Oleh: Zahra Riyanti
Pemerhati Muslimah dan Generasi
________________
FENOMENA pengibaran bendera Jolly Roger ala One Piece di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini tidak dapat dipandang semata sebagai ekspresi fandom atau tren budaya pop. Dalam kacamata ilmu politik, munculnya simbol tandingan terhadap bendera resmi negara adalah tanda krisis legitimasi. Max Weber menjelaskan bahwa legitimasi kekuasaan dapat bersumber dari tradisi, karisma, atau legal-rasional, dan simbol negara adalah bagian dari perangkat legitimasi simbolik yang menjaga kesetiaan rakyat. Ketika simbol tersebut mulai ditinggalkan, apalagi diganti dengan ikon fiksi bajak laut, itu menunjukkan erosi otoritas simbolik rakyat secara tersirat mengatakan bahwa makna yang melekat pada bendera resmi sudah tidak mereka percayai.
Fenomena ini sejajar dengan penggunaan topeng Guy Fawkes oleh gerakan Anonymous atau simbol-simbol tandingan yang dipakai dalam protes global, semua lahir dari ketidakpercayaan pada rezim yang dianggap korup atau menindas. Di Indonesia, nasionalisme selama ini sering direduksi menjadi ritual simbolik seperti pengibaran bendera, upacara, dan slogan, namun realitas sosial-politik berupa korupsi yang menggurita, hukum yang timpang, dan oligarki ekonomi membuat sebagian masyarakat terutama generasi muda merasakan hilangnya makna substansial dari Merah Putih. Dalam konteks ini, bendera One Piece menjadi sindiran visual, di dunia fiksi, Luffy dan kru Topi Jerami melawan World Government yang korup, memanipulasi sejarah, dan menindas rakyat, sebuah gambaran yang dianggap paralel oleh sebagian orang dengan realitas di dunia nyata.
Dari sudut pandang politik Islam, bendera negara bukan sekadar artefak sejarah atau hasil konsensus politik, melainkan simbol aqidah dan hukum Allah yang ditegakkan oleh negara. Dalam sistem Islam, bendera terdiri dari liwa’ (panji putih) sebagai simbol kepemimpinan Islam dan rayah (bendera hitam) sebagai simbol jihad. Keduanya adalah representasi amanah yang dipegang penguasa untuk menjaga agama, darah, dan harta rakyat. Kesetiaan terhadap simbol negara dalam Islam lahir bukan dari propaganda nasionalisme, melainkan dari rasa aman dan keadilan yang nyata dirasakan masyarakat. Jika rakyat mulai meninggalkan simbol resmi dan menggantinya dengan simbol tandingan, itu menjadi bukti bahwa amanah penguasa telah gagal dijalankan dan hukum yang berlaku tidak lagi melindungi rakyat. Dalam kerangka syariah, hal ini termasuk pelanggaran akad kepemimpinan yang secara legitimasi memberikan hak kepada umat untuk menuntut perubahan sistemik, bukan sekadar pergantian figur.
Maka, fenomena bendera One Piece ini sejatinya bukan masalah selera budaya pop, melainkan indikator politik bahwa legitimasi negara mengalami erosi. Jika dibiarkan, simbol tandingan bisa berkembang menjadi identitas perlawanan yang lebih solid. Bagi sebuah negara, kehilangan makna simboliknya berarti kehilangan salah satu fondasi kekuasaan. Dalam perspektif Islam, solusi untuk mencegah erosi ini bukan sekadar kampanye nasionalisme, melainkan pengembalian amanah kekuasaan kepada prinsip keadilan dan penerapan syariah secara kaffah, agar simbol negara kembali dihormati karena nilai dan keadilan yang diwakilinya, bukan semata karena kewajiban hukum positif. (*)