Oleh: Riyanto Basahona
____________________________
APAKAH lembaga pendidikan kita hari ini masih menjadi ruang untuk mencetak manusia yang utuh berilmu, beradab, dan bermoral? Ataukah justru telah menjelma menjadi mesin produksi gelar mencetak generasi yang cerdas secara akademik namun tumpul secara etik? Pertanyaan ini memang menyakitkan, tetapi penting untuk diajukan, terutama di momen peringatan Hari Pendidikan Nasional yang saban tahun dirayakan secara seremonial, tanpa diiringi evaluasi menyeluruh terhadap arah dan isi pendidikan kita.
Kita terlalu sibuk mengejar standar kurikulum yang kaku dan angka-angka capaian semu. Sistem pendidikan kita digiring pada obsesinya terhadap ranking, akreditasi, dan hasil ujian, sementara makna sejati dari proses belajar justru terpinggirkan. Pemerintah menggaungkan transformasi pendidikan, namun kenyataannya, kebijakan yang diterapkan sering kali justru melanggengkan ketimpangan.
Kurikulum disusun dari pusat dan diberlakukan secara seragam, seolah semua sekolah hidup dalam kondisi yang sama. Padahal kenyataannya jauh berbeda. Ada sekolah dengan fasilitas modern dan guru tersertifikasi, tetapi ada pula sekolah yang bahkan tak memiliki atap layak, listrik, atau guru tetap. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita berbicara tentang pemerataan?
Penerapan sistem seragam dalam realitas yang timpang hanya memperdalam jurang antara kota dan pinggiran. Digitalisasi pendidikan, misalnya, hanya efektif di wilayah yang sudah maju. Di daerah terpencil, banyak guru bahkan belum pernah mendapatkan pelatihan teknologi, apalagi perangkatnya. Yang terjadi hanyalah ilusi pemerataan.
Ironi lain terlihat pada posisi guru, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban bangsa. Alih-alih diberi ruang untuk berkembang, mereka justru dibebani administrasi, diburu target kurikulum, dan terjebak dalam sistem yang tak memberi ruang refleksi dan kreativitas. Pemerintah mengumandangkan jargon “guru profesional”, tetapi melupakan bahwa profesionalisme hanya bisa tumbuh melalui dukungan, pelatihan, dan penghargaan yang layak.
Sementara itu, peserta didik terjebak dalam sistem pendidikan yang membosankan, tidak relevan, dan minim makna. Pendidikan karakter yang diagungkan hanya berakhir sebagai slogan di atas kertas. Budaya kompetisi dan individualisme menggerus nilai kejujuran, empati, dan kepedulian sosial. Akibatnya, kita mencetak generasi yang ahli menjawab soal, namun gagap menghadapi kehidupan nyata dan persoalan sosial.
Tak heran, jika banyak lulusan dari kampus unggulan justru terseret dalam praktik korupsi, manipulasi data, hingga jual-beli jabatan. Pendidikan kita gagal membentuk karakter karena lebih sibuk mengejar prestise dan angka-angka.
Pendidikan kita sedang sakit. Bukan karena miskin kurikulum atau kurang teknologi, tetapi karena kehilangan arah. Ketika pendidikan lebih sibuk mengejar target ketimbang memanusiakan prosesnya, maka yang lahir bukanlah manusia merdeka, melainkan manusia yang terpenjara dalam sistem.
Hari Pendidikan Nasional bukan saatnya kita bertepuk tangan atas capaian administratif yang semu. Ini adalah momen untuk bersuara, bahwa pendidikan harus dikembalikan ke jalan yang benar. Pemerintah harus berhenti membuat kebijakan dari menara gading. Dengarlah suara dari pelosok negeri. Lihat bagaimana guru berjuang tanpa fasilitas, bagaimana murid belajar di tengah keterbatasan.
Sudah saatnya kebijakan disusun berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan, bukan asumsi dari pusat. Pendidikan harus kembali menjadi alat pembebasan, bukan penjinakan. Ia harus menumbuhkan keberanian berpikir, nilai kejujuran, dan keberpihakan kepada mereka yang lemah dan terpinggirkan.
Pendidikan yang adil, manusiawi, dan bermakna bukan sekadar impian. Ia bisa menjadi nyata asal ada keberanian untuk berubah, dan kemauan politik yang tulus untuk berpihak pada masa depan bangsa, bukan sekadar angka. (*)