Oleh: Apriyadi J Konoras
Mahasiswa Unibrah & Pengurus Sabua Aksara
____________________
“Hanya di laut, meritokrasi bekerja secara ilmiah dan apa adanya. Sebab di laut, resultan antara navigasi (pengetahuan), keberanian (psike), dan keterampilan (pengalaman) berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi.” Gus Muh (2018).
DI daerah pesisir, orang-orang kerap menjadikan laut sebagai tumpuan mata pencaharian. Nyaris saban hari, perahu bagang dan kapal nelayan berlayar berkilo-kilometer—menunggangi gelombang—mengarungi laut, membawa harapan untuk menyambung hidup. Di Maluku Utara, aktivitas semacam ini sudah lazim ditemukan. Sebab, selain bidang pertanian, sektor perikanan pun cukup menjanjikan. Seperti yang berada di Toniku, desa nelayan di teluk Dodinga, Jailolo Selatan, Halmahera Barat.
Topografi desa yang berada di pesisir memungkin profesi nelayan tumbuh subur sebagai pilihan hidup. Namun, perahu bagang lebih dominan digunakan nelayan di sana untuk memburu ikan teri atau bahasa Melayu-Ternate disebut ikan ngafi. Penangkapan ngafi menjadi sumber penghasilan yang dapat menunjang kebutuhan hidup orang-orang Toniku. Mereka terbilang cukup bergantung pada hasil tangkap ikan ngafi. Terlebih lagi, jika proses penangkapan berlangsung pada saat tidak ada cahaya bulan.
“Kalau pergi babagang (melaut) dan membuang jala di saat bulan galap, tong bisa dapat ikan ngafi yang cukup banyak. Kalau bulan terang, hasil tangkap biasanya menurun,” kata Dayat (19 tahun). Perkataan Dayat ini selaras dengan pengakuan Risman Sahril (25 tahun). “Karena babagang ngafi ni ada depe waktu lagi. Selain lihat bulan, membaca cuaca juga penting,” ucapnya.
Menurut Alfret Lausangnaung, dalam jurnal “Analisis Musim Penangkapan Ikan Teri (Stolephorus sp.) di Teluk Dodinga, Kabupaten Halmahera Barat” (2011), menyebutkan, musim yang paling masif dalam menangkap ikan ngafi berlangsung pada dua fase. Pertama, pada Maret, sampai Juni. Fase kedua, pada Oktober dan November, tapi hasil tangkap tak sebanyak fase pertama.
Aktivitas menangkap ikan ngafi, tak melulu mulus. Bagaimanapun kerap berhadapan dengan cuaca buruk: hujan dan ombak. Namun, tak menyurutkan semangat nelayan ngafi. Mereka tetap bertahan agar bisa membawa pulang hasil tangkapan. Ini saya ketahui saat mendengar cerita dari rekan saya yang lain, Asri (31), nelayan Desa Toniku, beberapa waktu lalu.
Ia bercerita, tempat menangkap ikan ngafi sekitar 5 kilometer dari pesisir desa. Alat tangkap yang mereka gunakan adalah kofo (jaring) dengan panjang ratusan meter. Jaring itu kemudian diturunkan dari bagang ke laut hingga kedalaman 20-30 meter dari permukaan laut untuk bisa menangkap ikan ngafi.
Perahu bagang yang dipakai oleh nelayan tidak bermesin, di setiap sisi kiri dan kanan bagang dipasangi semang tempat di mana jaring diletakkan. Perahu dengan tiang tancap di tengah ini, hanya bisa berpindah dari satu areal tangkap ke areal lain ketika diderek menggunakan perahu motor berkapasitas 40 PK.
Kawasan tangkap ikan ngafi terdapat di sejumlah titik; perairan Dodinga dan Desa Tewe, serta muara sungai Desa Toniku. Dalam penelitian Alfret Lausangnaung, di lokasi tersebut terdapat sungai yang saat meluap dapat membawa unsur hara—memungkikan perairan tersebut relatif subur, dan menjadi salah satu habibat biota laut, termasuk ikan ngafi.
