Oleh: Bachtiar S. Malawat
Mahasiswa Pendidikan IPA Unutara
_______________
PENDIDIKAN inklusif telah menjadi salah satu wacana penting dalam diskursus pendidikan global maupun nasional. Wacana ini didorong oleh semangat humanisme dan keadilan sosial, yang menempatkan setiap manusia sebagai subjek yang berhak atas pendidikan, terlepas dari kondisi fisik, psikologis, sosial, ekonomi, atau kulturalnya. Dalam konteks ini, pendidikan inklusif tidak hanya berbicara tentang akses bagi peserta didik berkebutuhan khusus, tetapi lebih luas lagi, sebuah sistem yang mengakomodasi keberagaman dan menolak segala bentuk diskriminasi. Namun, idealisme yang melandasi pendidikan inklusif justru bertabrakan dengan realitas struktural di lapangan, yang sarat dengan ketimpangan, birokratisasi pendidikan, hingga kekerasan simbolik dalam praktik institusional.
Secara normatif, pendidikan inklusif dibangun atas fondasi paradigma humanistik. Paradigma ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat, memiliki potensi, dan harus difasilitasi untuk berkembang secara utuh. Dalam buku Teori-Teori Pendidikan karya Nuraini Sayomukti, dijelaskan bahwa pendekatan humanistik dalam pendidikan bertumpu pada pengakuan terhadap keunikan individu, penghargaan terhadap kebebasan belajar, serta penciptaan ruang yang kondusif bagi pertumbuhan psikologis dan sosial peserta didik. Sayangnya, implementasi di lapangan sering kali berjalan dalam ruang yang rigid, birokratis, dan berorientasi pada hasil belajar semu yang terukur secara numerik, bukan perkembangan manusia secara menyeluruh. Hal ini menegaskan adanya jarak epistemologis sekaligus praksis antara wacana humanistik dan realitas pendidikan inklusif di Indonesia.
Lebih jauh, sistem pendidikan kita masih dikendalikan oleh logika struktural yang menempatkan sekolah sebagai institusi reproduksi sosial. Dalam Sosiologi Pendidikan karya Zamroni, dijelaskan bahwa pendidikan tidak pernah netral, ia selalu berkelindan dengan kekuasaan, status sosial, dan politik identitas. Dalam konteks pendidikan inklusif, sekolah masih gagal menjadi ruang sosial yang adil bagi semua peserta didik. Anak-anak dengan latar belakang disabilitas, kemiskinan, atau minoritas kultural masih menghadapi tantangan sistemik baik dari segi infrastruktur, tenaga pengajar, kurikulum, maupun penerimaan sosial.
Ketimpangan ini tampak, misalnya, pada minimnya kesiapan sekolah untuk menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Banyak sekolah negeri maupun swasta belum memiliki guru pendamping yang terlatih dalam pedagogi inklusif. Kurikulum masih disusun dalam kerangka homogen yang mengabaikan diferensiasi kebutuhan peserta didik. Bahkan, dalam banyak kasus, sekolah justru menjadi ruang yang melanggengkan kekerasan simbolik, memaksakan standar tunggal pada semua peserta didik dan menyingkirkan mereka yang dianggap “tidak mampu menyesuaikan diri”. Dalam konteks ini, Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas mengingatkan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi alat penindasan yang membungkam pengalaman hidup peserta didik. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi praktik pembebasan yang mengangkat realitas peserta didik sebagai bagian dari proses belajar yang bermakna dan kritis.
Freire menawarkan konsep pedagogi dialogis yang menempatkan peserta didik sebagai subjek, bukan objek. Ia menentang pendidikan gaya “bank” yang menjejalkan pengetahuan kepada murid tanpa mengakui konteks sosial mereka. Dalam pendidikan inklusif, pendekatan ini menjadi penting. Sebab, peserta didik dengan berbagai latar belakang memiliki pengalaman, tantangan, dan kekuatan masing-masing. Ketika sistem pendidikan mengabaikan konteks ini, misalnya dengan tidak menyediakan alat bantu, tidak mengadaptasi metode pembelajaran, atau tidak memberi ruang partisipatif maka inklusi berubah menjadi ilusi.
