Opini  

Tutuhu: Suara dari Timur Kasiruta 

Oleh: Sabri Hamid

_____________________

DI kaki perbukitan yang sepi, di antara kabut pagi yang turun pelan-pelan, berdirilah Desa Tutuhu—sebuah desa kecil di Kecamatan Kasiruta Timur yang dulunya dikenal karena semangat kebersamaannya. Desa ini bukan hadir begitu saja; ia lahir dari perpindahan masyarakat dari Desa Busua, membawa serta adat, bahasa, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun, Di tanah ini, cerita-cerita lama masih hidup dalam ingatan para tetua. Dulu, setiap musim panen para tetua sering menunjukan adat togal lewat aktivitas sehari-hari. Ada kesadaran kolektif bahwa hidup bukan sekadar untuk hari ini, tapi juga untuk menjaga warisan hari-hari kemarin.

Di tengah derasnya gelombang modernisasi dan globalisasi, tradisi dan nilai-nilai lokal perlahan surut dari ruang kehidupan masyarakat. Salah satu yang kini terancam lenyap dari kesadaran kolektif adalah tradisi adat Makeang Togal—warisan budaya yang selama berabad-abad menjadi denyut kehidupan masyarakat Makeang, khususnya di wilayah Maluku Utara.

Tradisi Makeang Togal bukan sekadar ritual seremonial. Ia adalah nadi kebersamaan, ruang penghormatan terhadap leluhur, dan fondasi identitas budaya yang telah mengakar kuat. Dalam setiap geraknya, tersirat nilai-nilai luhur tentang sopan santun, keseimbangan dengan alam, dan penghargaan terhadap sesama.

Namun kini, tradisi ini perlahan menjauh dari pangkuan generasi mudanya. Pelaksanaan upacara adat semakin jarang terlihat, bahkan dalam momentum penting seperti pernikahan atau panen raya. Pengaruh budaya luar yang masuk tanpa filter, serta minimnya edukasi sejarah dan adat di kalangan muda, menjadi penyebab utama memudarnya kesadaran budaya ini.

Sebagai mahasiswa teknik, saya tidak menolak kemajuan teknologi—sebaliknya, saya melihatnya sebagai peluang. Teknologi seharusnya tidak menjadi pisau yang memotong akar kita, tetapi jembatan untuk menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Media sosial, dokumentasi digital, hingga platform edukatif dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan dan merawat tradisi Makeang Togal kepada dunia yang lebih luas.

Generasi muda, termasuk kalangan intelektual kampus, memikul tanggung jawab moral untuk melestarikan tradisi ini. Menghidupkan kembali Makeang Togal bukanlah bentuk nostalgia semata, melainkan perjuangan merawat jati diri. Sebab kehilangan tradisi, berarti kehilangan arah; dan kehilangan arah, berarti mengikis makna keberadaan kita sebagai anak negeri.

Mari kita jadikan tradisi sebagai kekuatan, bukan beban. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menanam dan menjaga akarnya, bukan yang memotongnya demi tumbuhan asing yang tak berakar.

Sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Mesin Fakultas Teknik Universitas Khairun, saya ingin menegaskan bahwa tradisi adat Makeang Togal adalah bagian esensial dari identitas masyarakat Makeang. Tradisi ini bukan sekadar penanda masa lalu, melainkan penuntun nilai moral dan spiritual yang membentuk karakter sosial masyarakat kita.

Minimnya pelaksanaan tradisi adat ini di era modern tak hanya dipicu oleh arus globalisasi, tetapi juga karena ketidakhadiran perhatian kolektif—dari generasi muda, tokoh adat, lembaga pendidikan, hingga pemerintah desa. Ketika tradisi hanya dianggap beban atau dianggap kuno, maka di sanalah kita sedang menyaksikan krisis identitas yang nyata.

Kini, anak-anak muda lebih mengenal budaya luar ketimbang nilai-nilai luhur warisan leluhurnya. Krisis ini bukan sekadar persoalan budaya, tapi persoalan arah hidup dan jati diri. Jika tidak ada langkah strategis dan sadar dari berbagai elemen, maka bukan mustahil dalam satu hingga dua generasi ke depan, Makeang Togal akan tinggal nama—tertulis dalam buku sejarah yang tak lagi dibaca.

Karena itu, saya menyerukan pentingnya kolaborasi antara masyarakat adat, akademisi, pemuda, dan pemerintah daerah. Tradisi tidak bisa dilestarikan oleh satu pihak. Ia harus dijaga bersama, dengan hati yang tulus dan visi yang jauh ke depan.

Hal serupa pernah disampaikan oleh teman-teman Ikatan Pelajar Mahasiswa Busua (IPMB), yang memandang, memudarnya tradisi Makeang Togal sebagai sinyal bahaya atas melemahnya kesadaran budaya di tengah masyarakat, khususnya generasi muda. Tradisi ini bukan sekadar warisan upacara, melainkan penjelmaan nilai-nilai luhur yang membentuk kepribadian dan arah hidup masyarakat.

Kita sedang hidup di era yang kerap mengagungkan kecepatan, melupakan kedalaman. Di tengah riuhnya dunia digital, tradisi seperti Makeang Togal sering kali dianggap tak relevan—usang, dan tak lagi penting. Padahal, justru di saat manusia kehilangan makna, tradisi hadir sebagai penuntun arah; sebagai suara leluhur yang membisikkan siapa kita sebenarnya.

Banyak di antara kita kini berbicara tentang kemajuan, tetapi lupa bahwa kemajuan tanpa akar hanya akan melahirkan generasi yang melayang—tak berpijak, dan mudah tumbang. Tradisi bukan penghambat perubahan; ia adalah pelita dalam gelap, pengingat bahwa masa depan yang kuat selalu berpijak pada masa lalu yang dijaga dengan penuh cinta.

Jika hari ini tradisi Makeang Togal tinggal nama, bukan karena dunia terlalu cepat bergerak, tetapi karena kita terlalu cepat melupakan. Kita terlalu sibuk meniru luar, sampai lupa bahwa dalam diri kita sendiri telah tertanam nilai-nilai yang agung dan luhur.

Karena itu, mari kita renungkan: Apakah kita masih mengerti makna syukur dalam panen raya tanpa iringan doa adat?

Apakah kita masih tahu arti penghormatan jika upacara adat tak lagi digelar dalam pernikahan?

Apakah kita masih bisa menyebut diri sebagai pewaris, jika tak satu pun jejak leluhur kita rawat

Sebagai salah satu anggota dari IPMB, yang juga merasa hawatir dengan kondisi saat ini, modernisasi tidak boleh dijadikan dalih untuk menanggalkan akar budaya. Justru di tengah zaman yang kian cepat berubah, tradisi seperti Makeang, Togal menjadi benteng moral, kompas arah, dan penegas identitas. Karena itu, kami mengajak seluruh komponen masyarakat—terutama pelajar, mahasiswa, dan pemuda untuk kembali memeluk warisan ini, merawatnya dengan semangat kreatif, edukatif, dan memanfaatkan teknologi sebagai alat penyebaran nilai.

Pelestarian budaya bukan pekerjaan satu hari, dan bukan pula tugas satu generasi. Tapi ini adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesadaran, kesetiaan, dan keberanian. Dan kami, siap menjadi garda terdepan dalam menjaga denyut tradisi Makeang Togal agar tetap hidup—bukan sekadar dalam ingatan, tetapi dalam perbuatan.

Ene moi nema da adat, ma joget yo. Tapi ene moi nema na adat ronge togal”. (Pesan Mama). (*)