Oleh: Subhan Hi Ali Dodego
Praktisi Pendidikan
__________________
HAMPIR tiap detik jagat maya Indonesia dipenuhi dengan pemberitaan bencana alam yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh. Bencana yang sudah terjadi ini kerap menuai sorotan dari publik dan pemerintah. Seperti kita berada dalam dua kutub, di satu sisi dalil pemerintah bahwa bencana alam tersebut murni karena curah hujan yang lebat sedang pada sisi lain publik menilai bahwa akibat dari penebangan dan pembabatan hutan.
Terlepas dari pro kontra terhadap bencana banjir bandang yang terjadi di Sumatera dan Aceh tersebut faktanya bencana sudah terjadi di depan mata. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dampak bencana yang ditimbulkan mulai dari 1 Januari – 7 Desember 2025 terdapat 1.350 orang meninggal dunia, 342 orang hilang, 4.973 luka-luka dan 9.616.774 menderita dan mengungsi. Sedangkan dampak kerusakan akibat bencana yaitu: 27.952 rusak ringan, 8.587 rusak sedang, 105.758 rusak berat. Lebih jauh, fasilitas yang rusak akibat bencana yaitu: satuan pendidikan 1.060, rumah ibadah 651, Fasyankes 249 (https://data.bnpb.go.id/, 07 Desember 2025).
Membaca berita dan fakta-fakta tentang banjir Sumatera dan Aceh seakan-akan kita teriris tanpa mengeluarkan darah. Duka bencana yang dialami oleh masyarakat Sumatera dan Aceh juga merupakan bagian dari duka kita. Dalam ajaran Islam, penderitaan yang dirasakan oleh saudara-saudara muslim juga dirasakan oleh orang-orang muslim yang lain. Sebab, seorang muslim itu ibarat satu tubuh yang satunya sakit maka yang lain juga ikut sakit. Dalam konteks Indonesia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Artinya, Aceh dan Sumatera adalah Indonesia sehingga wajib hukumnya kita saling membantu tanpa melihat suku, agama, ras dan golongan.
Pada titik inilah kita butuh yang namanya solusi. Penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat Sumatera dan Aceh hari ini sangat luar biasa sakitnya. Mereka kehilangan keluarga, harta, rumah bahkan kampung mereka sendiri hilang akibat bencana. Sehingga tidak etis lagi jika hari ini kita saling menyalahkan antara satu dengan yang lain dan mengabaikan mereka yang kelaparan dan menderita. Pemerintah wajib hadir dengan memberikan bantuan dan pemulihan trauma masyarakat yang mengalami bencana. Sebaliknya masyarakat juga secara sukarela dapat menjadi relawan kemanusiaan dan berdonasi untuk membantu saudara-saudari kita yang ada di Sumatera dan Aceh.
Bencana sebagai “Takdir” atau “Kealpaan” Manusia?
Sebagai umat beragama khususnya Islam meyakini adanya takdir. Misalnya segala sesuatu yang sudah terjadi itu adalah takdir. Namun dalam Islam takdir dibagi atas dua bagian yaitu: takdir “mubram” takdir yang tidak dapat diubah manusia seperti: kematian, kelahiran, jenis kelamin dan hari kiamat. Sedangkan takdir yang kedua namanya “muallaq” artinya takdir yang masih dapat diubah lewat ikhtiar dan doa manusia seperti berolahraga untuk sehat, belajar untuk cerdas, bekerja untuk mendapat rezeki, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Dalam konteks bencana alam di Sumatera dan Aceh timbul dua perspektif pemikiran. Ada yang bilang itu adalah peristiwa alam dan masuk dalam kategori takdir mutlak dan ada yang mengatakan bencana tersebut adalah buah dari perbuatan tangan-tangan manusia. Penulis berpendapat bahwa bencana yang timbul selain kita meyakini itu adalah takdir Tuhan namun ada hukum sebab akibat (kausalitas) yang ada dibalik peristiwa bencana.
Dalam ilmu ekologi hutan adalah “paru-paru dunia” karena dapat menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida. Sehingga perlu dijaga, dirawat dan dilestarikan. Dalam Pasal 1 Ayat 2 UU No 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Di sisi lain, berdasarkan catatan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bencana ini disebabkan oleh kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan, dan diperparah oleh krisis iklim. Periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.