Realitas struktural ini diperparah oleh tata kelola pendidikan yang elitis dan sentralistik. Kebijakan inklusif yang digulirkan oleh pemerintah pusat tidak diikuti oleh penguatan kapasitas pemerintah daerah maupun sekolah. Banyak kebijakan hanya berakhir sebagai formalitas administratif tanpa dukungan anggaran, pelatihan, dan supervisi yang memadai. Di lapangan, guru sering kebingungan menerjemahkan “pendidikan inklusif” karena tidak ada acuan teknis yang jelas dan tidak ada dukungan konkret dari institusi. Hal ini menyebabkan banyak sekolah melakukan praktik eksklusi terselubung, tidak secara eksplisit menolak siswa berkebutuhan khusus, tapi tidak menyediakan sarana yang memungkinkan mereka belajar secara optimal. Dalam situasi seperti ini, pendidikan inklusif gagal melampaui sekadar slogan.
Lebih ironis lagi, banyak institusi pendidikan menggunakan narasi inklusi sebagai alat legitimasi politik atau proyek pencitraan. Sekolah-sekolah diberi label “sekolah inklusif” hanya karena menerima satu atau dua peserta didik berkebutuhan khusus, tanpa memperbaiki sistem internalnya. Hal ini memperlihatkan bahwa inklusi direduksi menjadi kosmetika kelembagaan, bukan praktik pedagogis yang mendasar. Sebagai akibatnya, peserta didik yang seharusnya diberdayakan justru kembali menjadi objek baik objek belas kasihan maupun objek birokratisasi.
Pendidikan inklusif seharusnya menjadi jalan menuju transformasi sosial, bukan hanya reformasi kelembagaan. Namun, transformasi ini tidak mungkin tercapai tanpa pembongkaran struktur yang menindas. Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan harus membantu manusia menyadari realitasnya (conscientization) dan bertindak mengubahnya. Maka pendidikan inklusif yang sejati harus mendorong semua aktor pendidikan guru, murid, kepala sekolah, orang tua, bahkan pemerintah untuk membaca ulang realitas ketimpangan dan melakukan tindakan emansipatoris. Transformasi bukan hanya soal “memasukkan” peserta didik ke dalam sistem, tapi soal mengubah sistem agar bisa menerima dan melayani mereka secara adil.
Dalam kerangka tersebut, penting untuk mengingat bahwa pendidikan inklusif tidak bisa dilepaskan dari perjuangan struktural yang lebih besar, melawan kemiskinan, memperluas akses layanan dasar, menghapus diskriminasi, dan membangun kesadaran kritis kolektif. Pendidikan inklusif bukan hanya isu teknis, melainkan persoalan ideologis. Ia menyangkut pandangan kita tentang manusia, tentang keadilan, dan tentang masa depan masyarakat.
Di tengah tantangan itu, tetap ada harapan. Banyak komunitas pendidikan mulai membangun pendekatan inklusif dari bawah, guru-guru yang merancang pembelajaran diferensiatif, sekolah-sekolah yang membuka ruang dialog antar siswa, hingga organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak anak-anak marginal. Namun upaya ini akan sia-sia jika tidak didukung oleh perubahan struktural dari negara, kebijakan afirmatif, pembiayaan yang adil, dan sistem evaluasi yang holistik. Hanya dengan sinergi antara gerakan dari bawah dan dukungan dari atas, pendidikan inklusif bisa benar-benar menjadi alat transformasi, bukan sekadar instrumen legitimasi.
Akhirnya, pendidikan inklusif akan selalu menjadi ladang pergulatan antara paradigma dan kenyataan. Antara cita-cita membebaskan dan sistem yang membelenggu. Namun seperti kata Freire, “Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia. Manusia yang kemudian mengubah dunia.” Maka tugas pendidikan inklusif bukan hanya mengajak semua masuk ke ruang belajar yang sama, tetapi membentuk manusia-manusia yang sadar, kritis, dan berani mengubah dunia yang tidak adil menjadi dunia yang manusiawi. (*)