Opini  

Mewaspadai: Pilkada Rawan Jadi Ladang Kerja Sama Oligarki 

Oleh: Awaluddin

Pengurus HMI Cabang Ternate

__________

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) 2024 rasanya tinggal menghitung mundur segera terlaksana, dimana perubahan dan perbaikan ditentukan pilihan rakyat, setidaknya lima tahun ke depan, sehingga rakyat harus selektif memilih kepala daerah.

Penting memilih kepala daerah yang memahami masalah mendasar di daerah, bisa terlihat melalui rumusan visi-misi dan juga rekam jejak sebagai gambaran calon kepala daerah ketika memimpin daerah.

Sejatinya Pilkada bisa dikatakan sebagai instrumen untuk menghadirkan kepala daerah yang mampu memformulasikan gagasan dan memahami persoalan rakyat di daerah. Sehingga esensi menjadi seorang kepala daerah adalah pengabdian kepada rakyatnya.

Seperti telah diketahui bahwa pilkada merupakan pertarungan kepentingan antara elite politik untuk merebut kursi kepemimpinan di daerah. Fenomena demikian menjadi paradoks demokrasi yang hanya menguntungkan elite politik dan feodalisme politik yang mengutamakan kekuasaan sehingga yang lahir penguasa demagog sekaligus predator. Pemimpin yang mengabdi kepada pemilik modal adalah predator.

Dalam catatan sejarah Indonesia yang ditulis Ben Anderson, rakyat Indonesia hanya dibutuhkan kekuatannya ketika negara memerlukan dukungan politik. Dengan begitu disebut semangat nasionalisme rakyat, setelah itu rakyat dibiarkan begitu saja.

Meski begitu, lanskap politik bangsa ini dipengaruhi keberadaan politisi, pengusaha dan rakyat sipil. Fungsi ideal partai politik sebagai alat untuk membangun partisipasi warga dalam demokrasi sekaligus sebagai alat komunikasi politik. Partai politik sebagai mesin politik hampir seluruhnya diisi oleh oligarki pemilik modal dan kekuasaan.

Bangsa Indonesia sudah merdeka tujuh puluh sembilan tahun, namun kemiskinan dan kelaparan masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Demokrasi tidak akan baik jika rakyat masih miskin.

Tidak sedikit orang yang memberikan hak suaranya demi uang sehingga jual beli suara terjadi pada agenda demokrasi (Pilkada). Rakyat yang berbondong-bondong untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) mungkin tanpa adanya paksaan, sebab faktor ideologis atau sekadar bersedekah suara (pragmatis).

Di sinilah fungsi lembaga pengawasan dan penyelenggara pemilu untuk menghentikan transaksi politik dan memberikan edukasi kepada rakyat agar berpartisipasi pada agenda-agenda demokrasi (Pilkada).

Terbentuknya relasi kerja sama politisi dan pengusaha, politisi menginginkan modal sebagai ongkos politik untuk mendapatkan kekuasaan yang bisa diberikan oleh pengusaha, sedangkan pengusaha menginginkan legitimasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang berada di daerah, sebagai bentuk balas budi seorang politisi yang sudah memiliki kekuasaan diterbitkan izin usaha pertambangan (IUP).

Kerja sama ini disebut relasi berantai oligarki antara politisi dan pengusaha yang pada akhirnya akan membentuk monopoli dalam pengelolaan sumber daya alam. Hubungan simbiosis mutualisme antara pengusaha dan politisi sebenarnya sudah sering terjadi semenjak rezim orde baru sampai saat ini.

Sekali lagi fenomena seperti ini ialah paradoks demokrasi, dimana sumber daya alam dikuasai oleh oligarki, sehingga skema yang tepat rakyat harus miskin, maka konsekuensinya eksploitasi sumber daya alam di daerah terjadi. Kekayaan alam di daerah salah satunya adalah sumber daya pertambangan yang menjadi banyak incaran pengusaha. Wallahualam Bisawab. (*)