Proses penangkapan ikan ngafi dengan sistem bagang terbilang unik. Agar menarik perhatian ngafi, setiap tempat serta sisi bagang dipasangi penerang yang akan menarik ikan ngafi berkumpul. Lantas, jaring yang sebelumnya sudah diturunkan akan ditarik secara perlahan hingga ke permukaan laut. Dengan begitu, ngafi terperangkap dan nelayan tinggal menangkapnya.
Selain proses kerja dan alat yang digunakan, sistem menangkap ikan menggunakan bagang memerlukan banyak tenaga. Jaring yang panjang dan lebar harus ditarik secara manual hingga ke permukaan laut. Untuk itu, kerja kolektif penting dalam setiap nelayan bagang. Kru yang bekerja sekitar lima orang, dengan tugas masing-masing: dari menarik jaring menggunakan tali melalui gulungan putaran,dan salah seorang mengatur lampu, dan para anggota menaikan jaring.
Hasil tangkapan ikan ngafi sudah dapat diketahui melalui jaring yang mereka tarik. Bila hasilnya banyak, ikan dijual kepada nelayan ikan tuna dan sisanya akan dikeringkan terlebih dulu barulah dipasarkan.
Kepada nelayan ikan tuna, ngafi yang dijual masih hidup sebagai umpan ikan tuna. Mereka biasa membeli dengan ukuran ember sedang. Satu ember dibandrol dengan harga Rp200.000. Dalam sekali melaut, nelayan ikan tuna sering membeli hingga 20 ember sekaligus. Adapun ngafi kering, dijual per kilogram Rp60 ribu hingga Rp120 ribu. Biasanya nelayan akan menjual ke desa tetangga atau hingga dipasarkan ke Kota Ternate dan Tidore.
Sistem pengupahan para kru nelayan ngafi di Desa Toniku diterima setiap akhir bulan, kendati dalam sebulan bisa beberapa kali melaut. Setiap anggota atau nelayan bisa mendapatkan Rp400 ribu sampai lebih dari Rp1 juta, kalau hasil tangkap berkurang. Namun, jika tangkapan ngafi cukup banyak, para kru bisa menerima upah bersih dari Rp2 juta sampai Rp3juta dalam sebulan. Hasil itu sudah dikalkulasi dengan jatah juragan atau pemilik bagang.
Sebetulnya, memburu ikan ngafi di Toniku cukup menjanjikan. Bahkan ketika bocah-bocah ikut melaut pun sering mendapat upah, dan bisa membeli apa yang mereka butuhkan. Namun, saat sudah merampungkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan S-1, hampir tak ada generasi muda yang ikut melakoni penangkapan ngafi, tidak terkecuali teman-teman saya. Bukan tanpa sebab. Minimnya minat memburu ngafi bagi generasi muda, disebabkan beberapa faktor, salah satunya bercokolnya perusahaan tambang di Maluku Utara, dengan gaji yang menggiurkan, tapi seperti sapi perah. Generasi muda Toniku melemparkan ke perusahaan dan jadi buruh industri di sana.
Selain itu, profesi nelayan ngafi juga dipandang sepele, dan membuat generasi muda jadi gengsi dan tak mau melanjutkan pekerjaan yang menantang itu. Belum lagi, perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Barat yang cuek terhadap nasib nelayan teri. Dengan begitu, bisa membuat para nelayan muda minggat dari pemburu ngafi. Sejumlah nelayan mengeluh tak pernah dapat perhatian, apalagi batuan Pemda Halbar. Tidak bermaksud meminta belas kasih dari pemerintah, melainkan agar setidaknya masyarakat merasakan kehadiran pemerintah di tengah-tengah nelayan. (*)