Opini  

Politik Cermin: Ketika Narsisme Mengubah Demokrasi Menjadi Panggung Media Sosial

Oleh: Ali Akbar Djaguna
Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Pulau Morotai

__________________

DI era digital yang serba cepat, demokrasi telah memasuki fase baru yang ditandai oleh dominasi media sosial dalam ruang komunikasi politik. Dari kampanye pemilu hingga pernyataan kebijakan, hampir semua aktivitas politik kini memiliki dimensi visual dan viral. Namun, perkembangan ini membawa serta satu gejala yang mengkhawatirkan: narsisme politik. Narsisme bukan lagi sekadar gangguan kepribadian individu, melainkan telah menjelma menjadi strategi komunikasi politik yang merasuk dalam cara pemimpin membangun citra dan meraih simpati publik. Fenomena ini melahirkan apa yang kita sebut sebagai “politik gaya media sosial”—politik yang lebih mementingkan tampilan daripada isi, popularitas daripada integritas.

Christopher Lasch dalam bukunya The Culture of Narcissism menyebut bahwa masyarakat modern telah bergeser menjadi masyarakat yang menilai nilai seseorang berdasarkan impresi yang ditampilkan kepada publik. Dalam konteks politik, ini berarti pemimpin lebih sering dipilih bukan karena ide dan gagasannya, melainkan karena citra yang mampu mereka bangun di ruang digital. Narsisme politik adalah ekspresi dari dorongan untuk tampil dan diakui, bukan untuk melayani dan mengabdi.

Narsisme politik dapat diartikan sebagai kecenderungan aktor politik untuk menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian utama dalam semua aspek komunikasi dan kebijakan. Di tengah gempuran teknologi informasi, para politisi tidak lagi sekadar menjual program, melainkan menjual diri. Mereka tampil dengan estetika yang dikemas rapi, kalimat-kalimat populis, serta narasi personal yang menggugah emosi publik. Dalam paradigma ini, media sosial bukan hanya alat komunikasi, tapi juga cermin untuk memantulkan citra diri yang mereka desain sedemikian rupa.

Akibatnya, politik tidak lagi berjalan dalam ruang deliberatif yang menekankan dialog, diskusi, dan argumen rasional. Sebaliknya, ia menjadi arena pencitraan diri yang dibalut dengan narasi heroik, aktivitas yang didramatisasi, dan simbol-simbol visual yang menggiring persepsi publik. Narsisme ini mempersempit ruang partisipasi rakyat yang kritis karena publik lebih sering diajak menjadi penonton daripada menjadi pelaku dalam proses politik.

Media sosial, pada awalnya, dipandang sebagai instrumen demokratisasi informasi. Ia membuka peluang komunikasi dua arah antara pemimpin dan rakyat, memperluas akses informasi, serta memberikan ruang bagi suara-suara yang sebelumnya termarginalkan. Namun, dalam praktiknya, media sosial lebih sering digunakan sebagai panggung pertunjukan kekuasaan. Pemimpin politik kerap menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, atau Twitter bukan untuk menjelaskan kebijakan secara transparan, tetapi untuk menampilkan sisi terbaik diri mereka dalam format yang menarik dan viral.

Dalam pandangan Jean Baudrillard, dunia postmodern telah menciptakan kondisi di mana simulasi menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri—hyperreality. Dalam konteks ini, politik media sosial telah menciptakan dunia di mana pemimpin lebih nyata dalam citra digital ketimbang dalam kerja-kerja nyata di lapangan. Ini adalah dunia di mana politik ditentukan oleh kemampuan memproduksi citra, bukan oleh integritas atau kebijakan.

Algoritma media sosial pun turut memperkuat fenomena ini. Konten yang menarik perhatian, menghibur, dan emosional lebih mudah tersebar luas dibanding konten yang informatif namun kompleks. Dalam konteks ini, politisi terdorong untuk menyajikan konten yang ringan, cepat, dan menyentuh sisi emosional publik—bahkan jika itu berarti mengabaikan kedalaman substansi. Menurut Cass Sunstein, media sosial menciptakan efek ruang gema (echo chamber), di mana individu hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangannya sendiri. Dalam hal ini, narsisme politik semakin menguat karena politisi hanya menyampaikan apa yang ingin didengar oleh khalayak mereka.

