Opini  

Halmahera, Alam serta Kehancurannya

Oleh: Mulyadi K. Tawari
Pegiat PILAS
Mahasiswa Teknik Sipil Unkhair Ternate

_____________

TUBUH yang kekar, tulang yang kuat, juga darah yang mengalir dalam tubuh kita ialah sebab dari alam Halmahera. Dari hasil tani serta ekosistem laut kita masyarakat halmahera tetap hidup tanpa ketergantungan dengan industrialisasi di beberapa wilayah halmahera. Doktrin ini begitu asing di masyarakat sekitar wilayah industri, ketika eksploitasi besar-besaran di beberapa sektor wilayah tambang mulai beroperasi, masuk dan merusak alam serta tubuh dan tulang kekar kita. Kebiasaan menaklukkan alam menyebabkan manusia mengesampingkan pertimbangan etis terhadap entitas non-rasional.

Leopold dalam Saras Dewi “Ekofenomenologi” (2015). Ketidakseimbangan alam terjadi karena kepesatan teknologi dan hiper-industrialisasi. Perubahan yang mengatasnamakan kepentingan manusia sering kali merusak ekulibrium ekosistem. Hal itu yang terjadi sekarang di setiap sudut pulau halmahera, tambang dianggap sebagai simbol kehidupan penggerak ekonomi daerah maupun di tingkat negara, dan naifnya alam hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia. Halmahera bukan sekadar pulau panjang yang melintang sejauh mata memandang serta menyimpan hasil alam yang melimpah, melainkan sebagai asal usul diri kita, hidup dan mati kita. Halmahera adalah canva kosong yang menyimpan ribuan impian anak bangsa. Setiap generasi harus menjaganya hingga dengan kreativitas melukis berbagai keindahan di dalamnya bukan kehancuran.

Melalui kerangka pikir sederhana, penulis berusaha menyelidiki mengapa ketidakseimbangan ini terjadi. Mengakibatkan kondisi alam semakin memburuk. Substansi permasalahannya begitu rumit untuk dipahami, dan rekonstruksi terhadap alam yang rusak tidak dapat diselesaikan melalui pandangan etis praktis saja, melainkan perlu pemahaman ontologis tentang alam.

Stephen Jay Gould dalam Saras Dewi (2015). Ia berulang kali mencoba membongkar teori emas antroposentrik dengan mengatakan manusia hanyalah setitik kompleks organisme di antara jutaan organisme lainnya. Sebesar apa pun manusia mencintai dirinya, Homo Sapiens bukanlah representasi atau simbol kehidupan secara keseluruhan, manusia bukan ras pilihan yang mewakili mahluk hidup lainnya.

Dengan kondisi seperti sekarang maka saya mencoba menggali lebih dalam terkait pemahaman masyarakat sekitar, kenyataannya manusia telah membuat dunia baru yang antroposentris, manusia menganggap diri berkedudukan tertinggi di alam. Alam serta isinya punya jantung dan kehidupan persis seperti manusia, ia beradaptasi, komunikasi, serta berkembang biak, ia memiliki itensitas hidup tersendiri. Keterlibatan manusia dengan dunia alam tidak bisa terlepas pisahkan sebab di dalam alam manusia dan makhluk lainnya terus berevolusi, keduanya menunjukan betapa pentingnya alam bagi kehidupan manusia, tanpa keterlibatannya itu kehidupan menjadi irelevan dijalani.

Selain industri pertambangan, kepesatan teknologi juga merusak ekulibrium ekosistem, misalnya sistem pertanian modern di beberapa sektor wilayah halmahera. Pestisida dan pupuk artifisal menyebabkan terganggunya kegemburan tanah. Hal itu menjadikan hasil tani penuh zat beracun. Imbasnya, masyarakat yang mengonsumsi produksi tani itu secara langsung terkena racun tersebut. Ini hanyalah contoh kecil bagaimana rantai ekosistem bekerja, menunjukan ketergantungan manusia terhadap ekulibrium dalam ekosistem. (*)