Opini  

KPK dan Perkara Mendiang AGK: Gugur Satu, Sisanya Lepas?

Oleh: Igrissa Majid

Alumni Anti-Corruption Academy IM57+ Institute

___________________________

RASANYA ganjil saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melalui juru bicaranya menyampaikan kasus mendiang Abdul Gani Kasuba (AGK), mantan Gubernur Maluku Utara, gugur demi hukum. Secara yuridis, pernyataan ini memang tidak keliru. Tapi publik bukan menyoal apa yang sah menurut hukum, melainkan apa yang layak dalam kerangka keadilan.

Rasanya timpang, mengapa korupsi berantai yang terbukti di pengadilan telah dianggap selesai hanya karena satu orang meninggal? Padahal kejahatan semacam ini tak pernah berlangsung sendiri, namun saling berkelindan-paut secara terstruktur yang melibatkan banyak pihak: pengusaha, pejabat daerah, keluarga, bahkan rekan politik. Dan, berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan dan dokumen perkara menunjukkan mendiang AGK hanyalah satu simpul dari jejaring yang lebih luas.

Meski demikian, alih-alih KPK melanjutkan proses terhadap para pelaku lain yang diduga terlibat, lembaga antirasuah ini justru menyetel lampu merah. Pertanyaannya kemudian, apa yang ingin dilakukan KPK di Maluku Utara setelah meninggalnya mantan gubernur dua periode itu? Apakah memang KPK hanya sekadar memenuhi kinerja institusi secara administratif atau memang serius mengokohkan benteng perlawanan terhadap para koruptor?

Pertanyaan di atas harus senantiasa mengingatkan kita semua terutama KPK sebagai institusi yang menangani perkara yang tidak selesai ini. Bahwa yang perlu diingat adalah hukum pidana modern tak lagi melihat kejahatan sebagai tindakan satu orang semata, karena dalam banyak kasus, korupsi ialah hasil kerja kolektif: direncanakan dan dilakukan oleh lebih dari satu tangan.

Maka, logika hukumnya sederhana: jika satu pelaku telah tiada, bukan berarti kewajiban terhadap seluruh rantai kejahatan ikut lenyap. Yang lain tetap harus dimintai pertanggungjawaban, terutama jika keterlibatannya jelas, baik sebagai pemodal, perantara, atau yang membiarkan praktik itu terus berjalan.

Secara yuridis, Pasal 55 dan 56 KUHP telah mempertegas terhadap pelaku-pelaku semacam ini tetap harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Di samping itu, ada asas pertanggungjawaban individual yang berlaku bagi setiap orang terhadap perbuatannya sendiri, tidak bergantung pada nasib atau kondisi orang lain dalam perkara yang sama. Jika pelaku utama wafat, dugaan terhadap pelaku lain yang turut membantu tetap dapat diseret.

Akan tetapi, dugaan saya besar kemungkinan KPK enggan, atau bahkan ‘jiper’ untuk melangkah lebih jauh. Keengganan ini jelas mencederai komitmennya sendiri untuk bekerja tanpa pandang bulu, tidak membiarkan pelaku lain yang turut serta di dalam jejaring korupsi bebas berkeliaran. Dalam hukum pidana juga menegaskan kontribusi setiap pihak dalam kejahatan harus diproses secara proporsional sebagaimana dalam teori penyertaan, baik kepada pihak yang ikut merancang, memfasilitasi, atau membiarkan korupsi terjadi. Siap tidak siap semuanya dapat dijerat hukum.

Penyertaan dalam tindak pidana korupsi tertuang jelas dalam Pasal 15 UU Tipikor juncto Putusan MK 21/PUU-XIV/2016. Ketentuan dalam pasal dan putusan tersebut sudah tentu dipahami betul oleh KPK untuk digunakan sebagai pasal ampuh menjerat pelaku lain. Belum lagi Indonesia secara resmi juga telah berkiblat pada ketentuan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption).

Bahwa dalam Pasal 18 UNCAC menegaskan supaya penindakan harus komprehensif terhadap semua rantai pelaku korupsi, baik perorangan maupun korporasi. Karena itu, KPK tidak memiliki dasar maupun alasan yang cukup kuat untuk melepas tanggung jawabnya, apalagi sengaja menghapus jejak kolektif para pelaku yang turut serta. Bagi penyidik KPK yang menangani kasus ini mestinya melihat perkara mendiang AGK sebagai “rumpun ilalang yang saling melekat”: jika satu tumbang, yang lain tidak otomatis luruh.

Jika KPK tidak mengabaikan pasal-pasal kunci dalam KUHP, UU Tipikor, dan merujuk pada UNCAC, maka mestinya perkara ini berlanjut hingga di kedalaman akarnya. H.L.A. Hart dalam Punishment and Responsibility (1968) menyatakan hukuman bukan hanya untuk membalas (retributive), tetapi juga mencegah (deterrence) kejahatan. Ini sejalan dengan deterrence by prosecution dari Richard Posner: eksistensi proses hukum terhadap semua pelaku adalah kunci untuk menciptakan efek jera, bukan hanya pada individu, tetapi pada sistem kekuasaan secara keseluruhan.

Inilah mengapa kita terus mendorong KPK agar tetap imparsial, berdiri dengan posisi tegak, berjanji yang tak sekadar narasi dan tetap menindak tanpa tebang pilih. Sayangnya, dorongan ini rasanya sudah terlambat, tetapi akan terasa cepat jika berhadapan dengan jajaran kepemimpinan KPK lama. Kalau sekarang justru terkesan kehilangan taring apalagi di saat berhadapan dengan komplotan kuat.

Membaca pola penanganan korupsi ala KPK semacam ini dapat kita respons dengan sandaran pemikiran Iris Marion Young melalui bukunya Responsibility for Justice (2013) yang mengembangkan structural injustice dan political responsibility. Young menjabarkan ketidakadilan tidak dapat dialamatkan kepada personal semata, tetapi peran institusi yang kemungkinan secara pasif maupun aktif menjadi sumbu yang menyalakan obor ketidakadilan.

Konsep Young memang relevan karena soal peran institusi yang mesti bertindak terukur, sebab jika KPK tidak tegas dan mulai layu di tengah suburnya masalah korupsi di Maluku Utara, maka sebagai penegak hukum tidak mampu mengoreksi struktur yang rusak: tidak hanya struktur dalam konteks eksternal, melainkan internal KPK sendiri. Sederhananya, Young menekankan bahwa membiarkan ketidakadilan merupakan bentuk kontribusi pasif terhadap kerusakan sistemik yang perlahan melemahkan supremasi hukum.

Inilah saatnya publik mendengungkan perlawanan, bahwa lemahnya penegakan hukum akan melanggengkan impunitas. Dan, pelaku lain yang tidak tersentuh selalu punya cara untuk tumbuh kembali. Karena itu, keadilan jangan berhenti di liang kubur, lalu muncul obituari yang tak layak dikenang. Sebab, yang wafat bukan hanya seorang tersangka/terdakwa/terpidana/, melainkan mandat etik kepada KPK pun sirna. (*)