Opini  

Pemerintah Masih Belum Sepenuh Hati Perhatikan Kesejahteraan Guru

Oleh: Sucirahmatia

____________________

HEBOH soal tunjangan tugas tambahan (TUTA) bagi guru yang dicoret dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) murni tahun 2025 di Banten. Sejak Januari hingga Juni, Pemerintah Provinsi Banten belum membayarkan tunjangan penting ini kepada ribuan guru yang menjadi tulang punggung pendidikan di daerah tersebut. Pencoretan TUTA ini telah mengganggu kesejahteraan guru, menurunkan semangat, bahkan memicu aksi massa. Kabar ini membuat banyak guru merasa terancam hidupnya. Guru berusaha melakukan beberapa upaya untuk dapat mengembalikan cairnya TUTA guru tersebut, bahkan ada yang merencanakan turun ke jalan demi memperjuangkan hak yang seharusnya mereka terima. Kejadian ini adalah gambaran nasib guru dalam sistem saat ini, dimana kesejahteraaan guru masih belum terpenuhi.

Dalam sistem hari ini, kesejahteraan guru masih menjadi PR bagi pemerintah daerah dan pusat. Pemenuhan kesejahteraan ini tentu membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Penggajian guru erat dengan ketersediaan sumber dana negara. Sudah seharusnya pemerintah menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Karena guru adalah sosok penting dalam dunia pendidikan, yang mendidik generasi unggul berkualitas. Mereka digambarkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang rela berjuang demi mencerdaskan anak bangsa.

Namun, jasa dan perjuangannya tidak diperhatikan negara. Negara abai terhadap kesejahteraan guru. Masih banyak guru di negeri ini yang hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Banyak dari mereka yang menerima gaji rendah. Sehingga mereka harus mencari pekerjaan tambahan, mengajar di banyak tempat, bahkan ada yang membuka usaha sampingan hanya untuk menutupi kebutuhan hidup yang terus membengkak. Bagaimana guru bisa fokus mendidik anak didik jika pikiran mereka masih bercabang mencari sampingan. Apalagi di zaman sekarang biaya hidup semakin hari semakin mahal. Hal ini menunjukkan lemahnya perhatian negara terhadap kesejahteraan guru.

Kebijakan seperti ini lahir karena guru dianggap sama seperti profesi lainnya, hanya sebagai pekerja yang digaji atas jasa. Pemerintah melihat guru bukan sebagai profesi mulia yang punya peran strategis dalam membangun bangsa, melainkan hanya sebagai pekerja biasa yang dibayar untuk melakukan tugas tertentu. Padahal, tugas mereka jauh lebih berat dari sekadar mengajar, mereka mendidik, membentuk karakter, dan membangun peradaban. Di sisi lain, negara tidak sepenuhnya mengurusi pendidikan, namun juga menyerahkan kepada pihak swasta. Akibatnya, banyak sekolah dikelola dengan prinsip bisnis dan orientasi keuntungan, bukan murni pelayanan publik. Belum lagi sistem keuangan dalam sistem kapitalisme yang banyak menggantungkan kepada utang, sehingga gaji besar dirasakan membebani negara.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang mampu memberikan kesejahteraan kepada guru. Guru dalam Islam sangat dihargai dan dihormati. Guru memiliki peran strategis dalam membina generasi dan memajukan peradaban bangsa. Dalam sejarah Islam, para guru, ulama, dan pendidik selalu diberikan fasilitas terbaik dan penghormatan tinggi. Negara Islam tidak menganggap guru sebagai beban anggaran, tetapi sebagai aset penting dalam membangun peradaban. Karena itu, negara memberikan perhatian penuh terhadap kesejahteraan guru, termasuk memberikan gaji yang layak dan memadai.

Negara Islam mampu memberikan gaji tinggi kepada guru karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam dan dalam jumlah besar. Semua sumber daya ini dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan. Hal ini tak dapat dilepaskan dengan sistem ekonomi Islam yang menentukan beragam sumber pemasukan termasuk dari pengelolaan sumber daya alam yang dalam Islam merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara.

Dalam sejarah, pada masa Kekhilafahan Abbasiyah dan Umayyah, para guru tidak hanya diberi gaji tinggi, tetapi juga dihormati secara sosial dan difasilitasi secara optimal. Bahkan ada institusi seperti Baitul Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan pembiayaan penuh dari negara. Hal ini hanya mungkin terwujud dalam sistem yang menjadikan pendidikan dan kesejahteraan guru sebagai prioritas mutlak.

Dalam sistem Islam saat itu, kesejahteraan guru bukan sekadar kebijakan, melainkan bagian dari tanggung jawab negara terhadap ilmu dan umat. Tidak ada ruang bagi logika kapitalisme yang mempertanyakan untung rugi dalam menggaji guru, karena ilmu dianggap cahaya yang menerangi umat—dan guru adalah pembawa cahaya itu.

Sudah saatnya umat menyadari bahwa problem kesejahteraan guru tidak akan tuntas jika sistem kapitalisme tetap dipertahankan. Sistem ini terbukti gagal mengatur anggaran negara secara adil, menjamin kebutuhan pokok rakyat, dan menghormati peran guru secara layak. Satu-satunya solusi tuntas adalah dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah, termasuk dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Dalam sistem Khilafah, negara akan menjadi penanggung jawab utama pendidikan, menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas, serta menjamin kesejahteraan guru dengan sumber dana yang sah dan melimpah. (*)