Opini  

Wajib Pajak dan Wajib Zakat, Layakkah Disamakan? 

Oleh: Qatrunnada Salsabila 

_____________________

PUBLIK kembali menyoroti pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 pada Rabu 13 Agustus 2025 yang dalam pidatonya menyatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti membayar zakat dan wakaf, yang sama-sama ditunaikan karena ada hak orang lain di dalamnya. Tak ayal pernyataan tersebut menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Dilansir dari Tempo.com, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai analogi tersebut tidak tepat dari sisi sumber rujukan. Ia menjelaskan, pajak bersumber dari hukum manusia berupa Undang-undang. Sedangkan zakat dan wakaf berasal dari ajaran Islam. Tanggapan serupa juga dilontarkan oleh Tokoh Muda Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, KH Ubaidillah Amin, dilansir dari detik.com, Gus Ubaid (sapaan akrabnya) menyatakan bahwa ada perbedaan mendasar secara konsep, yakni zakat bersumber dari ketetapan syariat sedangkan pajak bersumber dari kebijakan manusia, begitu pun juga perbedaan peruntukannya. Selain itu pejabat pemerintah perlu berhati-hati dalam memberikan pernyataan agar tidak menyesatkan masyarakat.

Pernyataan menteri keuangan yang menyamakan kedudukan pajak dan zakat serta wakaf tentu tidak tepat dan tidak mendasar. Pernyataan ini lebih tepatnya didasari untuk menggenjot penerimaan pajak yang sedang seret. Dilansir dari nasional.kontan.id, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak nasional hingga 11 Agustus 2025 baru terkumpul Rp 996 triliun atau 45,51% dari target APBN 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Dengan kondisi itu, Pemerintah akan berupaya mengoptimalkan penggalian potensi penerimaan pajak yang tentunya akan mendorong implementasi aturan-aturan yang telah diterbitkan. Sejumlah usulan potensi pajak baru diapresiasi oleh pemerintah seperti usulan dari Center of Economic and Law Studies (Celios) yang mengusulkan 10 pajak baru yang diklaim bisa menghasilkan Rp388,2 triliun, usulan itu di antaranya pajak digital, pajak karbon, pajak kekayaan, pajak kepemilikan rumah ketiga, dll.

Penggalian potensi pajak baru sejalan dengan kesepakatan pemerintah dan DPR dalam rapat paripurna membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pada 25 Juli 2025. Dilansir dari muc.co.id, Wakil Ketua Banggar DPR, Jazilul Fawaid, menyatakan bahwa salah satu rincian dari empat arah kebijakan perpajakan tahun depan yakni perluasan basis pajak lewat intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi meliputi upaya meningkatkan kepatuhan dan efektivitas pungutan pajak dari wajib pajak yang sudah ada. Sedangkan ekstensifikasi yakni peningkatan jumlah wajib pajak dan jenis pajak baru. Sejumlah upaya ini dilakukan untuk memenuhi target pajak 2026 yang naik 13,51 persen dibanding target APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun menjadi sebesar Rp2.357,71 triliun untuk 2026, seperti dikutip dari Neraca.co.id. Masyarakat harus bersiap-bersiap menghadapi pajak ke depannya yang berpotensi semakin beragam di semua lini kehidupan.

Pajak: antara menyejahterakan atau menyengsarakan

Indonesia adalah salah satu negara yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung pembiayaan APBN. Komposisi penerimaan APBN 2024 menempatkan penerimaan pajak diurutan pertama mencapai Rp2.232,7 triliun dari total pendapatan negara sedangkan PNBP hanya Rp579,5 triliun. Ironisnya, potensi sumber daya alam negeri ini yang melimpah meliputi mineral, batu bara, tambang migas, hasil pertanian, perkebunan dan hasil laut tidak dioptimalisasikan. Padahal menurut perhitungan Dahuri (2018) potensi hasil laut dapat menghasilkan pendapatan per tahun sebesar USD 1,33 triliun per tahun. Nilai itu setara dengan Rp 20.795 triliun dengan kurs 15.600/USD. Jika 10% dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan Negara, maka potensi penerimaannya mencapai Rp 2.079 triliun. Ini baru penerimaan dari satu sektor saja belum sektor SDA lainnya yang tentunya tak kalah besar.

Namun, sistem kapitalisme yang berperan dalam perekonomian hari ini telah mereduksi peran Negara dalam pengelolaan SDA tersebut. Kapitalisme mengajarkan peran negara hanya sebatas sebagai fasilitator atau regulator pasar, bukan sebagai pelaku utama dalam perekonomian. Akibatnya privatisasi kekayaan alam secara besar-besaran dilakukan bahkan dilegalkan dengan dalih investasi. Privatisasi kekayaan alam pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang saja, sementara masyarakat tidak mendapatkan manfaat kecuali sedikit. Yang terjadi justru ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, penurunan kualitas hidup yang sekali lagi mengorbankan rakyat kecil.

Sementara itu, negara menjadikan pajak sebagai tumpuan modal pembangunan yang utama. Pajak dibebankan kepada seluruh lapisan masyarakat, bahkan kepada mereka yang hidup pas-pasan. Dengan dalih pembangunan, rakyat terus dipaksa membayar pajak, sementara akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan masih jauh dari kata layak. Bahkan di tengah kondisi ekonomi yang lesu, harga-harga naik, daya beli masyarakat yang lemah, negara terus gencar untuk menarik pajak dan mancari objek pajak baru.

