Oleh: Hara Fhanira
________________________
KISRUH penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 kembali mencuat dan menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat. Di antara jutaan harapan yang dipanjatkan dari tanah air, tak sedikit justru yang kandas dengan getir. Salah satunya dialami Heri, seorang calon jemaah asal Indonesia yang visanya dibatalkan secara sepihak oleh otoritas Arab Saudi. Dikutip dari Republika, Heri mengaku hanya bisa pulang ke Indonesia dengan mengenakan ihram karena koper dan perlengkapannya tertinggal. Ia tak sempat menunaikan ibadah yang telah ia siapkan selama bertahun-tahun. “Saya hanya bisa pasrah,” ucap Heri, lirih. Kisah ini bukan hanya tentang dokumen yang gagal terbit, melainkan tentang sistem yang gagal melindungi hak ibadah umat Islam.
Pemerintah Arab Saudi memang menerapkan kebijakan baru terkait akses masuk ke Tanah Suci, namun menyandarkan seluruh kesalahan pada pihak luar tanpa mengevaluasi sistem internal justru menunjukkan minimnya tanggung jawab negara. Banyak dari kekacauan yang terjadi tahun ini sejatinya berasal dari kelalaian dalam negeri, baik dalam manajemen, pengawasan biro perjalanan, maupun kesiapan logistik. Ini bukan semata urusan teknis, melainkan menyangkut paradigma dalam mengelola ibadah haji yang sudah bergeser dari pelayanan menjadi komodifikasi. Ketika ibadah yang sakral ini dijadikan ajang bisnis, maka kericuhan demi kericuhan akan terus berulang, dan umatlah yang akan terus dirugikan.
Dalam Islam, haji adalah rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim yang mampu. Maka, penyelenggaraan haji bukanlah urusan bisnis atau keuntungan, melainkan tanggung jawab penuh negara dalam menjamin kenyamanan dan kemudahan ibadah rakyatnya. Negara adalah ra’in, pengurus urusan rakyat. Namun apa yang terjadi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Tempo melaporkan bahwa pada saat puncak ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), banyak jemaah yang kelelahan, tenda berdesakan, dan konsumsi tidak memadai. Bahkan dilaporkan pula ada jemaah yang harus berjalan kaki sangat jauh karena minimnya layanan transportasi. Mereka terlunta-lunta di tengah panas ekstrem, di saat mereka seharusnya fokus pada kekhusyukan beribadah.
Laporan Tim Pengawas Haji DPR pun tak kalah mencemaskan. Dalam berita yang dilansir Tempo, anggota Timwas menemukan ketidaksesuaian antara jumlah petugas dan kebutuhan lapangan, keterlambatan distribusi makanan, serta buruknya koordinasi logistik. Jemaah yang seharusnya dilayani malah dibuat menunggu atau mencari keperluan sendiri. Di beberapa titik, kondisi ini berujung pada ketegangan dan kekacauan. Ini adalah bentuk nyata dari kegagalan sistemik. Padahal negara memiliki kewajiban penuh untuk menjamin layanan ibadah, bukan hanya sebagai operator birokrasi, tetapi sebagai pelindung umat.
Ironisnya, di tengah kekacauan layanan resmi, muncul pula praktik-praktik ilegal yang memanfaatkan celah sistem. BeritaSatu melaporkan bahwa pihak keamanan Arab Saudi menangkap seorang WNI karena membawa rombongan jemaah haji ilegal yang mencoba masuk ke Makkah tanpa izin resmi. Kejadian seperti ini mencerminkan bagaimana rakyat yang begitu ingin menunaikan ibadah haji terpaksa mengambil jalan alternatif, meskipun berisiko tinggi, karena tidak mendapatkan akses yang adil dari sistem resmi. Ini semua adalah akibat dari kapitalisasi haji, yaitu saat ibadah dijadikan produk, dan umat menjadi pelanggan yang harus bersaing demi ‘layanan terbaik’.
Kapitalisasi ibadah haji inilah yang menjadi akar permasalahan sejati. Ketika paradigma pengelolaan haji bergeser menjadi pasar bebas, maka pelayanan tidak lagi dilandasi oleh niat tulus untuk memuliakan tamu Allah, tetapi sekadar mengejar profit. Maka muncul berbagai kelas layanan, dari ekonomi hingga VIP, dari visa biasa hingga visa undangan. Sementara itu, sebagian umat justru kehilangan kesempatan berangkat meski sudah memenuhi syarat secara syariat. Negara yang seharusnya menjadi pengurus ibadah justru menyerahkan urusan ini ke tangan swasta dan pasar global, lepas dari semangat pelayanan dalam Islam.
Andai saja negara benar-benar menjalankan fungsinya dalam sistem Islam, maka pengelolaan haji akan sangat berbeda. Dalam sejarah Islam, khususnya saat umat dipimpin oleh Khilafah, ibadah haji diurus langsung oleh negara sebagai amanah besar. Jalur-jalur menuju Tanah Suci dijaga dengan aman, penginapan disiapkan tanpa pungutan berlebihan, makanan dan kesehatan ditanggung, serta transportasi disiapkan dengan cermat. Negara tidak membiarkan umat mencari-cari biro atau mempertaruhkan nasib pada permainan visa.
Mengapa bisa demikian? Karena negara Islam memiliki sistem keuangan yang kuat dan berdaulat. Baitulmal, sebagai kas negara, dikelola dengan sumber-sumber yang syar’i seperti zakat, kharaj, jizyah, dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Kekayaan ini tidak dikapitalisasi untuk kepentingan segelintir elite, tetapi digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat. Di bawah sistem ini, negara tidak akan bingung mencari anggaran untuk logistik haji, karena haji adalah pelayanan, bukan bisnis. Ditambah lagi, Khilafah menyatukan seluruh negeri-negeri muslim di bawah satu kepemimpinan, yang berarti koordinasi penyelenggaraan ibadah bisa dilakukan secara menyeluruh dan adil tanpa diskriminasi berdasarkan kebangsaan.
Kisruh haji tahun ini harus menjadi cermin besar bagi negeri ini untuk melakukan evaluasi total. Negara tidak bisa terus-menerus bersandar pada sistem birokrasi yang kapitalistik dan menyerahkan urusan rakyat pada mekanisme pasar. Ibadah bukan bisnis. Negara tidak boleh berlepas tangan dan hanya menjadi fasilitator pasif. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka umat akan terus menjadi korban. Sudah saatnya kembali pada sistem yang benar-benar menjadikan pemimpin sebagai pelayan umat, bukan pengelola untung-rugi. Sistem yang menempatkan haji sebagai amanah suci, bukan produk jual beli. Dan sistem itu tidak lain adalah sistem Islam yang diterapkan secara kaffah. (*)