Oleh: Rizky Ramli
___________________________
Disclaimer: Ini Bukan Seruan untuk Mati. Tulisan ini bukan ajakan untuk bunuh diri. Saya tidak sedang mengajak Anda terjun dari lantai lima, atau gantung diri. Saya juga tidak bilang bahwa kematian sebagai solusi. Saya ingin kita refleksi, mempertanyakan kenapa banyak dari kita hidup seperti mesin. Makan, berak, dan makan lagi, kuliah, bekerja, tertawa pada konten receh, dan merasa itu cukup.
Mari jujur, berapa lama kita hidup tanpa benar-benar merasa hidup?
Beberapa bulan terakhir, kita dikejutkan oleh maraknya kasus bunuh diri di Kota Ternate, Maluku Utara. Dalam rentang Januari hingga April 2025 saja, setidaknya lima kasus telah terjadi, mencakup berbagai usia dan latar belakang. Seorang pria ditemukan tewas gantung diri di Bastiong, seorang lansia di Togafo mengakhiri hidupnya pada Oktober tahun lalu, dan baru-baru ini seorang pemuda mencoba mengakhiri hidupnya usai pertengkaran rumah tangga. Polisi dan media mengimbau agar kita lebih peduli terhadap sesama, diskusi-diskusi Mental Health, bahkan dalam bentuk film-film pendek dilakukan guna mensosialisasikan bahaya bunuh diri.
Mati Itu Mudah, Hidup Tanpa Jiwa Itu Tragis
Saya pikir, orang yang bunuh diri barangkali tidak sekacau yang kita kira. Justru mereka mungkin adalah satu-satunya yang benar-benar waras di antara kita yang benar-benar sadar bahwa dunia ini penuh kebusukan dan rasa sakit yang tidak tertanggungkan. Mereka tidak mampu berdamai dengan absurditas hidup. Dan karena mereka masih merasa, mereka tidak kuat menanggungnya. Sementara kita yang setiap hari tertawa di kafe mahal, menari di festival tahunan dan scroll Tiktok tanpa henti, dari pagi sampai malam. namun cuek saat harga sembako naik, uang kuliah naik, laut tercemari sampah, korupsi dimana-mana, banjir di daerah lingkar tambang, menganggap demo mahasiswa sebagai gangguan lalu lintas.
Apakah kita benar-benar hidup? Atau kita hanya tubuh-tubuh berjalan yang jiwanya sudah lama mati?
Hari ini, kita hidup dalam masyarakat yang mencintai kematian jiwa secara massal, namun gemar menghakimi kematian fisik secara individu. Mereka menyebut orang yang melakukan bunuh diri sebagai kegagalan iman, bahkan di bilang sebagai dosa yang paling besar. Tapi mereka jarang menyebut apatisme sebagai dosa sosial. Jarang mereka menuduh ketidakpedulian sebagai kejahatan yang membunuh perlahan-lahan terhadap bangsa, terhadap lingkungan dan terhadap sesama. Padahal, yang bunuh diri biasanya justru mereka yang terlalu peka. Yang hatinya tak tahan melihat dunia yang penuh dengan kezaliman. Mereka bukan tidak peduli, mereka terlalu peduli. Mereka bukan tidak kuat, mereka terlalu sensitif dalam sistem yang menuntut ketebalan muka dan kekebalan nurani.
Sementara di sisi lain, mereka menyebut diri orang-orang yang ‘sehat’, yang tertawa tiap malam, yang sibuk memburu promosi dan endorse-an, bisa melewatkan berita pembantaian, penggusuran, dan korupsi dengan satu sapuan jari. Mereka adalah kaum “Mati Nurani” yang tetap hidup. Hidup secara biologis, tapi membusuk secara eksistensial.
Orang-orang semacam ini tidak bunuh diri karena memang sudah lama mati. Mereka adalah orang-orang yang tidak merasa perlu hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mereka tidak mau pusing soal pemilu curang, aparat represif, atau anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tambang datang menghancurkan kampung. “Itu bukan urusan saya,” kata mereka. “Saya hanya ingin bahagia”. Dan di sinilah akar penyakit zaman ini. Hedonisme sebagai ideologi, apatisme sebagai gaya hidup, dan kekosongan sebagai standar kewajaran.
Kita membiarkan anak muda tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa menjadi peka adalah beban. Bahwa yang penting adalah “good vibes only”. Bahwa semua bisa diselesaikan dengan healing, camping ke Taman Love atau nongki di caffe. Sekan kalau melawan ketidakadilan dianggap toxic, terlalu kampungan, tidak keren.