Ketika narsisme politik dan gaya media sosial bertemu, yang menjadi korban utama adalah kualitas demokrasi itu sendiri. Kebijakan publik tidak lagi diperdebatkan berdasarkan urgensi dan manfaatnya, melainkan sejauh mana ia bisa diunggah dan mendapat apresiasi publik. Anggaran dan program kerja pun sering kali dirancang bukan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, tetapi untuk mendukung citra yang sedang dibangun. Fenomena ini ditegaskan oleh Guy Debord dalam teorinya tentang masyarakat tontonan (society of the spectacle), di mana kehidupan sosial tergantikan oleh representasi citra, dan kenyataan hanya dihargai sejauh ia dapat dipertontonkan.

Demokrasi semestinya menjadi ruang rasionalitas dan pertimbangan kolektif, bukan hanya panggung teater. Namun dengan politik gaya media sosial, aktor politik lebih mementingkan impresi ketimbang solusi. Mereka menyusun narasi bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk menggugah. Mereka hadir di tengah masyarakat bukan untuk mendengarkan, tetapi untuk merekam dan mempublikasikan.

Dalam sistem politik yang dikuasai oleh narsisme ini, publik kehilangan perannya sebagai subjek politik yang aktif. Masyarakat diarahkan menjadi konsumen konten politik, bukan warga negara yang kritis. Mereka diminta untuk menyukai, membagikan, atau mengomentari, tetapi tidak diberi cukup ruang untuk mempertanyakan dan mengevaluasi secara mendalam.

Media massa pun tidak lepas dari pengaruh ini. Alih-alih berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi yang kritis dan independen, sebagian media justru menjadi bagian dari mesin pencitraan politik. Mereka menyiarkan berita-berita yang viral, bukan yang penting. Mereka menyoroti tampilan, bukan substansi. Akibatnya, ekosistem informasi publik semakin dangkal dan rentan disusupi oleh manipulasi. Menurut Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent, media dapat menjadi alat hegemonik yang lebih mementingkan agenda elite daripada kepentingan publik. Di era digital, peran ini semakin melekat karena kecepatan dan klik lebih diutamakan daripada akurasi dan kedalaman.

Kita tidak dapat menolak kehadiran media sosial dalam dunia politik. Namun, kita harus mampu menempatkannya secara proporsional. Politisi harus menyadari bahwa popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan kompetensi dan integritas. Mereka harus kembali pada esensi politik sebagai sarana pelayanan publik, bukan panggung narsisme pribadi.

Di sisi lain, masyarakat harus memperkuat literasi media dan literasi politik. Kemampuan untuk membedakan antara pencitraan dan kebijakan nyata menjadi sangat penting. Publik harus lebih kritis dalam menilai informasi, tidak terjebak pada kesan permukaan, dan berani menuntut transparansi serta akuntabilitas dari para pemimpinnya. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientization) dalam membebaskan masyarakat dari manipulasi simbolik dan ideologis. Dalam konteks politik gaya media sosial, kesadaran ini menjadi perisai agar publik tidak terjerumus dalam ilusi representasi.

Media massa pun harus mereposisi perannya. Mereka harus menjadi penjaga akal sehat publik, bukan sekadar penyampai informasi viral. Jurnalisme investigatif dan analisis mendalam harus kembali dihidupkan, agar publik tidak hanya disuguhi potongan-potongan realitas yang dikurasi untuk kepentingan citra.

Demokrasi tidak seharusnya direduksi menjadi pertunjukan. Ia adalah proses yang serius, memerlukan partisipasi sadar, argumen rasional, dan orientasi pada kepentingan umum. Narsisme politik yang dibungkus dengan gaya media sosial hanyalah ilusi keterlibatan. Ia menyesatkan kita untuk percaya bahwa kedekatan visual adalah kedekatan substansial.

Sudah saatnya kita bertanya: apakah pemimpin kita benar-benar bekerja untuk rakyat, atau hanya tampil untuk kamera? Apakah kita masih menjadi warga negara yang aktif, atau sekadar penonton yang memencet tombol suka?

Politik harus kembali menjadi ruang pengabdian, bukan sekadar ruang pencitraan. Demokrasi harus kembali kepada rakyat, bukan kepada algoritma. (*)