Opini  

Refleksi Sosiologis Pengukuhan dan Rapat Kerja DPD IMM Maluku Utara

Oleh: Rahmat Abd Fatah
Dosen Sosiologi Politik dan Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

_____________________________

SAYA memaknai pengukuhan dan rapat kerja yang diberi tema “Akselerasi Gerakan IMM Menuju Maluku Utara Maju”, bukan sekadar slogan, melainkan seruan kebudayaan, peradaban, dan ideologis.

Ideologi Gerakan mahasiswa yang diasosiasi sebagai critical agent of change (Touraine, 1981). Sejalan dengan konsepsi ideologis IMM, yang bukan hanya organisasi kemahasiswaan, tetapi lokus pembentukan karakter, ruang praksis ideologis, dan agen transformasi masyarakat.

Dalam dialektika struktur dan agen seperti dipaparkan oleh Anthony Giddens (1984), IMM harus mampu menjadi subjek perubahan, bukan korban dari determinasi sosial yang kerap menjebak pemuda dalam pasifisme atau pragmatisme.

Akselerasi yang dimaksud pada tema, saya memahaminya bukan semata percepatan program kerja, melainkan percepatan kesadaran kritis (Freire, 1970). Bahwa akselarasi IMM harus diiringi dengan kepeloporan gerakan yang menggabungkan conscientização—kesadaran transformatif—dengan action-reflection, yang dalam istilah Paulo Freire disebut sebagai praxis. Maka, pengukuhan dan rapat kerja ini sejatinya adalah ruang perenungan dan peneguhan jalan, bukan sekadar pengisian jabatan.

Akselarasi Gerakan IMM juga tidak muda, karena juga sedang dan akan terus berhadapan dengan tantangan post-truth society yang mencairkan batas antara fakta dan opini, antara kritik dan ujaran, antara keberpihakan dan manipulasi.

Saya memaknai salah satu bentuk jalan Akselarasi IMM Maluku Utara adalah berani menjadi juru bicara akal sehat publik, sebagaimana dikatakan Jurgen Habermas (1984) bahwa ruang publik rasional harus dijaga oleh mereka yang memiliki kompetensi komunikatif, bukan oleh mereka yang hanya mencari panggung dramaturgi, yang berbeda antara panggung depan dan belakang, antara kata dan tindak, antara zikir dan praksis pembebasan terhadap kaum Mustadh’afin.

Akselerasi IMM, tentu juga mengharuskan IMM hadir dalam gerakan transformatif yang memperkuat social capital masyarakat (Putnam, 2000). IMM tidak boleh hanya bicara ideologi di ruang sempit, tetapi harus turun ke lapangan, menyatu dengan petani, nelayan, pelaku UMKM, dan kaum terpinggirkan yang kerap menjadi penonton dalam panggung pembangunan.

Akselarasi IMM sekiranya menjadi penyambung lidah rakyat, seperti yang dikatakan Gramsci (1971) dalam konsep organic intellectuals—intelektual yang hadir dari rahim rakyat dan kembali ke tengah mereka dengan ide dan gerakan.

Dalam horizon filsafat, tema ini mencerminkan “kehendak untuk menjadi” sebagaimana dikatakan oleh Friedrich Nietzsche, bahwa kehendak untuk berkuasa adalah daya vital manusia untuk mencipta, bukan menaklukkan. IMM bukan alat kekuasaan, tetapi ruh gerakan yang menghidupkan nilai dan moral di tengah politik yang kehilangan orientasi etik.

Karenanya, jika IMM ingin mendorong Maluku Utara Maju, maka kemajuan itu bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi soal kebudayaan, peradaban, dan ideologis.

Peradaban sejati lahir dari kebudayaan yang menjiwai, dan ideologi yang membebaskan. Tanpa kedalaman budaya, peradaban hanyalah kemegahan tanpa makna, dan tanpa ideologi, ia hanyalah arah tanpa tujuan.

Yang membedakan kemajuan dan kemanusiaan bukan teknologi, tetapi nilai. Kebudayaan memberi akar, ideologi memberi arah, dan peradaban menjadi taman tempat keduanya tumbuh dan mekar. Dan karenanya tentu kita berharap IMM dapat mekar bersama di taman peradaban Maluku Utara, suatu saat nanti.

Selamat atas Pengukuhannya; Adinda Ketum, Sekum, Bendum dan seluruh pengurus. Abadi perjuangan. (*)