Kita menjadikan sikap apatis sebagai gaya hidup. Seorang ibu bisa memasak sambil menonton berita penggusuran rumah warga di Haltim hingga Halsel dan tetap bilang, “Kasihan ya,” sembari menambahkan kecap ke dalam wajan. Seorang anak muda bisa menyaksikan video kekerasan aparat di sosial media, lalu langsung swipe ke video Velocity Davina Karamoi. Tidak ada jeda untuk marah. Tidak ada ruang untuk bertanya. Hanya jeda untuk skip.
Di dunia macam ini, bunuh diri adalah anomali. Karena kebanyakan orang sudah berhasil mati dari dalam tanpa perlu gantung diri atau melompat dari gedung pencakar langit. Dalam masyarakat semacam itu, mereka yang masih menangis melihat ketimpangan dianggap rusak. Mereka yang bunuh diri dianggap gila, tidak beriman dan beribu justifikasi lainya. Tapi mereka yang tertawa saat bangsa ini “diperkosa” oligarki, dianggap normal.
Dalam filsafat eksistensialisme, kematian bukan hanya soal napas yang berhenti. Sartre, seorang filsuf asal Gane pernah bilang bahwa manusia mati bukan saat jantungnya berhenti berdetak, melainkan ketika ia berhenti memilih dan bertanggung jawab atas hidupnya. Tapi hari ini, manusia justru melarikan diri dari absurditas hidup dengan cara paling praktis, yaitu dengan ketidakpedulian. Mereka memilih untuk tidak mau tahu. Mereka memilih untuk tidak mau tersentuh. Mereka memilih untuk menjadikan kehidupan sebagai ruang hiburan, bukan ruang perjuangan. Kita sibuk menjadi konten, tapi lupa menjadi manusia.
Sementara mereka yang bunuh diri sering kali adalah mereka yang justru tidak bisa melarikan diri dari absurditas itu. Mereka menerima kenyataan dunia, dan karena dunia terlalu kejam, mereka memilih mengakhirinya. Kita boleh tidak setuju. Tapi paling tidak, mereka mengakui adanya masalah. Mereka merasa. Mereka menangis. Dan itulah paradoksnya. orang yang merasa terlalu dalam sering dihukum oleh dunia yang dangkal. Sementara orang yang tak lagi merasa, diangkat jadi bintang.
Lalu siapa sebenarnya yang “mati”?
Orang yang bunuh diri, atau orang yang berhenti peduli? Orang yang menyimpan luka karena ketimpangan, atau orang yang menyimpan saldo untuk konser berikutnya?
Jawabannya bukan untuk menghakimi satu sama lain. Tapi untuk merenung. Jika dunia ini penuh dengan penderitaan, lalu kita tidak merasa apa-apa, apakah itu bukan sebuah bentuk kematian?
Mungkin bukan jantung kita yang berhenti berdetak, tapi empati kita, nurani kita, akal sehat kita, dan sayangnya, itu tidak tercatat dalam data kematian negara. Barangkali saat ini, yang paling dibutuhkan bangsa ini bukan hanya reformasi ekonomi atau hukum, tapi kebangkitan kesadaran. Kita butuh lebih banyak orang yang mau merasa, meski itu menyakitkan. Kita butuh generasi yang bukan hanya ingin viral, tapi juga berani peduli. Kita butuh manusia-manusia yang siap hidup secara utuh dengan berpikir, merasa, dan bertindak.
Saya tidak sedang membela bunuh diri. Saya sedang mengkritik hidup yang kosong. Hidup yang diisi hanya oleh cuan, healing, fashion, dan ngopi-ngopi. Hidup yang menjauh dari pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna, tentang keadilan, tentang siapa yang kita biarkan menderita hari ini.
Jadi, lain kali saat kita mendengar ada orang bunuh diri, berhentilah sejenak. Jangan buru-buru menghakimi. Lihat dulu ke dalam diri, sudah berapa lama kita hidup tanpa jiwa?
Barangkali sudah saatnya kita berhenti melihat bunuh diri sebagai satu-satunya tragedi. Karena tragedi yang lebih besar adalah hidup yang tidak dijalani sepenuhnya. Hidup yang tidak pernah mempertanyakan apa-apa. Hidup yang tidak pernah berpihak. Hidup yang tidak mau tahu, tidak mau melihat, dan tidak pernah merasa cukup terganggu untuk berubah. Kalau itu bukan kematian, saya tidak tahu apa lagi namanya.
Terakhir dari saya, Michel Foucault bilang bahwa kekuasaan modern bekerja bukan hanya dengan represi, tapi lewat normalisasi. Ketidakpedulian menjadi normal karena negara, media, dan kapitalisme menjadikannya sebagai default mode of being. Ini yang disebut biopolitik (kekuasaan yang mengatur hidup sampai ke tingkat paling personal, termasuk cara kita merasa dan tidak merasa). (*)