Opini  

Pengkaplingan Fasilitas Publik

Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo nomor urut 03

___ 

SISTEM demokrasi dan perpolitikan kita kini tengah berlangsung, namun hal yang perlu kita waspadai adalah terjadinya pelanggaran pada saat pemilu serta dampaknya terhadap kelangsungan pembangunan yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat. Banyak problem, akan tetapi problem mendasar yang kita hadapi hingga sekarang ini yang masih terawat dengan baik adalah etika politik dan politik gagasan masih menjadi sesuatu yang asing.

Sesempurna apapun konsep demokrasi, dari sisi prakteknya akan masih tampak begitu suram jika panggung politik masih dihegemoni oleh politisi makan usia berwatak pragmatisme, klientalisme dan politik dinasti yang jadi penghalang prinsip demokrasi. Hal ini tentu akan semakin memperkuat praktek pembelian suara pada saat pemilu dan pemerintahan yang korup.

Praktek pembelian suara (politik uang) seperti telah saya singgung pada tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa politik uang akan meningkatkan biaya pemilu, dan politisi biar bagaimanapun juga akan berusaha menutup biaya tersebut ketika sudah menjabat. Hal ini pada akhirnya akan mengarah pada korupsi dan pengkaplingan kebijakan publik. Yang akan berakibat pada terbatasnya kebijakan publik serta kurangnya pasokan barang-barang publik yang paling dibutuhkan masyarakat (baca: Investasi Politik).

Fakta sejarah telah membuktikan bahwa system politik yang melibatkan relasi antar bisnis dan politik akan berimplikasi pada maraknya praktek korupsi dalam system pemerintahan (birokrasi). Pada masa Orde Baru juga terjadi maraknya praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang bukan hanya melibatkan aktor-aktor politik di dalam pemerintahan, melainkan juga para aktor ekonomi (pebisnis) sebagai klien dari pemerintah (dikutip Jurnal Wacana Politik, Ratnia Solihah, 2016).

Bercermin dari keadaan ekonomi dan politik masa Orde Baru tersebut, maka pemerintah di masa reformasi melakukan berbagai perubahan institusional. Perubahan yang signifikan dalam masa reformasi adalah adanya pelembagaan demokrasi dan desentralisasi (Robison and Hadiz, 2004: 197). Demokratisasi mempunyai tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka dan demokratis. Artinya, setiap kelompok politik dapat menjadi input dalam pembuatan kebijakan. Sehingga setiap warga negara diasumsikan bisa terlibat dalam pembuatan keputusan politik. Namun, kenyataannya praktek korupsi, penyuapan masih terus tumbuh dan meluas.

Hal ini menunjukkan bahwa kasus KKN yang diharapkan hilang pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru ternyata belum terjadi. Kasus korupsi yang tinggi hingga sekarang ini penting untuk diamati sebagai bagian dari pola relasi bisnis dan politik, karena pada dasarnya tindakan korupsi merupakan masalah sistemik yang melibatkan kepentingan ekonomi dan politik. Dikatakan sistemik dikarenakan melibatkan aktor politik dalam system pemerintahan baik pusat maupun daerah dan dijalankan sebagai komando.

Fenomena ini dapat kita amati melalui pejabat negara yang diangkat berdasarkan keputusan politik sehingga mau tidak mau segala kebijakan masih saja mengikuti arahan pimpinan baik Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota. Bahkan DPR—baik DPR RI maupun DPRD tak lepas dari instruksi pimpinan partai oleh karena di sana ada proses pertukaran jasa dengan partai pengusung. Sehingga selama ini DPR terkesan tidak menjalan tugas dan fungsinya secara baik dikarenakan ada hubungan mesra antara Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota dan dengan pimpinan partai sebagai partai pengusung.

Kenyataan tersebut merupakan problem mendasar yang kita hadapi sejak dulu hingga sekarang berakibatnya maraknya praktek pengkaplingan fasilitas publik. Pengkaplingan fasilitas publik dalam literatur ekonomi politik, konsep rent seeking dianggap sebagai perilaku negatif. Asumsi yang dibangun adalah, bahwa setiap kelompok kepentingan berupaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan upaya sekecil-kecilnya (Ratnia Solihah, 2016).

Pada titik inilah seluruh sumber daya yang dimiliki, misalnya lobi akan ditempuh demi mencapai tujuan tersebut. Di sinilah timbul masalah. Jika hasil dari lobi tersebut adalah berupa kebijakan, maka dampak yang muncul bisa sangat besar yakni tersumbatnya pembangunan berkeadilan. Sebab, kebijakan pembangunan dimaknai sebagai bagi-bagi proyek untuk menutupi biaya pemilu.

Para pembuat kebijakan, dalam konsepsi rent seeking akan meminggirkan kepemilikan publik di dalam pengalokasian sumber daya negara yang ada dan terbatas. Persoalan korupsi dalam kerangka rent seeking tidak dapat sekadar dipahami apakah korupsi tersebut melanggar hukum, atau legal/ilegal, karena justru pejabat publik yang menciptakan hukum atau peraturan untuk melegalkannya demi kepentingan mereka.

Sehingga menurut Olson, proses lobi tersebut dapat berdampak besar karena mengakibatkan proses pengambilan keputusan berjalan sangat lambat dan ekonomi pada akhirnya tidak bisa merespons secara cepat terhadap perubahan-perubahan…baru (Yustika, 2006: 2). Pada konteks ini, untuk mewujudkan perubahan baru yang signifikan, maka,diperlukan tiga hal penting yaitu, prinsip demokrasi harus ditegakkan, etika politik calon pejabat dan kapasitas figur publik—merangkul, bertanggung jawab dan sikap peduli. (*)