Oleh: Tiklas Pileser Babua
Pemerhati Lingkungan
____________
DI tengah belantara Halmahera Barat, berdiri sebuah kawasan sakral bernama Talaga Rano. Ia bukan sekadar danau yang dikelilingi tebing berasap belerang, melainkan ruang hidup, ruang adat, dan ruang sejarah yang berakar jauh hingga abad ke-16. Di sinilah kisah manusia, alam, dan adat bertaut menjadi satu dalam hikayat yang tak lekang dimakan zaman.
Jejak Eksodus dan Lahirnya Komunitas Talaga Rano
Awal mula masyarakat Talaga Rano bermula dari eksodus besar Marga Loloda Kudu Ruba Ua (Loloda Bakun) sekitar tahun 1512—masa ketika Portugis pertama kali menjejakkan kaki di Kepulauan Maluku di bawah ekspedisi Antonio de Abreu. Eksodus itu terjadi bukan tanpa alasan. Sebuah tradisi Raja Kanjoe yang mengharuskan pengorbanan anak dalam ritual Orom Sasadu dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat, sehingga mereka memilih meninggalkan Loloda Bakun menuju wilayah baru: Talaga Rano.
Setiba di tanah baru, mereka membangun kampung bernama Gam Woun (Kampung Ofu/Lebah). Dari dua ekor anjing yang ditemukan di Taga Ra’du—Spipo (Taraudu) dan Bo’oca (Loloda)—lahirlah penanda simbolik dua kelompok masyarakat yang kini dikenal sebagai penduduk asli Talaga Rano. Kepemimpinan tradisional pun terbentuk dengan tokoh Kapita Suwatalbessy, dan lahirlah marga-marga seperti Latar Besa, Kudu Ruba Ua, Tal’adi Bessy, dan Suwatalbessy.
Dari Talaga Rano ke Gamsungi: Menyimpan Jejak Zaman
Ketika Hindia Belanda berkuasa pada tahun 1820, Talaga Rano dikenal dengan sebutan Talagarano, yang dalam bahasa Sahu berarti Air Obat. Pada 1912, masyarakat Talaga Rano kembali bermigrasi ke wilayah baru bernama Gamsungi—gabungan dari kata Gam (kampung) dan Sungi (baru).
Gamsungi tumbuh sebagai desa agraris yang menjunjung tinggi adat istiadat Sahu dan memiliki rumah adat (Sasadu) sebagai simbol kebersamaan. Dari masa ke masa, para pemimpin kampung berganti, namun nilai yang dijaga tetap sama: hidup harmonis dengan alam dan menghormati leluhur.
Surga Satwa dan Alam yang Tak Tergantikan
Talaga Rano bukan sekadar danau; ia adalah ekosistem hidup yang menampung satwa-satwa endemik seperti Rusa, Burung Puyuh, Burung Nuri, Kakatua Putih, hingga Burung Bidadari Halmahera (Semioptera Wallacii)—burung langka yang hanya hidup di hutan Maluku Utara. Setiap kabut pagi yang turun di atas danau adalah napas kehidupan yang telah dijaga ratusan tahun oleh masyarakat adat.
Ancaman Baru dari Balik “Energi Hijau”
Namun kini, keheningan itu terusik. Kementerian ESDM membuka Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Talaga Rano Nomor: 08.Pm/EK.04/DEP/2025, yang dimulai 19 September 2025 hingga 2 Oktober 2025.
Atas nama “energi baru dan terbarukan”, negara hadir membawa konsep energi hijau—namun sayangnya, hijau yang satu ini tidak menumbuhkan kehidupan, melainkan mengancam akar sejarah dan ekosistem Talaga Rano.
Dalam perspektif Immanuel Wallerstein, ekspansi kapitalisme selalu bergerak dari pusat menuju pinggiran, di mana wilayah seperti Talaga Rano menjadi korban eksploitasi sumber daya demi kepentingan negara dan korporasi global.
Dampak Nyata Panas Bumi: Dari Polusi Hingga Konflik Sosial
Ahli panas bumi Glassley (2010) menegaskan bahwa pemanfaatan geotermal dapat melepaskan gas beracun dan mengubah struktur lingkungan jika tidak dikontrol. Sementara Dickson & Fanelli (2003) dari United Nations University memperingatkan bahwa meski emisi panas bumi rendah, dampak lokalnya bisa signifikan—mulai dari pencemaran udara H₂S, gangguan ekosistem, hingga kebocoran fluida beracun seperti merkuri dan arsenik.
Hal serupa ditegaskan oleh Kristmannsdóttir & Ármannsson (2003), pakar geotermal Islandia, yang menemukan risiko serius berupa kontaminasi air permukaan dan rusaknya vegetasi lokal akibat limbah eksploitasi.
Apabila proyek panas bumi ini tetap dijalankan tanpa kajian lingkungan dan adat yang matang, maka Burung Bidadari Halmahera mungkin tinggal cerita. Begitu pula pohon cengkeh dan pala yang telah menghidupi masyarakat selama ratusan tahun, bisa lenyap atas nama “investasi hijau”.
Menjaga Marwah Tanah Adat dan Konstitusi
Masyarakat adat memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan wilayahnya.
Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, hingga UU Desa dan UU Perlindungan Lingkungan Hidup, semuanya mengakui hak masyarakat adat atas tanah, hutan, dan identitas budayanya. Negara seharusnya hadir melindungi, bukan menjual ruang hidup mereka.
Pembangunan Tanpa Merusak Wajah Asli Talaga Rano
Kita tentu tidak menolak pembangunan, namun pembangunan yang beradab adalah yang menghormati akar budaya dan alam.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat semestinya tidak tergesa menyerahkan Talaga Rano kepada kepentingan investor, melainkan mengembangkan kawasan ini sebagai objek wisata budaya dan ekologis.
Wisata berbasis adat, konservasi satwa, dan pelestarian rumah adat jauh lebih berkelanjutan daripada proyek yang hanya meninggalkan luka ekologis.
Penutup: Talaga Rano adalah Jati Diri Kita
Talaga Rano bukan sekadar air yang tenang di antara tebing belerang. Ia adalah jiwa yang hidup dari leluhur, tanah yang memori, dan langit yang menjaga. Kehilangan Talaga Rano berarti kehilangan jati diri.
Dan jika itu terjadi, yang tersisa hanyalah kisa-kisah tentang surga yang berubah menjadi bara atas nama kemajuan.
Geothermal jangan sampai lolos. Talaga Rano harus tetap hidup. (*)