JAILOLO, NUANSA – Angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Halmahera Barat masih tergolong tinggi. Dinas Sosial-Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Halmahera Barat mencatat sebanyak 72 kasus kekerasan sepanjang 2024.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Kualitas Keluarga dan Pemenuhan Hak Anak DPPA Halbar, Sukmawati Saputri, Selasa (26/8).
“Sepanjang tahun 2024 kemarin ada 72 kasus. Dari jumlah itu, kasus yang paling dominan adalah persetubuhan anak di bawah umur,” ucap Sukmawati.
Sementara itu, hingga Agustus 2025, Dinas Sosial dan PPPA kembali mencatat 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari jumlah tersebut, sebagian besar juga merupakan kasus persetubuhan anak di bawah umur.
“Kalau tahun 2025 ini ada 38 kasus, dan rata-rata kasusnya adalah persetubuhan anak di bawah umur,” katanya.
Menurut Sukmawati, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan terhadap anak diperkirakan berpotensi terus meningkat jika tidak ada langkah pencegahan serius. Karena itu, Dinsos dan PPPA rutin melakukan sosialisasi di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
“Untuk mencegah hal itu, kami PPPA terus melakukan sosialisasi baik di SD, SMP, maupun SMA. Kami mengingatkan bahwa kekerasan, KDRT, maupun pelecehan anak di bawah umur ada undang-undangnya. Jika mereka mengalami kekerasan, maka pelaku akan dijerat sesuai pasal yang berlaku,” tegas Sukmawati.
Sebagai dasar hukum, Sukmawati menambahkan, perlindungan terhadap anak diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak oleh negara, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Sementara itu, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) juga memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT, sekaligus menindak pelaku dari ancaman, kekerasan, maupun penganiayaan dalam lingkup keluarga. (adi/tan)