Lebih detail lagi dalam catatan Walhi bahwa bencana di tiga provinsi ini bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulu-nya berada di bentang hutan Bukit Barisan. Di Sumatera Utara misalnya, bencana paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18 perusahaan. Sedangkan di Aceh, ada 954 DAS, 60% dalam Kawasan Hutan, 20 DAS kritis. Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 Ha. Sejak 2016-2022 43 % DAS tersebut mengalami kehilangan tutupan hutan, sekarang tersisa 30.568 Ha atau sekitar 57 % DAS Singkil sebagaimana yang ditetapkan pemerintah berdasarkan SK 580 seluas 1,241,775 hektar.
Namun sisa tutupan hutan pada 2022 hanya 421,531 hektar. Artinya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami degradasi tutupan hutan di DAS Singkil seluas 820,243 hektar, 66%. DAS Jambo Aye luas awalnya 479.451 hektar, kerusakan 44,71 %. DAS Peusangan yang luasnya 245.323 kerusakan 75,04 %, DAS Krueng Tripa dari total luas 313.799 kerusakan 42,42 %. DAS Tamiang dari luas 494.988 kerusakan 36.45 %. Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin yang merupakan salah satu DAS administratif penting di Kota Padang, dengan luas 12.802 hektare. Secara topografis, kawasan hulu DAS memiliki kelerengan datar hingga terjal, dengan bagian hulu berada di wilayah Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis utama. Namun, kawasan terdegradasi cukup parah akibat tekanan aktivitas manusia. Dari tahun 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon, mayoritas deforestasi terjadi di wilayah hulu, yang memiliki peran vital dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang (https://www.walhi.or.id/, 02 Desember 2025).
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa banjir yang terjadi di wilayah Sumatera dan Aceh bukan karena takdir semata. Tetapi, ada indikasi campur tangan (kealpaan) manusia melalui pembabatan hutan secara besar-besaran. Inilah yang penulis sebut bahwa walaupun kita sudah mengalami bencana dan kita anggap sebagai takdir tetapi takdir bencana tidak akan datang jika manusia tidak melakukan deforestasi hutan secara besar-besaran. Deforestasi dan pengalihfungsian hutan untuk pertanian, perkebunan sawit dan pertambangan tidak hanya merusak hutan tetapi juga dapat merusak satwa yang ada dalam hutan tersebut. Dan dampak dari kerusakan lingkungan ini imbasnya dapat dirasakan secara langsung oleh manusia seperti tanah longsor dan banjir bandang.
Taubat Ekologis: Sebuah Keharusan
Belajar dari banjir bandang Aceh dan Sumatera. Bahwa pembabatan hutan secara liar atas nama pertumbuhan ekonomi tanpa analisis dampak lingkungan yang jelas maka berpotensi menimbulkan bencana alam di masa depan. Hal ini sangat berkait kelindan dengan pesan teologis dalam QS. Ar-Rum Ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Pesan pokok ayat di atas memberikan penjelasan bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Dan dari perbuatan mereka itulah Allah memberikan ujian agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Dalam QS. Al-Baqarah Ayat 30 Allah Swt memberikan amanah kepada manusia menjadi khalifah. Para ulama tafsir memberikan penjelasan tentang khalifah adalah sebagai pemimpin atau wakil Tuhan di muka bumi. Salah satu tugas khalifah adalah dapat membangun hubungan secara baik dengan alam sekitar. Di samping tidak mengabaikan hubungan dengan manusia dan Allah Swt. Namun, praktis yang kita lihat betapa kejamnya manusia melakukan pengrusakan alam dengan dalil kesejahteraan manusia. Pada akhirnya, alam sendiri yang membunuh manusia akibat dari keserakahan manusia.
Pada titik inilah kita butuh yang namanya “taubat ekologis”. Terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan pada tingkat pusat dan daerah baik kementerian lingkungan hidup, kementerian kehutanan, kementerian ESDM, Gubernur, Bupati, DPR, dan seluruh pemangku kepentingan untuk instrospeksi diri dengan taubat ekologis. Bahwa pembabatan hutan secara besar-besaran dan dialihfungsikan menjadi kebun sawit dan pertambangan berpotensi merusak alam dan ekosistem hutan. Jika tidak diatasi secara dini, maka jangan pernah salahkan alam jika alam yang akan menghancurkan manusia.
Akhir kata, semoga saudara-saudari yang ada di Sumatera dan Aceh cepat pulih dan diberikan ketabahan oleh Allah atas musibah yang menimpah dan pemerintah segera memberikan bantuan dan membangun kembali seluruh fasilitas yang rusak akibat bencana. Semoga! (*)










