (QS. Al-Muthaffifin: 1–3).

Untuk itu, dengan momentum peringatan Hari Buruh ini menjadi pengingat kesejahteraan bangsa tidak dapat dilepaskan dari kesejahteraan pekerjanya. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk terus memperjuangkan hak-hak buruh dan menciptakan sistem ketenagakerjaan yang adil dan bermartabat. Dengan begitu, Hari Buruh akan menjadi perayaan yang bukan hanya simbolik, tetapi juga bermakna nyata bagi seluruh pekerja.

Kaum buruh bukan robot yang siap bekerja, tapi mereka adalah pahlawan ekonomi di negara ini. (*)