Protes demi protes yang disuarakan oleh rakyat atas ketidakadilan pajak seperti yang terjadi di beberapa wilayah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mulai dari kenaikan 250 persen-1000 persen sungguh menyesakkan. Kenaikan pajak yang sangat tinggi tersebut dipengaruhi adanya pemangkasan dana transfer ke daerah sebagai implikasi efisiensi anggaran. Selain itu didukung oleh UU HKPD (Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah) yang memberikan fleksibilitas bagi pemimpin daerah untuk menetapkan tarif pajak.

Sementara itu, para korporat justru dianakemaskan dengan sejumlah aturan seperti kebijakan insentif fiskal, tax allowance, tax holiday, tax amnesty yang menguntungkan mereka. Dikutip dari cnbcindonesia.com, dalam program tax amnesty jilid II 2022 misalnya, terdapat 11 orang super kaya memiliki harta di atas 1 triliun yang tidak bayar pajak mendapat pengampunan dari pemerintah.

Hal ini makin memperjelas bahwa kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme tidak berpihak pada rakyat kecil. Pajak yang dipungut dari rakyat kenyataannya tidak memberikan kesejahteraan. Angka kemiskinan Indonesia masih tinggi, menurut perhitungan versi Bank Dunia adalah 68,2% dari total populasi yang pada 2024 sebanyak 285,1 juta orang, berarti ada sekitar 194,6 juta jiwa masuk kategori miskin. Di sisi lain, alokasi anggaran negara masih sarat digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis sebut saja proyek mandalika, rempang eco city, reklamasi teluk jakarta dll, maraknya korupsi pejabat, pajak juga digunakan untuk membayar utang-utang negara yang makin menumpuk, program-program yang dibangun dari pajak rakyat yang belum jelas hasilnya untuk masyarakat seperti food estate, program pembangunan IKN dll.

Pajak dan zakat dalam Pandangan Islam

Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai pajak. Dalam Islam, pajak dikenal sebagai dharibah, yakni harta yang diwajibkan Allah SWT atas kaum Muslim untuk menunaikan belanja pada kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang diwajibkan atas mereka, ketika tidak ada harta di Baitul Mal untuk memenuhi belanja tersebut (Zallum, 122: 2004). Pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara, tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib ditunaikan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim tidak melakukan sumbangan sukarela (tabarru’at) yang mencukupi untuk menutupi kebutuhan tersebut. Dan hanya dipungut dari orang kaya saja yakni yang memiliki kelebihan dari pengeluaran kebutuhan primer dan sekunder dan sifatnya temporer dalam kondisi yang dimaksudkan saja.

Dalam sistem yang berlaku saat ini, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya pajak ini wajib dan memaksa bagi setiap individu maupun badan usaha. Pajak juga dibebankan kepada seluruh lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin. Bahkan menilik penerapan pajak saat ini, rakyat miskin terus dibebankan dengan kenaikan pajak yang tinggi dan sasaran objek pajak yang makin meluas sementara orang kaya, para kapitalis mendapat banyak keringanan pajak.

Dari sisi pajak saja sebenarnya terdapat perbedaan secara konsep antara pemahaman Islam dan konsep yang saat ini diterapkan di negeri ini. Begitu pun dengan zakat dan wakaf yang kedudukannya tidak bisa disamakan dengan konsep pajak hari ini baik dari filosofi maupun aturannya. Menurut Imam Hanafi, zakat adalah pemilikan bagian harta tertentu dari harta tertentu kepada orang-orang tertentu yang telah ditetapkan pembuat syariah (Allah) dengan mengharapkan keridhaan-Nya. Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan zakat sebagai sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa dengan cara tertentu. Dimana yang dimaksudkan adalah zakat harta dan zakat fitrah. Sedangkan Wakaf menurut Imam Nawawi adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya, tetapi bukan untuk dirinya sendiri, sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Wakaf termasuk ibadah sunnah (tidak wajib namun dianjurkan).

Baik Zakat maupun Wakaf adalah merupakan aktivitas yang telah ditetapkan oleh Syara‘ (Allah SWT) syarat dan ketentuannya. Keduanya harus ditunaikan sesuai dengan aturan syariat untuk meraih ridhoNya. Zakat harta hukumnya wajib apabila telah memenuhi nisab dan mencapai haulnya. Begitu pula zakat fitrah yang kewajibannya harus ditunaikan apabila memenuhi syarat-syaratnya. Islam juga telah mengatur siapa saja yang berhak menerima zakat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah At Taubah ayat 60.

Dalam konsep Islam, zakat termasuk pos penerimaan APBN atau baitul mal, namun distribusi harta zakat hanya pada kaum muslim yang termasuk dalam 8 golongan saja. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Pos penerimaan baitul mal tidak hanya bersandar pada zakat, namun pada harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam. Sumber daya alam ini wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diprivatisasi oleh pihak tertentu yang hanya menguntungkan segelintir elit saja sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. Hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut akan dikembalikan kepada rakyat demi memenuhi kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan fasilitas-fasilitas publik tanpa mengambil lagi pungutan dari rakyat. Dalam konteks Indonesia potensi pendapatan negara dari harta kepemilikan umum yakni sumber daya alam sangat besar apabila dikelola secara mandiri oleh negara. Oleh karena itu sistem ekonomi Islam layak dijadikan alternatif solusi untuk problem yang terjadi saat ini akibat keserakahan dan penerapan kapitalisme agar bisa terwujud pengelolaan perekonomian yang sejahtera dan adil. Wallahu a’lam bishawab. (*)