Opini  

Caleg dan Jihad Politik

Oleh: Nurcholish Rustam
Ketua Rampai Nusantara Malut

_____

“SAUDARA, tidak ikut Caleg kah?” bunyi pesan WhatsApp (WA) dari teman saya yang di Makassar. Saya jawab dengan singkat, “tidak”. Kemudian dia merasa heran, sepengetahuannya saya “orang partai” punya posisi strategis di partai tapi kok tidak “nyaleg”. Saya jawab lagi, mungkin belum waktunya saat ini tapi berikutnya. Tidak hanya sekali itu saya ditanya soal apakah saya “nyaleg”. Bahkan seseorang telah mengirim saya messenger dan menawarkan untuk mencetak baliho, stiker, dan kartu nama. Dan saya menjawab bahwa saya tidak “nyaleg”, tetapi ia tidak sepenuhnya percaya.

Soal “caleg-menyaleg” ini memang banyak teman seangkatan, di bawah angkatan, dan beberapa senior saya turut meramaikan. Banyak juga yang menelpon dan bahkan datang ke rumah sekadar “ngobrol” ini itu. Tetapi rata-rata isinya keluh-kesah. Sudah pasti ditebak mereka banyak yang terpaksa “pesimis” karena faktor finansial. Kalau sudah sampai pada bagian itu, saya “tak ikut-ikutan” atau “angkat tangan”. Tetapi, ada juga beberapa dari teman saya yang memiliki rasa optimisme kuat dan yakin keluar sebagai pemenang, sekalipun tidak ditopang oleh finansial yang maksimal. Saya pun salut dengan semangat mereka, bagi saya itu bagian dari “Jihad Politik” sebagai bentuk keterpanggilan.

Pemilu kali ini memang membuat para caleg serba tak pasti. Tak ada nomor urut, suara terbanyak diperebutkan sedemikian rupa, sehingga harus “tega” mengalahkan teman atau saudara sendiri. Ada yang menyikapi sebagai “iseng-iseng berhadiah”, ada pula yang menempatkannya sebagai perjuangan “hidup-mati”.

Dan sungguh, saya pada akhirnya kehabisan jawaban atas pertanyaan bagaimana memenangkan Pileg ini. Teman-teman caleg saya memancing pertanyaan, apa saran saya agar mereka bisa meraih suara terbanyak dan menang dalam Pileg ini.? Dalam hati saya bergumam, “saya ini bukan ahli strategi, apalagi konsultan politik”.

Namun untuk menguatkan rasa optimisme mereka, saya berpandangan barangkali kampanye door to door, lebih efektif ketimbang pasang baliho dan stiker (bukan berarti mengabaikan baliho, stiker atau kartu nama). Calon pemilih anda harus didekati dan “diambil hatinya”, dan ini perlu keseriusan ekstra. Saya mencontohkan kisah sukses salah satu senior saya di kampus dulu yang terpilih sebagai salah satu Anggota DPRD Provinsi lewat pemilihan langsung.

Senior saya itu dicalonkan oleh partai yang bisa dikatakan partai “papan tengah” atau partai menengah levelnya dan dia tampak hanya dengan “modal nekat”. Dibanding dengan pesaing-pesaingnya, di atas kertas “dia tak ada apa-apanya”. Tapi, ketika dia yang menang maka terperanjatlah semua. Saya kira dia akan diteliti atau menjadi bahan motivasi untuk anak muda saat ini. Senior saya tersebut memakai pendekatan empatik, “door to door” tetapi tidak dengan memakai iming-iming materi. Ia “berbakti sosial” dan bercengkrama dengan masyarakat biasa di setiap pelosok desa. Senior itu memang seorang “petarung” yang luwes, karena ketika niatnya sudah bulat, selangkah pun tak mundur.

Tapi teman caleg saya bilang, kan tidak semua seperti dia. Tidak semua caleg punya keluwesan verbal. Metode “door to door” sudah banyak dipakai caleg lain, bahkan ada yang Jor-joran yang memberi sembako dan “kenang-kenangan” lainnya. Bahkan ada juga yang menjanjikan yang lebih besar lagi. Banyak variasi “door to door”,  sehingga kalau hanya bertamu saja ke calon pemilih, maka sang caleg akan dicueki. Ia mengeluh, kok masyarakat sudah sedemikian pragmatis. Dan pikiran saya mengatakan ‘ini akibat dari dosa masa lalu’.

Ada juga teman-teman caleg yang over-kampanye. ‘Syarat dan rukun’ sudah dipenuhi semuanya. Baliho, stiker, kartu nama, kaos, kalender, bendera, sumbangan kiri-kanan, iklan di media cetak dan elektronik dan segala hal yang dianggap perlu direspons dengan materi. Saya cuma bisa bilang, “Bro, sudah over-kampanye, apa tidak takut stress kalau tidak terpilih”.

JADI, untuk menjadi seorang caleg tidak selalu sesuatu itu dinilai dengan materi, juga tidak terjebak pada wilayah ‘pencitraan’ atau penampilan. Tapi bagaimana dia bisa hadir, mendengar dan berbuat untuk orang banyak. Saya jadi teringat dengan salah satu ucapan dosen saya dulu; “Memang yang mayoritas sangat berpeluang menang, tapi yang penting jangan mengabaikan yang ‘minoritas’. Bahkan yang ‘mayoritas’ pun bisa berubah manakala yang datawarkan pihak minoritas lebih masuk akal”. (*)