Oleh: Alvian Hamli
_________________________
HARI ini, 25 November, bangsa kita bersujud hormat di hadapan para guru. Mereka yang tak pernah menuntut sorotan, tetapi terus menyalakan pelita di tengah gelap. Dalam kesunyian kelas, mereka menciptakan mimpi, mengasah kecerdasan, dan menanamkan nilai kehidupan. Hari Guru Nasional adalah momen mengangkat nama mereka setinggi langit. Namun, di balik lantunan pujian itu, tersimpan cerita tentang pengorbanan, luka, dan ketidakadilan yang sering terabaikan.
Profesi guru adalah panggilan jiwa, tetapi panggilan ini sering kali datang dengan harga yang mahal. Guru tidak hanya mendidik; mereka juga harus menghadapi tantangan zaman—anak-anak yang semakin kritis, tuntutan administrasi yang kian berat, dan ekspektasi masyarakat yang melangit. Namun, di balik peran mulia itu, mereka berjalan di atas jalan yang berisiko. Tak jarang, tangan yang mendidik berubah menjadi tangan yang digugat, langkah yang menginspirasi justru terhenti di ruang sidang.
Lihatlah kisah Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan. Di tengah pengabdian dan keterbatasannya, ia justru harus berhadapan dengan tuduhan, penghakiman, dan penahanan. Apa yang seharusnya menjadi momen edukasi berubah menjadi kasus kriminalisasi. Ia adalah simbol dari banyak guru lain yang mungkin diam, menanggung beban tanpa suara. Apa kabar penghormatan bagi mereka? Bukankah ini saatnya kita bertanya, apakah para guru telah kita lindungi sebagaimana mestinya?
Hari Guru Nasional bukan hanya milik mereka yang menerima bunga dan ucapan terima kasih. Ini adalah hari untuk menggugat nurani kita sendiri: sudahkah kita, sebagai bangsa, memberikan keamanan, kesejahteraan, dan penghormatan yang mereka layak dapatkan? Di dunia di mana guru terus menjadi tulang punggung peradaban, mengapa mereka harus berjalan dengan beban rasa takut?
Mereka yang mengabdi dengan sepenuh hati, mengapa harus dihantui ancaman hukum hanya karena berusaha mendisiplinkan? Mereka yang mencurahkan cinta dalam mendidik, mengapa harus dipertanyakan niatnya? Tidakkah kita menyadari, melukai hati seorang guru adalah melukai masa depan anak-anak kita sendiri?
Hari ini, di tengah gemuruh perayaan, mari kita hentikan sejenak hiruk-pikuk dan merenung. Hari Guru Nasional seharusnya menjadi perayaan yang bermakna: bukan hanya pujian kosong, tetapi juga aksi nyata. Perlindungan hukum, kesejahteraan yang layak, dan penghargaan yang tulus. Semua ini adalah bagian dari penghormatan yang sejati.
Sebab, di tangan merekalah masa depan bangsa ini dibentuk. Jika kita gagal melindungi guru, kita sedang menggali lubang kelam bagi generasi yang akan datang. Jadi, mari tidak hanya berkata “terima kasih,” tetapi juga memastikan bahwa setiap guru dapat berjalan dengan kepala tegak dan hati yang damai.
Selamat Hari Guru Nasional. Untuk mereka yang telah mendidik tanpa pamrih, untuk mereka yang telah terluka namun tetap melangkah. Kalian adalah sinar yang tak pernah padam. Mari kita lindungi sinar itu, demi masa depan yang lebih terang. (*)