Opini  

Ilusi Penanganan Korupsi di Negeri Rimba

Oleh: Sitti Nurlyanti Sanwar

_____________________

KASUS korupsi yang tumbuh subur seperti lumut di tengah riaknya air hujan, tak pernah hentinya menunjukan taringnya.

Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan penjelasan ihwal temuan kasus korupsi Program Digitalisasi Pendidikan di Kemendikbud Ristek periode 2019-2022 atau saat era Nadiem Makarim. Kemudain kasus korupsi selanjutnya, KPK menggeledah rumah politikus Gerindra Heri Gunawan yang diduga terlibat dalam perkara korupsi dana Program Sosial Bank Indonesia. Indonesia tanpa korupsi seperti bukan Indonesia, karena tiap tahun langganan kasus korupsi yang tidak ada habisnya.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yakni faktor internal yang terdiri dari perilaku individu dan sosial dimana hal tersebut berkaitan dengan sifat tamaknya seseorang yang menginginkan lebih dari apa yang dia miliki dan dorongan keluarga menuntut ini dan itu untuk memenuhi keinginan agar dapat dipandang glamor dan hedon.

Kemudian faktor eksternal, faktor luar yang berasal dari lingkungan yang mendukung seseorang untuk melakukan korupsi terdiri dari aspek organisasi dimana manajemen yang kurang baik sehingga memberikan peluang, tidak ada control, kultur organisasi yang lemah dan kurangnya transparansi pengelolaan keuangan, ekonomi yang menjadikan gaya hidup konsumtif, tekanan kelompok dan hukum yang pincang sehingga seseorang dapat melakukan tindakan korupsi.

Bahkan sampai saat ini ilusi penanganan korupsi di negeri rimba tak pernah usai, laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 238,14 triliun selama 10 tahun terakhir (2013-2022). Jumlah ini meningkat 47,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 18,17 triliun. Jumlah kasus korupsi yang berhasil ditemukan aparat penegak hukum (APH) pada periode tersebut adalah sebanyak 209 kasus dengan jumlah 482 tersangka yang diproses hukum (aclc.kpk.co.id/13/9/2022).

Banyak strategi dan upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi di antaranya pencegahan, penegakan hukum, harmonisasi peraturan perundang-undangan, kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi, pendidikan budaya antikorupsi, mekanisme pelaporan pelaksanaan pemberantasan korupsi. Namun semua strategis dan upaya tersebut tidak dapat memberikan efek kepada calon korupsi ataupun pelaku korupsi.

Tidak bisa dipungkiri sistem yang dianut dalam menjalankan negara adalah sumber masalah, kenapa? Karena untuk menduduki kursi DPRD tidaklah mudah banyak jalan yang harus ditempuh, entah itu dengan jalan halal atau pun haram. Sistem politik pilihan Indonesia memberikan konsekuensi logis. Siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, maka jalan mulusnya dengan materi. Partai politik yang menjadi kendaraan tak serta-merta memberikan tiket gratis. Ada harga yang harus dibayar mahal untuk bisa berlabuh di kekuasaan. Sistem politik demokrasi telah memberikan celah bertindak korupsi. Tak malu lagi korupsi dilakukan berjamaah dan saling membantu menutupi masalahnya.

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah, tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu tindakan kha’in (pengkhianatan) dengan cara kepemilikan harta haram.

Islam agama paripurna yang mengatur segala lini kehidupan sampai mengatur negara, karena Islam adalah ideologi bukan agama ritual semata. Islam memberikan hukuman kepada mereka pelaku korupsi. Pada masa Rasulullah saw pelaku kecurangan seperti korupsi selain hartanya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan kepada khalayak, sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qodhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam

Korupsi dalam Islam akan diberantas dengan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun atas dasar ketakwaan. Hukum yang mengaturnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya sebagaiman dalam sistem kapitalis demokrasi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam, maka kasus korupsi akan terselesaikan secara komprehensif bukan hanya ilusi di negeri rimba. (*)